BONA NEWS. Sumatera Utara. – Di tengah derasnya arus perubahan zaman dan gaya hidup digital, masyarakat Indonesia kini kembali meninjau ulang pertanyaan mendasar: apakah hidup di kota masih relevan, atau justru desa menjadi pilihan yang lebih manusiawi? Kota dan desa masing-masing menawarkan daya tarik, namun juga tantangan yang kian nyata. Pilihan ini bukan lagi soal lokasi semata, melainkan tentang nilai hidup dan kualitas keseharian.

Urbanisasi Masih Dominan, Tapi Tren Mulai Bergeser

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 56% penduduk Indonesia kini tinggal di wilayah perkotaan, meningkat signifikan dari 49,8% pada tahun 2010. Urbanisasi diperkirakan terus meningkat hingga mencapai 66–67% pada 2035. Fenomena ini dipicu oleh konsentrasi fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang kerja di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.

Namun, pertumbuhan cepat ini tidak selalu seiring dengan peningkatan kualitas hidup. Kota-kota padat menghadapi kemacetan kronis, polusi udara tinggi, hingga harga sewa dan kebutuhan pokok yang terus naik. Riset Numbeo 2024 mencatat bahwa biaya hidup satu orang dewasa di Jakarta bisa mencapai Rp8 juta per bulan, termasuk sewa tempat tinggal.

Tekanan Mental di Kota: Masalah Baru Gaya Hidup Urban

Seiring berkembangnya kota, masalah kesehatan mental juga turut meningkat. Menurut Asia Care Survey 2024, sebanyak 56% masyarakat Indonesia menyebut stres dan kelelahan mental (burnout) sebagai masalah utama mereka. Sebanyak 42,6% bahkan mengalami gangguan tidur yang mengganggu produktivitas harian.

Studi lokal dari Universitas di Jawa Barat pada 2024 menemukan bahwa 42% penduduk perkotaan mengalami gangguan psikologis, sementara 59,9% menunjukkan gejala PTSD ringan hingga sedang. Ini menegaskan bahwa tekanan hidup di kota bukan lagi asumsi, tetapi realitas statistik.

Desa: Ruang Alternatif yang Kembali Dilirik

Di tengah tekanan urban, banyak masyarakat—terutama profesional muda—mulai memandang desa sebagai alternatif yang layak. Udara bersih, komunitas yang akrab, dan biaya hidup yang lebih rendah menjadi alasan utama. Bahkan, data Litbang Kompas 2023 menyebut bahwa 61% responden usia 25–40 tahun tertarik pindah ke desa jika infrastruktur digital tersedia.

Transformasi ini didukung program Desa Digital dari Kementerian Desa dan Kominfo. Hingga akhir 2024, terdapat 13.200 desa di Indonesia yang telah terhubung dengan internet cepat. Selain itu, Data Podes 2024 mencatat bahwa Indonesia kini memiliki 84.276 unit pemerintahan desa, mencakup 75.753 desa dan 8.486 kelurahan—membuka peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi berbasis lokal.

Kerja Jarak Jauh Memicu “Ruralisasi Profesional”

Fenomena remote working pasca pandemi memungkinkan profesional bekerja dari mana saja. Survei Katadata Insight Center 2024 menunjukkan bahwa 28% pekerja usia 20–35 tahun mempertimbangkan pindah ke desa, selama pekerjaan daring memungkinkan. Beberapa daerah seperti Yogyakarta, Ubud (Bali), dan Lembang kini menjadi “zona hijau” favorit para pekerja kreatif dan digital nomad.

Tren ini mengubah wajah desa: dari sekadar wilayah agraris menjadi ekosistem kreatif dan digital yang berkembang. Banyak desa bahkan mengembangkan wisata berbasis budaya dan lingkungan, seperti Desa Wisata Ponggok (Klaten), Pujon Kidul (Malang), dan Pemuteran (Bali).

Kota dan Desa: Pilihan Nilai, Bukan Sekadar Geografi

Dulu, tinggal di desa kerap dianggap sebagai simbol keterbelakangan. Kini, banyak orang dengan sadar memilih hidup di desa sebagai bentuk kritik terhadap budaya serba cepat yang melelahkan. Hidup lebih lambat, lebih sederhana, dan lebih seimbang menjadi nilai baru yang dicari masyarakat modern.

Namun, tidak semua desa ideal. Tantangan seperti keterbatasan layanan kesehatan, akses air bersih, dan kualitas pendidikan masih menjadi kendala di banyak wilayah. Di sisi lain, kota tetap menjadi pusat inovasi, pendidikan tinggi, dan peluang ekonomi.

Urban vs desa bukanlah soal mana yang lebih baik, melainkan soal kebutuhan, nilai, dan arah hidup yang kita pilih. Kota menawarkan kecepatan dan konektivitas; desa menyodorkan ketenangan dan koneksi sosial yang lebih kuat.

Maka, sebelum menentukan pilihan, tanyakan pada diri Anda:
Apa arti “hidup baik” bagi saya?
Jawaban atas pertanyaan itu akan lebih penting daripada koordinat tempat tinggal Anda di peta..