BONA NEWS. Sumatera Utara. – Urbanisasi di Indonesia kembali melonjak. Per Juli 2025, lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan, menurut data BPS. Ledakan urbanisasi ini berdampak besar pada perekonomian daerah—baik kota maupun desa sama-sama menghadapi tekanan yang makin kompleks.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ratusan ribu penduduk desa pindah ke kota setiap bulannya, mayoritas usia produktif. Akibatnya, sektor pertanian dan UMKM di daerah perdesaan kekurangan tenaga kerja muda.
“Tenaga kerja pertanian usia di bawah 40 tahun menyusut drastis, hanya 18,7% dari total petani di kuartal II 2025,” tulis BPS dalam laporan pasar tenaga kerja edisi Juli 2025.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% pada semester I 2025. Namun, pertumbuhan ini tidak dinikmati secara merata. Di balik pencapaian itu, muncul persoalan baru: kemiskinan kota naik tipis, hunian tidak layak meningkat, dan ketimpangan melebar.
“Penduduk miskin di perkotaan naik dari 6,66% ke 6,73% per Maret 2025,” ungkap BPS dalam rilisnya.
Di sisi lain, jumlah warga yang tinggal di hunian tidak layak di kota besar mencapai lebih dari 4 juta orang.
Berbanding terbalik, tingkat kemiskinan di desa justru turun dari 11,34% ke 11,03%. Hal ini dipengaruhi program subsidi pangan, bantuan sosial langsung, dan peningkatan akses digital di desa.
Namun BPS menegaskan, penurunan itu bukan berarti desa sedang membaik secara menyeluruh. Pertumbuhan ekonomi desa stagnan di bawah 2,5%, tertinggal jauh dari wilayah metropolitan.
Ketimpangan Antarwilayah Melebar
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengingatkan soal ini pada Rapat Nasional Ekonomi Juli 2025 lalu. Ia menyebut, 70% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih terpusat di Pulau Jawa dan kota besar, padahal 55% penduduk tinggal di luar wilayah itu.
PDRB per kapita DKI Jakarta saat ini tembus Rp 310 juta, sementara kabupaten termiskin seperti Nias Barat hanya Rp 21 juta—ketimpangan nyaris 15 kali lipat.
Per semester I 2025, BKPM mencatat investasi baru sebesar Rp 726 triliun. Sayangnya, lebih dari 72% proyek investasi terfokus di kawasan urban, khususnya di Jabodetabek, Batam, Surabaya, dan Bandung Raya.
Sebaliknya, banyak kabupaten di luar Jawa–Sumatera tak kebagian proyek, membuat daya saing daerah makin lemah.
Untuk membendung ketimpangan akibat urbanisasi, pemerintah mengambil tiga strategi utama:
- Mendorong Kota Penyangga
Kawasan seperti Cikarang, Serang, dan Majalaya didorong menjadi zona industri baru. Insentif pajak disiapkan untuk pelaku usaha yang mau buka pabrik di luar kota besar. - Revitalisasi Desa Digital
Hingga Juli 2025, program Desa Digital telah menjangkau 83.414 desa, meliputi pelatihan e-commerce, akses internet cepat, dan distribusi modal mikro ke UMKM lokal. - Pembangunan IKN dan Kawasan Luar Jawa
Ibu Kota Nusantara (IKN) mulai menarik perhatian investor. 48 proyek baru telah disetujui sejak Mei–Juli 2025, menurut data Otorita IKN. Hal ini diharapkan bisa mengalihkan arus urbanisasi ke Kalimantan.
Urbanisasi tak bisa dihindari tapi harus dikelola. Urbanisasi adalah keniscayaan dalam ekonomi berkembang. Tanpa pengelolaan yang adil, kota akan kelebihan beban dan desa akan lumpuh.
“Kalau semua orang ke kota, siapa yang jaga ketahanan pangan? Siapa yang urus sawah dan produksi lokal?”
Urbanisasi adalah tantangan dan peluang. Ia bisa mendorong pertumbuhan, tapi juga bisa memperbesar ketimpangan. Data Juli 2025 menunjukkan, jika tidak ada pemerataan investasi dan pembinaan desa, maka kota akan kelelahan, dan desa akan terus ditinggalkan.
Pemerintah dan pelaku ekonomi punya pekerjaan rumah besar: menghentikan sentralisasi ekonomi, dan menyebar manfaat pembangunan ke semua wilayah. (Red)
