BONA NEWS. Jakarta. — Industri tekstil dan alas kaki Indonesia menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah Amerika Serikat mulai mengajukan pesanan besar, menyusul pengumuman tarif impor baru oleh Presiden Donald Trump. Pemerintah dan pelaku usaha menyambut positif langkah ini, yang dipandang sebagai sinyal kuat membaiknya hubungan dagang kedua negara meski di tengah tekanan geopolitik dan persaingan regional.

Presiden AS Donald Trump melalui surat tertanggal 7 Juli 2025 menyatakan bahwa produk tekstil, pakaian, dan sepatu dari Indonesia akan dikenai tarif impor sebesar 32%, berlaku mulai 1 Agustus 2025. Namun, sebelum tarif tersebut efektif, banyak mitra dagang di AS justru mempercepat pemesanan demi menghindari kenaikan biaya.

“Salah satu dampak yang paling konkret adalah dengan diumumkannya oleh Presiden Trump di awal, maka pesanan untuk produk tekstil, pakaian dan sepatu sudah mulai jalan. Kalau itu tidak diumumkan, maka pesanan ini tidak diberikan oleh mitra dagang di Amerika dan tentu ini bisa berakibat pada pengurangan tenaga kerja atau PHK,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (23/7/2025).

Permintaan Naik Tajam

Menurut data Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), sejumlah brand besar seperti Nike, Skechers, Vans, dan merek ritel dari Texas dan California telah mempercepat order mereka sejak akhir Juni hingga pertengahan Juli 2025.

“Kami mencatat peningkatan pemesanan hingga 20% dibanding bulan sebelumnya. Banyak pabrik di Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah mulai menambah jam kerja,” kata Yoseph Billie Dosiwoda, Direktur Eksekutif Aprisindo, Sabtu (19/7/2025).

Sementara itu, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) melaporkan bahwa sebagian pabrik yang sebelumnya merumahkan pekerja kini mulai merekrut kembali untuk memenuhi lonjakan permintaan.

Data Ekspor: Dominasi Pasar AS

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk alas kaki dan pakaian ke AS sepanjang kuartal I 2025 mencapai USD 1,855,6 juta atau sekitar Rp 31,7 triliun, terdiri dari:

  • Alas kaki (HS 64): USD 657,9 juta (naik 16,6% YoY)
  • Pakaian rajut (HS 61): USD 629,25 juta
  • Pakaian non-rajut (HS 62): USD 568,46 juta

Secara volume dan pangsa pasar:

  • Rajutan: 38.620 ton (63,4% dari total ekspor kategori ini ke AS)
  • Non-rajutan: 17.700 ton (42,9%)
  • Alas kaki: 33.270 ton (34,1%)

Dampak Langsung ke Lapangan Kerja

Sektor tekstil dan alas kaki menyerap total ±2,8 juta tenaga kerja. Namun menurut Achmad Nur Hidayat, pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Selasa (8/7/2025), jika tarif tinggi diberlakukan sepenuhnya tanpa persiapan, potensi kehilangan pekerjaan bisa mencapai 3,6 juta pekerja.

“Industri ini sangat rentan terhadap perubahan kebijakan dagang eksternal. Keterlambatan respons pemerintah bisa memperburuk dampaknya,” jelasnya.

Namun situasi terkini menunjukkan harapan. Pemerintah menyatakan strategi percepatan ekspor tetap berjalan. Dalam rapat terbatas di Istana Negara pada 22–23 Juli 2025, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan komitmen untuk menjadikan tekstil, sepatu, dan pakaian sebagai komoditas ekspor unggulan ke AS.

Tantangan dan Strategi

Menurut Ahmad Heri Firdaus dari INDEF (21 Juli 2025), tarif 19–32% akan tetap menjadi tantangan, namun bukan penghalang mutlak jika didukung oleh efisiensi produksi dan penguatan logistik.

“Indonesia masih unggul secara kapasitas dan kualitas dibanding pesaing seperti Bangladesh dan Malaysia, apalagi kalau insentif fiskal diperkuat,” ujarnya.

Pemerintah juga telah membuka ruang kerja sama dengan mitra AS untuk memperkuat rantai pasok berkelanjutan dan tenaga kerja yang adil.

Meski ancaman tarif tinggi membayangi, respons cepat dari mitra dagang AS dan pemerintah Indonesia menunjukkan optimisme baru bagi sektor tekstil dan sepatu nasional. Dengan permintaan yang mulai naik, pelaku industri punya kesempatan untuk bangkit dan memperkuat posisi di pasar global, selama dibarengi dengan peningkatan daya saing dan keberlanjutan industri. (Red)