BONA NEWS. Jakarta.  — Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (25/7/2025) menyampaikan data terbaru terkait kondisi kemiskinan dan pengangguran nasional. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa penundaan pengumuman data dari jadwal semula 15 Juli 2025 dilakukan demi menjaga akurasi dan kualitas informasi yang disampaikan.

Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di wilayah perkotaan mengalami peningkatan. Per Maret 2025, angka kemiskinan kota naik menjadi 6,73 persen dari 6,66 persen pada September 2024. Kenaikan ini erat kaitannya dengan bertambahnya jumlah pekerja setengah pengangguran—yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu dan masih mencari pekerjaan tambahan. “Secara nasional, terdapat tambahan sekitar 460 ribu pekerja setengah pengangguran dibandingkan Agustus 2024,” ungkap Ateng Hartono, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, saat konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Ateng juga menyebut bahwa kelompok laki-laki di kawasan perkotaan menjadi penyumbang terbesar dalam kenaikan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), yang naik dari 5,87 persen menjadi 6,06 persen pada Februari 2025. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi pasca-pandemi belum sepenuhnya merata di berbagai sektor dan wilayah.

Selain faktor ketenagakerjaan, lonjakan harga pangan juga memberi tekanan pada rumah tangga berpendapatan rendah. Harga minyak goreng, cabai rawit, dan bawang putih mengalami lonjakan yang signifikan. Kenaikan harga ini berdampak langsung pada konsumsi pangan rumah tangga miskin yang biasanya mengalokasikan lebih dari 60 persen pendapatannya untuk kebutuhan makanan. “Sebanyak 59,45 persen kepala rumah tangga miskin hanya berpendidikan maksimal SMP, dan 49,01 persen bekerja di sektor informal. Artinya, kelompok ini sangat rentan terhadap gejolak harga pangan,” ujar Amalia.

Lebih lanjut, BPS mencatat bahwa ketimpangan ekonomi antarwilayah juga masih menjadi tantangan. Wilayah perkotaan yang sebelumnya menunjukkan tren pemulihan ekonomi, kini justru mengalami pelemahan akibat stagnasi di sektor jasa dan tekanan harga. Di sisi lain, beberapa wilayah pedesaan menunjukkan ketahanan yang lebih baik karena aktivitas pertanian yang relatif stabil.

Dalam aspek konsumsi, BPS mengangkat fenomena sosial yang kian marak di masyarakat urban, yakni “Rojali” atau Rombongan Jarang Beli. Istilah ini menggambarkan perilaku konsumen—terutama dari kalangan menengah atas—yang kerap mengunjungi pusat perbelanjaan tanpa melakukan pembelian. Perilaku ini mencerminkan kehati-hatian dalam membelanjakan uang di tengah ketidakpastian ekonomi.

“Fenomena Rojali tidak langsung berdampak pada angka kemiskinan, tapi ini sinyal penting bahwa konsumsi rumah tangga kelas menengah ikut melemah. Ini harus menjadi perhatian pemerintah agar strategi pemulihan ekonomi tidak hanya berfokus pada angka statistik, tetapi juga perilaku konsumsi dan daya beli masyarakat luas,” kata Amalia dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (25/7).

Menurut BPS, indikator sosial dan perilaku konsumsi masyarakat kini harus dipandang sebagai early warning system untuk kebijakan fiskal maupun bantuan sosial. Penurunan konsumsi pada kelompok non-miskin bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Kalau masyarakat menahan belanja, maka perputaran ekonomi melambat. Ini bukan hanya soal angka kemiskinan, tapi juga soal kepercayaan publik terhadap kondisi ekonomi,” jelas Ateng.

Sejumlah ekonom menilai bahwa hasil pengukuran terbaru ini dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi ulang efektivitas program bantuan sosial dan stimulus ekonomi yang selama ini diberikan. Selain itu, kolaborasi antarlembaga dinilai penting untuk mengatasi dampak jangka menengah dari tekanan harga dan lapangan kerja terbatas.

Pemerhati sosial dan kebijakan publik, Bobby Apriliano, menilai bahwa data yang disampaikan BPS harus menjadi bahan koreksi menyeluruh terhadap arah kebijakan pemerintah saat ini. “Jangan hanya terjebak dalam narasi menurunkan angka kemiskinan, sementara masyarakat di lapangan makin tertekan. Pemerintah harus pastikan bahwa kebutuhan dasar, terutama di kota besar, benar-benar terjangkau,” ujar Bobby Apriliano, Jumat (25/7/2025).

Ia juga menyoroti fenomena Rojali sebagai indikasi menurunnya rasa aman ekonomi di kalangan kelas menengah. “Kalau yang biasanya belanja mulai menahan diri, itu tandanya ada krisis kepercayaan terhadap kondisi ekonomi. Pemerintah perlu segera merespons ini secara konkret,” tambahnya.

BPS menegaskan bahwa pembuat kebijakan perlu melihat persoalan secara menyeluruh. Data statistik kemiskinan perlu dibaca bersamaan dengan indikator sosial lain yang mencerminkan tekanan ekonomi di lapisan masyarakat.

Informasi ini diharapkan menjadi rujukan bagi kementerian, lembaga keuangan, serta pelaku usaha dalam merumuskan langkah pemulihan ekonomi yang lebih inklusif dan tanggap terhadap dinamika di lapangan. (Red)