BONA NEWS. Sumatera Utara.. – Dalam lima tahun terakhir, dunia menyaksikan lonjakan besar dalam pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI). Mulai dari chatbot di layanan pelanggan, otomasi pabrik, hingga penggunaan AI dalam bidang kesehatan dan hukum. Namun, perkembangan pesat ini bukan tanpa kontroversi. Masyarakat global kini dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah AI akan menggantikan manusia di dunia kerja, atau justru menciptakan peluang baru?
Lompatan AI di Era Pasca-Pandemi
Pandemi COVID-19 mempercepat transformasi digital di hampir semua sektor. Perusahaan terpaksa mengadopsi sistem kerja jarak jauh dan otomatisasi demi efisiensi dan keberlangsungan operasional. Teknologi AI pun menjadi solusi yang sangat dicari, terutama dalam bidang seperti:
- Customer service: Chatbot seperti ChatGPT dan Bard kini menangani jutaan pertanyaan pelanggan setiap harinya.
- Manufaktur: Pabrik-pabrik besar mulai mengandalkan robot cerdas untuk proses produksi yang presisi dan cepat.
- Kesehatan: AI digunakan untuk membantu diagnosa medis, memprediksi penyebaran penyakit, bahkan melakukan screening radiologi.
Menurut laporan McKinsey Global Institute (2025), lebih dari 60% perusahaan besar di Asia Tenggara telah mengintegrasikan teknologi AI ke dalam proses bisnis mereka.
Dampak terhadap Dunia Kerja: Siapa yang Tergusur, Siapa yang Terangkat?
Salah satu kekhawatiran terbesar dari adopsi AI adalah hilangnya pekerjaan. Laporan dari World Economic Forum (2024) menyebutkan bahwa sekitar 85 juta pekerjaan diperkirakan akan tergantikan oleh mesin hingga tahun 2025. Namun, laporan yang sama juga mencatat bahwa 97 juta pekerjaan baru bisa muncul akibat transformasi ini — terutama dalam bidang teknologi, analisis data, dan manajemen informasi.
Profesi yang berisiko digantikan AI antara lain:
- Operator data dan input
- Kasir dan petugas layanan pelanggan
- Analis keuangan tingkat dasar
- Pekerja pabrik dan operator mesin
Sementara itu, profesi yang berpeluang tumbuh antara lain:
- Analis data dan ilmuwan AI
- Spesialis keamanan siber
- Pengembang perangkat lunak dan insinyur cloud
- Manajer transformasi digital
- Tenaga pendidik digital dan pelatih AI
Indonesia dan Tantangan Kesiapan Digital
Di Indonesia, adopsi AI terus meningkat, terutama di sektor e-commerce, transportasi, dan keuangan. Tokopedia, Gojek, dan Bank Jago adalah contoh perusahaan yang telah memanfaatkan AI untuk meningkatkan efisiensi layanan dan pengalaman pengguna.
Namun, tantangan utama masih ada pada kesenjangan keterampilan (skill gap). Data dari BPS (2024) menunjukkan bahwa hanya sekitar 19% angkatan kerja Indonesia yang memiliki keterampilan digital dasar. Padahal, pasar tenaga kerja masa depan membutuhkan setidaknya keterampilan intermediate seperti analisis data, pemrograman dasar, atau penggunaan perangkat berbasis AI.
Pemerintah melalui Kementerian Kominfo telah menggulirkan berbagai pelatihan seperti Digital Talent Scholarship dan 1000 Startup Digital, namun dampaknya masih belum merata, terutama di luar Pulau Jawa.
Etika AI: Tantangan Regulasi dan Privasi
Selain dampak terhadap pekerjaan, AI juga memunculkan persoalan baru di ranah etika dan hukum. Beberapa isu yang mengemuka:
- Privasi data: Banyak sistem AI yang membutuhkan data pribadi dalam jumlah besar. Tanpa regulasi yang ketat, penyalahgunaan data menjadi ancaman serius.
- Bias algoritma: AI yang dilatih dengan data tidak seimbang bisa menghasilkan keputusan diskriminatif.
- Transparansi: Bagaimana masyarakat bisa tahu alasan di balik keputusan AI, seperti penolakan kredit atau penilaian kinerja?
Di Indonesia, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) akhirnya disahkan menjadi UU pada 2023, namun implementasinya masih dalam proses. Selain itu, belum ada regulasi khusus yang mengatur penggunaan AI di sektor-sektor sensitif.
Teknologi AI bukan sekadar tren sementara, melainkan sebuah revolusi yang akan terus berkembang. Dalam konteks dunia kerja, AI bisa menjadi ancaman atau peluang — tergantung bagaimana individu, perusahaan, dan pemerintah meresponsnya.
Bagi pekerja, penting untuk terus belajar dan mengembangkan keterampilan baru. Bagi perusahaan, investasi pada pelatihan dan adopsi teknologi secara etis adalah langkah strategis. Dan bagi pemerintah, memastikan akses pelatihan digital yang merata serta regulasi yang berpihak pada perlindungan masyarakat akan menjadi penentu masa depan yang inklusif dan berkelanjutan.
“Kita tidak bisa melawan AI, tapi kita bisa belajar berdampingan dan memanfaatkannya untuk kemajuan manusia,” kata Prof. Wahyudi Sutopo, pakar teknologi dari Universitas Sebelas Maret.
Ke depan, dunia tidak lagi berbicara tentang siapa yang mengalahkan siapa, tapi bagaimana manusia dan mesin bisa bekerja sama untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. (Red)
