BONA NEWS. Jakarta. – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa Pemilu nasional dan Pemilu daerah tidak harus diselenggarakan secara serentak mulai tahun 2029, menimbulkan gelombang kritik dari mayoritas partai politik. Di sisi lain, putusan tersebut secara hukum bersifat final dan mengikat, membuat DPR dan pemerintah kini berada dalam tekanan untuk segera menyusun revisi terhadap Undang-Undang Pemilu dan Pilkada.

Konten Putusan dan Tujuan MK

Putusan MK yang dibacakan pada  26 Juni 2025 menyebutkan bahwa pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, serta DPD dapat dilakukan terpisah dari Pilkada Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. MK beralasan, pemilu serentak yang diterapkan pada 2019 dan 2024 menimbulkan beban teknis, logistik, hingga kelelahan pemilih dan penyelenggara.

“Pemilu serentak telah menciptakan kompleksitas yang tidak sebanding dengan nilai demokratis yang dihasilkan,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan.

Partai Politik Bersikap: Mayoritas Menolak

Respons partai politik tidak seragam, namun mayoritas menyampaikan keberatan terhadap isi putusan.

Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDIP, menyebutkan bahwa putusan ini berpotensi memperpanjang masa jabatan penjabat (Pj) kepala daerah tanpa mandat rakyat. “Ini membahayakan demokrasi lokal. Kami tidak menolak putusan, tapi perlu penyesuaian hukum melalui mekanisme legislatif,” ujarnya saat diwawancarai di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/7/2025).

Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR dari Partai NasDem, justru menegaskan pentingnya menghormati putusan MK. “Putusan MK adalah final dan mengikat. Tapi bukan berarti tak bisa dikritik. Jalan keluarnya ada pada revisi UU Pemilu,” katanya dalam diskusi publik yang digelar Forum Konstitusi Nasional, Minggu (6/7/2025).

Adies Kadir, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Partai Golkar, menyebut MK telah “melampaui batas kewenangannya” dengan mengatur desain pemilu. “MK bukan pembuat undang-undang. Ini berbahaya jika terus dibiarkan,” ujarnya saat jumpa pers di kompleks parlemen, Sabtu (5/7/2025).

Sementara itu, Zainudin Paru dari Fraksi PKS menyampaikan kekhawatiran terkait dampak politik dari jeda pemilu yang terlalu panjang. “Bagaimana dengan legitimasi kepala daerah jika jabatan mereka diperpanjang dua tahun tanpa pemilu?” tanyanya retoris.

DPR dan Pemerintah Bergerak Lambat

Menanggapi gejolak politik ini, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan bahwa lembaganya akan membentuk tim lintas fraksi dan kementerian untuk mengkaji dampak hukum dan teknis dari putusan MK. “Kami sedang dalam tahap mendengarkan semua masukan. Tidak bisa tergesa-gesa,” ujarnya saat konferensi pers,   Selasa (8/7/2025.

Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, Bahtiar, menyebut revisi UU Pemilu dan Pilkada harus disegerakan agar tidak terjadi kevakuman hukum. “Jika tidak direvisi, maka pelaksanaan pemilu 2029 bisa kacau,” ujarnya dalam rapat tertutup bersama Komisi II DPR, Kamis (10/7/2025).

Risiko Politik dan Demokrasi

Jika Pilkada dilaksanakan 2–2,5 tahun setelah Pemilu nasional, akan ada ratusan kepala daerah yang dijabat oleh Pj. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi politisasi birokrasi dan lemahnya akuntabilitas kepemimpinan daerah.

Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, menilai putusan ini bisa membuka ruang bagi oligarki. “Pj bisa ditunjuk langsung oleh pusat, tanpa keterlibatan rakyat. Ini mundur secara demokrasi,” ujarnya saat dihubungi,  Sabtu (12/7/2025).

Di sisi lain, beban logistik dan anggaran juga diperkirakan meningkat. Menurut data dari KPU, biaya pemilu serentak 2024 menembus Rp76 triliun. Jika dipisah, anggaran dua kali lipat berpotensi terjadi. “Tentu perlu perhitungan ulang dari sisi efisiensi negara,” kata August Mellaz, Ketua KPU RI.

Putusan Mahkamah Konstitusi telah membuka babak baru dalam diskursus demokrasi di Indonesia. Meski memiliki landasan hukum kuat, pelaksanaannya memerlukan dukungan legislatif dan administrasi yang matang. Dengan dinamika politik yang kian panas, semua pihak kini menunggu: apakah DPR akan merespons dengan reformasi sistem pemilu? Atau justru membiarkan konstitusi berjalan dalam kebingungan? (Red).