BONA NEWS. Sumatera Utara. — Masalah serius kembali mencuat di Kota Medan. Sebanyak 21 kecamatan diketahui belum menyetorkan retribusi sampah yang telah dipungut dari masyarakat ke kas Pemerintah Kota (Pemko) Medan sepanjang tahun 2025. Nilai tunggakan tersebut tercatat mencapai Rp 1,8 miliar, berdasarkan data resmi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Medan.
Kondisi ini memicu keprihatinan dan sorotan tajam dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan. Ketua Komisi IV DPRD Medan, Paul Mei Anton Simanjuntak, menyebut bahwa situasi ini berpotensi membuka celah korupsi, karena uang sudah dipungut namun tidak masuk ke kas negara.
“Kalau hal ini dibiarkan tanpa tindakan, sama saja membuka peluang penyalahgunaan keuangan. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi juga soal akuntabilitas,” tegas Paul dalam rapat dengar pendapat bersama DLH, Senin (14/7).
Potensi Gagal Capai Target PAD
DLH Medan sebelumnya telah menetapkan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor retribusi sampah sebesar Rp 40 miliar pada 2025. Namun, realisasi masih jauh dari harapan. Menurut Plt. Kepala DLH Medan, Siti Saidah Nasution, hambatan utama terletak pada minimnya setoran dari kecamatan, serta penurunan jumlah Wajib Retribusi Sampah (WRS) aktif.
Per 14 Juli 2025, hanya 133.907 WRS yang tercatat, terdiri dari rumah tangga dan pelaku usaha. Beberapa usaha besar bahkan sudah tidak lagi terdaftar, termasuk Hotel Danau Toba yang sebelumnya menjadi kontributor tetap.
Masalah Sistemik: Tidak Ada Kuitansi Resmi
Salah satu faktor yang memperburuk situasi adalah lemahnya sistem pemungutan retribusi. Banyak warga mengaku membayar retribusi melalui petugas kecamatan tanpa menerima kuitansi resmi. Hal ini menyulitkan penelusuran dana dan membuka celah manipulasi laporan.
Legislator Medan, Lailatul Badri, menyebut bahwa masyarakat seharusnya menolak membayar jika tidak diberikan bukti sah. DLH pun mengonfirmasi bahwa retribusi tanpa kuitansi adalah tidak sah, dan masyarakat berhak menolak.
Kasus Camat Medan Barat: Dugaan Penyalahgunaan Dana
Masalah ini semakin mencuat setelah muncul laporan dugaan penyalahgunaan dana retribusi oleh pejabat kecamatan. Camat Medan Barat, Hendra Syahputra, resmi dinonaktifkan per 2 Juni 2025 setelah dilaporkan meminjam dana retribusi sampah puluhan juta rupiah dari petugas lapangan. Saat ini, Hendra tengah diperiksa oleh Inspektorat Kota Medan.
Kasus ini menambah daftar panjang lemahnya tata kelola retribusi di tingkat kecamatan. DPRD mendesak agar pengawasan diperketat dan jika ditemukan unsur pelanggaran hukum, kasus segera diserahkan ke aparat penegak hukum.
Solusi yang Didorong DPRD dan DLH
Untuk mengatasi krisis ini, DPRD dan DLH Kota Medan mengusulkan sejumlah solusi strategis:
- Digitalisasi sistem pembayaran: Warga dapat membayar retribusi bersamaan dengan tagihan listrik atau air (PDAM), agar tidak ada lagi dana nyasar.
- Pendataan ulang WRS, terutama pelaku usaha dan sektor komersial yang belum masuk dalam basis data.
- Transparansi dan akuntabilitas: Setiap pembayaran retribusi wajib menggunakan kuitansi resmi.
- Audit menyeluruh terhadap pengelolaan retribusi di semua kecamatan oleh Inspektorat Daerah.
DLH juga diminta aktif turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi langsung, serta mengedukasi masyarakat soal hak dan kewajiban dalam pembayaran retribusi.
Kasus belum disetorkannya retribusi sampah oleh 21 kecamatan di Medan menandai pentingnya reformasi sistem keuangan publik di tingkat lokal. Dengan nilai tunggakan yang menyentuh miliaran rupiah, kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran pun dipertaruhkan. Jika tidak segera ditindaklanjuti, risiko kebocoran PAD dan penyimpangan dana akan terus mengancam.
Pemko Medan kini berada di persimpangan jalan: memperkuat sistem pengelolaan retribusi, atau membiarkan masalah ini menjadi skandal tata kelola yang merusak kredibilitas Pemerintah Kota Medan. (Red)

