BONA NEWS. Aceh. – Kamis, 10 Juli 2025 menjadi hari yang penuh makna di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh. Di bawah langit cerah dan lantunan doa dari tokoh adat dan agama, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Imigrasi, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, meresmikan Memorial Living Park Rumoh Geudong, sebuah ruang baru yang dibangun di bekas lokasi pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dari Rumah Penyiksaan Menjadi Taman Kemanusiaan
Rumoh Geudong dulunya adalah sebuah rumah panggung khas Aceh yang sempat dijadikan pos aparat keamanan saat konflik Aceh memuncak pada 1990-an. Dalam catatan sejarah dan laporan Komnas HAM, tempat ini menjadi simbol kelam karena diduga menjadi lokasi berbagai bentuk kekerasan terhadap warga sipil.
Kini, rumah itu sudah tak ada. Sebagai gantinya, berdiri sebuah taman luas seluas 7.200 meter persegi, lengkap dengan masjid, area hijau terbuka, ruang edukasi, dan tugu perdamaian. Di dua sudut taman, pengunjung masih bisa melihat tangga kayu dan sumur asli yang sengaja dipertahankan sebagai jejak sejarah. Satu batu nisan simbolis juga ditempatkan, mewakili korban yang tidak sempat ditemukan secara utuh.
“Ini bukan sekadar taman,” ujar Yusril dalam pidatonya. “Ini adalah bentuk pengakuan negara. Tempat ini berdiri agar kita tidak lupa, sekaligus sebagai simbol bahwa luka bisa dipulihkan jika kita saling terbuka dan saling merangkul.”
Hadirnya Negara, Hadirnya Harapan
Acara peresmian ini turut dihadiri oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Mugiyanto, Wamen PUPR Diana Kusumastuti, serta Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah. Turut hadir pula para penyintas, keluarga korban, tokoh adat, ulama, dan ratusan warga.
Wamen HAM menyampaikan bahwa pembangunan memorial ini adalah bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023, yang berfokus pada penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar jalur pengadilan.
“Penyelesaian non-yudisial tidak berarti melupakan. Sebaliknya, inilah cara kita menghadirkan keadilan dengan pendekatan kemanusiaan,” kata Mugiyanto dalam sambutannya.
Memorial Living Park ini tidak hanya sekadar ruang hening. Di dalamnya terdapat ruang diskusi terbuka, panggung refleksi budaya, serta galeri sejarah yang menceritakan kronologi Rumoh Geudong secara faktual dan berimbang. Anak-anak bisa bermain dengan aman di taman terbuka, sementara remaja dan pelajar bisa memanfaatkan fasilitas edukatif untuk mengenal sejarah HAM di Indonesia.
Siti Rahma, seorang guru sekolah dasar yang datang bersama murid-muridnya, mengaku bersyukur atas keberadaan memorial ini. “Ini bukan tempat untuk menangis, tapi tempat untuk belajar. Agar anak-anak tahu, bahwa perdamaian itu butuh perjuangan dan keberanian untuk mengakui masa lalu.”
Yusril juga menegaskan bahwa keberlanjutan taman memorial ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat. Ia menyebut akan ada kolaborasi antara Kemenko Kumham Imipas, Pemerintah Aceh, Pemkab Pidie, serta komunitas penyintas dan organisasi masyarakat sipil.
“Negara hadir, tapi masyarakat harus ikut menjaga. Taman ini milik bersama,” ujarnya tegas.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Pidie juga menyatakan kesiapan menyediakan anggaran perawatan dan program edukasi rutin, termasuk pelibatan sekolah dan pesantren dalam program pembelajaran sejarah lokal berbasis damai.
Dengan peresmian Memorial Living Park Rumoh Geudong, Indonesia menandai satu langkah penting dalam perjalanan rekonsiliasi nasional. Langkah ini menjadi pengingat bahwa negara tidak berpaling dari sejarah, dan bahwa keadilan bisa hadir dalam bentuk ruang dialog, pengakuan, dan keberanian untuk berubah.
Kini, di atas tanah yang dahulu menyimpan banyak tangisan, berdiri taman tempat anak-anak tertawa. Di bawah pohon-pohon muda yang baru ditanam, tumbuh pula harapan bahwa luka bisa sembuh — asalkan kita mau belajar dari masa lalu dan tidak pernah membiarkannya terulang.(Red)
