BONA NEWS. Jakarta. — Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Gugatan tersebut meminta agar pasal-pasal dalam UU tersebut ditafsirkan secara konstitusional untuk memungkinkan redenominasi rupiah, yakni mengubah pecahan Rp 1.000 menjadi Rp 1 tanpa mengubah daya beli.
Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar hari ini, MK menyatakan bahwa permintaan redenominasi bukanlah perkara konstitusional yang dapat diputuskan lewat tafsir yuridis semata. Menurut Mahkamah, perubahan nilai nominal mata uang adalah ranah pembentuk undang-undang, bukan ranah tafsir hukum melalui Mahkamah Konstitusi.
“Mahkamah menilai bahwa kebijakan redenominasi rupiah merupakan kebijakan fundamental yang menyangkut aspek fiskal, moneter, psikologis masyarakat, serta memerlukan persiapan menyeluruh dan partisipasi publik. Oleh karena itu, bukan wewenang Mahkamah untuk memaksakan perubahan tersebut melalui uji materi,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
Zico sebelumnya menggugat Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Mata Uang, yang mengatur kewajiban penulisan nilai rupiah dalam angka dan huruf secara lengkap. Ia berpendapat bahwa aturan ini dapat ditafsirkan untuk memungkinkan penyederhanaan nominal mata uang, sehingga angka Rp 1.000 dapat ditulis sebagai Rp 1 jika diiringi perubahan sistematis melalui interpretasi hukum.
Namun Mahkamah menolak tafsir tersebut. Menurut MK, pasal yang diuji sama sekali tidak menyentuh aspek redenominasi, melainkan hanya berkaitan dengan penulisan administratif atas nilai uang. “Dalil Pemohon yang mengaitkan pasal ini dengan redenominasi merupakan penafsiran yang terlalu jauh,” tegas Suhartoyo.
Tidak Menolak Gagasan, Tapi Menegaskan Prosedur
Penolakan MK ini tidak berarti gagasan redenominasi ditolak secara prinsip. Justru, Mahkamah membuka ruang bagi perubahan nominal rupiah, namun harus dilakukan lewat prosedur legislatif, yakni dengan pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Redenominasi oleh DPR dan pemerintah.
Pemerhati kebijakan publik, Bobby Apriliano, menilai keputusan MK tersebut sebagai bentuk kehati-hatian yang patut diapresiasi. “Redenominasi bukan sekadar memotong angka nol, melainkan menyangkut kepercayaan publik terhadap mata uang. Prosesnya harus transparan, terencana, dan didukung edukasi menyeluruh,” ujar Bobby Apriliano yang juga Pimpinan BASL Center, Kamis (17/7/2025).
Menurut Bobby Apriliano , redenominasi memang layak dipertimbangkan dalam jangka panjang, namun tidak bisa dilakukan secara instan.
“Kita tidak bisa berharap Mahkamah mengesahkan perubahan struktur mata uang hanya karena tafsir perorangan. Ini perlu road map, kajian ekonomi makro, dan tentu persetujuan politik,” imbuhnya.
Redenominasi di Negara Lain
Redenominasi bukanlah hal baru dalam sejarah ekonomi global. Negara seperti Turki, Rusia, dan Zimbabwe pernah melaksanakan redenominasi untuk menyesuaikan nilai mata uang mereka terhadap inflasi atau menormalkan sistem keuangan pasca-krisis. Indonesia sendiri sempat mewacanakan redenominasi sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun belum pernah terealisasi karena berbagai pertimbangan teknis dan politik.
Salah satu tantangan utama dalam redenominasi adalah menjaga stabilitas harga dan mencegah kebingungan publik. Tanpa literasi ekonomi yang kuat, pemotongan angka nol bisa menimbulkan kepanikan atau disinformasi. Itulah sebabnya, menurut MK, segala bentuk perubahan harus diputuskan lewat jalur legislasi formal, bukan sekadar tafsir perorangan.
Putusan MK hari ini menegaskan bahwa perubahan nilai nominal rupiah hanya dapat dilakukan melalui mekanisme undang-undang. Dengan demikian, keinginan sebagian pihak untuk mendorong redenominasi Rp 1.000 menjadi Rp 1 harus menempuh jalur legislatif, bukan lewat pengadilan konstitusi.
Meskipun gugatan ditolak, isu ini membuka kembali diskusi nasional soal masa depan sistem mata uang Indonesia. Dan jika wacana redenominasi hendak dihidupkan kembali, langkah awalnya bukan di ruang sidang Mahkamah, melainkan di meja legislatif DPR dan Kementerian Keuangan. (Red: AP)
