BONA NEWS. Jakarta. – Indonesia mulai menunjukkan tajinya di sektor industri otomotif berbasis listrik dengan menyasar produksi komponen utama motor listrik, terutama yang berbahan dasar nikel—komoditas unggulan nasional yang kini menjadi rebutan dunia.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, yang disampaikan oleh Kepala BPS Sumut, Asim Saputra, menyebutkan bahwa nilai ekspor nikel olahan dari wilayah itu mencapai US$1,24 miliar pada semester I 2025, naik 38,2 persen dibanding periode sama tahun lalu. Mayoritas ekspor ditujukan ke Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang — tiga negara produsen kendaraan listrik terbesar di Asia.
“Tren pertumbuhan ekspor nikel dan turunannya terus naik sejak 2022. Ini menunjukkan bahwa hilirisasi mulai menunjukkan hasil konkret,” ujar Asim dalam konferensi pers di Medan, Selasa (8/7/2025).
Sejumlah perusahaan dalam negeri, seperti PT Indonesia Kendara Listrik Nusantara (IKLN) dan PT Bumi Material Magnetik, tengah mengembangkan magnet permanen dan rotor motor listrik berbasis nikel laterit. Ini merupakan langkah penting karena selama ini komponen tersebut diimpor dari Jepang dan Jerman.
Laporan dari Kementerian Perindustrian RI pada Mei 2025 menyatakan bahwa terdapat 11 pabrik komponen EV aktif, dan 4 di antaranya sudah mendapat sertifikasion ISO untuk ekspor.
Sementara itu, berdasarkan data dari Organisation Internationale des Constructeurs d’Automobiles (OICA), ekspor kendaraan dari Indonesia mencapai 521.000 unit pada 2024, dan tren menunjukkan peningkatan permintaan untuk model listrik, khususnya di Filipina dan Vietnam.
“Kami melihat adanya permintaan tinggi dari ASEAN terhadap komponen motor listrik buatan Indonesia, karena harga lebih kompetitif dan pasokan nikel stabil,” ungkap Yusron Hidayat, Direktur Industri Logam Dasar Kemenperin, saat Forum Otomotif Nasional 2025 di Jakarta.
Meski menjanjikan, Indonesia belum sepenuhnya mandiri. Inverter, battery management system (BMS), dan sistem kontrol kendaraan masih didominasi oleh produk impor dari Jepang dan Tiongkok. Hal ini menjadi tantangan jika ingin menguasai rantai pasok EV secara utuh.
Pengamat otomotif dari ITB, Dr. Andika Nugraha, menyebut bahwa dominasi Jepang masih kuat pada perangkat lunak dan kontrol sistem kendaraan.
“Kita unggul di material, tapi kalah di rekayasa digital dan keandalan sistem. Jika tidak dikejar melalui litbang, kita hanya akan jadi tukang cetak besi,” jelasnya kepada Bona News, Selasa (8/7/2025).
Laporan terbaru BloombergNEF menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi menjadi pusat produksi powertrain EV terbesar di Asia Tenggara pada 2027, mengingat cadangan nikelnya yang mencapai 21 juta ton menurut USGS 2024 — terbesar di dunia.
Bahkan, Indonesia mulai didekati oleh India dan Turki untuk kerja sama pasokan komponen EV karena kedua negara tengah membatasi impor dari Tiongkok.
Strategi hilirisasi nikel yang selama ini dikritik mulai menunjukkan hasil di sektor otomotif. Namun tantangan besar masih terbuka: tanpa investasi besar pada teknologi digital dan sistem kontrol, Indonesia tetap berisiko hanya menjadi eksportir logam, bukan pemimpin teknologi kendaraan masa depan. (Red)
