BONA NEWS. Jakarta.  — Isu viral yang menyebut bahwa seseorang tidak tergolong miskin jika memiliki pengeluaran lebih dari Rp 20 ribu per hari menuai sorotan luas. Di tengah tingginya biaya hidup di berbagai wilayah Indonesia, klaim tersebut memancing perdebatan dan kritik tajam. Badan Pusat Statistik (BPS) akhirnya angkat bicara untuk meluruskan kesalahpahaman publik.


Baru-baru ini, beredar informasi yang menyatakan bahwa warga Indonesia tidak dikategorikan miskin apabila mampu membelanjakan lebih dari Rp 20 ribu per hari. Klaim ini dikaitkan dengan garis kemiskinan nasional dari BPS. Namun menurut Kepala BPS, Margo Yuwono, hal tersebut tidak benar.

“BPS tidak pernah menetapkan angka Rp 20 ribu per hari sebagai batas kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung secara bulanan dan memperhitungkan banyak variabel,” ujar Margo pada Kamis, 24 Juli 2025.

BPS menetapkan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum makanan dan non-makanan, dan dinyatakan dalam bentuk pengeluaran per kapita per bulan, bukan harian.

Berdasarkan data resmi BPS per Maret 2025, garis kemiskinan nasional adalah Rp 609.160 per kapita per bulan, atau setara dengan rata-rata Rp 20.305 per hari. Meski jika dibagi harian angkanya mirip dengan Rp 20 ribu, BPS menekankan bahwa pendekatan ini tidak bisa disederhanakan.

Adapun jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 23,85 juta orang atau 8,47% dari total populasi Indonesia. Jumlah ini turun dibanding September 2024 yang berada di angka 8,57%.

Menggunakan angka Rp 20 ribu per hari sebagai tolok ukur kemiskinan dinilai sangat keliru karena mengabaikan perbedaan harga kebutuhan pokok antar wilayah. Di Papua Barat Daya, misalnya, garis kemiskinan sudah mencapai lebih dari Rp 850 ribu per bulan, atau hampir Rp 28 ribu per hari.

“Standar biaya hidup antar daerah berbeda. Garis kemiskinan ditetapkan berdasarkan survei konsumsi riil dan harga aktual di masing-masing wilayah,” jelas Margo lagi pada Kamis, 24 Juli 2025.

Penduduk Rentan Miskin: Di Atas Garis Tapi Tetap Sulit

Banyak pihak menilai bahwa orang yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan pun belum tentu sejahtera. Mereka tergolong dalam kelompok rentan miskin, yaitu mudah jatuh ke bawah garis kemiskinan jika ada krisis kecil.

Peneliti sosial Satria Arta Kumbara menekankan pentingnya memahami garis kemiskinan sebagai alat statistik, bukan sebagai penentu layak atau tidaknya hidup seseorang.

“Faktanya, Rp 20 ribu sehari mungkin cukup untuk satu kali makan sederhana. Tapi bagaimana dengan transportasi, pendidikan, dan kebutuhan darurat?” kata Satria saat dihubungi pada Jumat, 25 Juli 2025.

Menurutnya, garis kemiskinan hanya mencerminkan batas minimal untuk bertahan hidup, bukan untuk hidup layak.

Dalam berbagai kesempatan, pemerintah juga mengakui bahwa garis kemiskinan bukan tolok ukur kesejahteraan. Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pernah menyatakan bahwa penilaian kesejahteraan seharusnya melibatkan indikator multidimensi, termasuk kualitas pendidikan, kesehatan, dan kondisi perumahan.

Ini sesuai dengan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang menekankan pembangunan manusia secara menyeluruh, bukan hanya berdasarkan pendapatan atau pengeluaran.

Suara Warga: Realita Tak Sesuai Statistik

Di media sosial, banyak warga mempertanyakan logika pengeluaran Rp 20 ribu per hari sebagai batas hidup layak. Beberapa menyoroti bahwa satu kali makan di warteg saja kini bisa mencapai Rp 15–20 ribu.

“Makan dua kali saja sudah lebih dari Rp 30 ribu. Kalau punya anak, uang segitu mana cukup?” tulis akun @ayu_tami di X (Twitter), pada Jumat, 25 Juli 2025.

Kritik juga diarahkan kepada pembuat kebijakan yang dianggap terlalu terpaku pada angka statistik tanpa melihat kenyataan lapangan.

Pernyataan bahwa pengeluaran Rp 20 ribu per hari cukup untuk tidak disebut miskin memang bisa dijelaskan secara statistik. Namun, angka tersebut tidak layak dijadikan patokan tunggal, apalagi untuk menyimpulkan bahwa seseorang hidup sejahtera.

BPS sendiri telah menyampaikan bahwa garis kemiskinan dihitung bulanan, berdasarkan kebutuhan riil masyarakat di tiap daerah, dan tidak bisa disederhanakan menjadi angka harian.

“Kami mengimbau masyarakat tidak menyederhanakan angka garis kemiskinan. Ini alat ukur statistik, bukan standar hidup layak,” tutup Margo Yuwono pada Kamis, 24 Juli 2025.