BONA NEWS. Sumatera Utara. – Digitalisasi pendidikan yang digembar-gemborkan selama lima tahun terakhir kini menghadapi kenyataan pahit. Di balik narasi besar soal “transformasi teknologi di ruang kelas”, terdapat tumpukan perangkat Chromebook yang menganggur, janji beasiswa yang menguap, dan generasi muda yang mulai merasa ditinggalkan oleh sistem.

Dari desa-desa terpencil di Nias sampai kampus-kampus ternama di kota besar, suara-suara ketidakpuasan itu semakin nyaring. Namun di Jakarta, para pengambil kebijakan sibuk membungkusnya dalam istilah: penyesuaian anggaran.

Laptop Ada, Internet Tidak: Digitalisasi Setengah Jalan

Di SD Negeri 173010 Mandrehe, Kabupaten Nias Barat, puluhan laptop Chromebook terbungkus rapi di dalam kardus sejak 2022. Kepala sekolah, Ibu Berta Zebua, mengaku tidak pernah membuka perangkat itu karena keterbatasan listrik dan koneksi internet. “Guru kami pun belum semua paham cara menggunakannya. Kami lebih butuh papan tulis dan buku LKS daripada ini,” ujarnya melalui seller, Senin (7/7/2025.).

Namun sekolah itu bukan satu-satunya. Berdasarkan temuan Forum Pendidikan untuk Daerah (ForPEDa), sedikitnya 14.000 unit Chromebook yang dibagikan ke sekolah-sekolah di luar Pulau Jawa tidak pernah difungsikan optimal. Ironisnya, pengadaan tersebut menghabiskan anggaran Rp9,9 triliun dari APBN dalam rentang 2019–2023.

Minggu lalu, Kejaksaan Agung RI secara resmi membuka penyelidikan atas dugaan korupsi dalam pengadaan Chromebook. Informasi awal menyebutkan adanya markup harga dan indikasi gratifikasi dari beberapa vendor teknologi kepada pejabat eselon di lingkungan Kemendikbudristek.

Pemangkasan Beasiswa: Mahasiswa Menjerit di Tengah “Efisiensi”

Sementara itu, program beasiswa unggulan seperti KIP-K dan beasiswa prestasi mengalami pemangkasan tajam di 2025. Dalam dokumen APBN-P yang diperoleh Bona News, alokasi beasiswa mahasiswa turun 58% dibanding tahun sebelumnya.

Akibatnya, ribuan mahasiswa dari keluarga tidak mampu terancam drop out. Salah satunya adalah Pardi Siregar (21), mahasiswa semester lima di Universitas Negeri Medan. “Saya dari awal kuliah pakai KIP-K. Sekarang katanya kuota dikurangi. Kalau tidak dapat tahun ini, saya harus berhenti kuliah,” katanya lirih saat ditemui di kosannya di Tembung.a

Kasus serupa juga terjadi di Padang, Makassar, bahkan Yogyakarta. Pemangkasan ini disebut-sebut sebagai imbas dari prioritas anggaran pemerintah yang kini lebih difokuskan pada pembangunan fisik dan “subsidi makan bergizi” untuk pelajar sekolah dasar.

Reformasi UN dan SPMB: Kurikulum Didorong, Guru Tertinggal

Di tengah kekacauan anggaran, pemerintah tetap meluncurkan reformasi besar dalam sistem seleksi dan evaluasi pendidikan. Ujian Nasional (UN) akan kembali diberlakukan mulai 2026, namun dengan format baru yang tidak hanya mengukur nilai akademik, tapi juga kesehatan mental dan karakter siswa.

Sistem SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) juga dirombak. Tidak lagi berbasis KK atau zonasi, tapi melalui tes bakat, minat, dan portofolio.

Namun, pertanyaan pentingnya: apakah guru dan infrastruktur siap?

Dra. Irawati Manalu, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Medan, menyebut ini sebagai “ambisi kebijakan yang tidak dibarengi penguatan sumber daya manusia”.

“Kurikulum maju terus, tapi banyak guru bahkan tidak tahu cara membuat modul digital. Apalagi mendeteksi kesehatan mental siswa,” jelasnya.

Teknologi Didorong, Pelatihan Guru Mandek

Di sisi lain, program pelatihan guru berbasis AI dan coding yang digagas sejak 2024 berjalan lambat. Dalam catatan resmi Kemendikbudristek, hanya 11% guru SD dan SMP di luar Jawa yang telah mengikuti pelatihan dasar integrasi teknologi.

Padahal, tahun ini pemerintah mulai mewajibkan pelajaran logika komputer dan AI sederhana sejak kelas 4 SD. Gap yang menganga antara target dan realita ini dinilai berisiko melahirkan kesenjangan pendidikan yang lebih dalam.

Dibalik Skandal: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Perusahaan penyedia Chromebook terbesar dalam proyek ini, salah satunya adalah PT. Dataline Konsorsium, yang berkantor di Jakarta Selatan. Dalam dokumen LKPP tahun 2021, perusahaan ini mendapat kontrak senilai lebih dari Rp 2 triliun.

Namun saat dihubungi, pihak perusahaan menolak memberikan keterangan. Surat konfirmasi yang dikirimkan oleh redaksi sejak 4 Juli 2025 juga belum direspons.

Dugaan kuat menyebut bahwa tidak hanya vendor, namun juga beberapa pejabat internal kementerian terlibat dalam penunjukan langsung dan penggelembungan harga.

Demo Mahasiswa & Guru: Pendidikan dalam Status Darurat

Pada 5 Juli lalu, lebih dari 3.000 mahasiswa dari berbagai kampus di Medan, Jakarta, dan Makassar turun ke jalan dengan satu seruan: “Pendidikan Bukan Dagangan!”

Aksi ini menjadi momentum langka kolaborasi antara guru, siswa, dan mahasiswa. Mereka menolak pemangkasan beasiswa, menuntut transparansi proyek digitalisasi, serta evaluasi menyeluruh terhadap arah kebijakan pendidikan nasional.

Di Medan, aksi berlangsung di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara. “Ini bukan sekadar soal beasiswa. Ini soal masa depan yang dirampas diam-diam,” ujar Nur Aini, koordinator lapangan aksi dari Aliansi Pendidikan untuk Rakyat.

Refleksi: Apa yang Kita Wariskan ke Generasi Selanjutnya?

Situasi pendidikan Indonesia hari ini adalah gambaran kontras antara ambisi digital dan realitas ketimpangan. Antara laptop yang menganggur dan anak-anak yang tak bisa melanjutkan kuliah. Antara gembar-gembor kurikulum AI dan guru-guru yang masih mengajar tanpa pelatihan.

Di tengah itu semua, suara-suara kritis mulai tumbuh: dari siswa, dari orang tua, dari guru. Mereka menuntut satu hal: kejujuran dan keberpihakan nyata terhadap rakyat dalam dunia pendidikan.

Jika pemerintah serius ingin menjadikan pendidikan sebagai pilar pembangunan bangsa, maka pemangkasan beasiswa dan pembiaran skandal bukanlah jalannya. Digitalisasi tanpa pemerataan hanya akan memperdalam jurang. Reformasi tanpa kesiapan hanya akan menciptakan kekacauan.

Masa depan Indonesia ditentukan oleh apa yang kita tanam hari ini. Dan sejauh ini, yang kita tanam tampaknya belum cukup baik untuk menuai generasi emas.

“Laptop bisa dibeli. Beasiswa bisa dicoret. Tapi mimpi anak-anak Indonesia? Jangan pernah dicuri.” (Red: BASL).