BONA NEWS. Jakarta. — Pemerintah Indonesia resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Khusus dan Pemberian Penghargaan kepada Saksi Pelaku yang Bekerja Sama, yang populer disebut sebagai Justice Collaborator (JC). PP ini ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada 8 Mei 2025 dan kini mulai diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Langkah ini disambut positif oleh aparat penegak hukum dan akademisi karena dinilai memperkuat sistem keadilan dalam menangani kejahatan serius seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan tindak pidana terorganisir lintas negara.
Sebelum PP ini disahkan, mekanisme JC hanya diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, yang tidak memiliki kekuatan hukum setara regulasi formal lintas lembaga. Akibatnya, banyak saksi pelaku yang enggan bekerja sama dengan aparat karena khawatir akan tetap dihukum berat, bahkan terancam keselamatan jiwanya.
PP 24/2025 hadir untuk memberikan dasar hukum yang kuat, jaminan perlindungan, dan penghargaan proporsional bagi saksi pelaku yang kooperatif dalam mengungkap pelaku utama dan jaringan kejahatan besar.
Isi Pokok PP No. 24 Tahun 2025
PP ini memuat delapan bab dengan total 31 pasal. Dua aspek utama yang diatur adalah:
1. Penanganan Khusus
Bagi JC yang berstatus tersangka, terdakwa, atau terpidana:
- Berkas perkara dipisahkan dari pelaku utama (Pasal 5).
- Ditahan secara terpisah untuk menjamin keselamatan (Pasal 7).
- Diberi perlindungan fisik dan hukum dari ancaman, intimidasi, atau pembalasan (Pasal 8–10).
- Diizinkan memberikan kesaksian tanpa tatap muka langsung di pengadilan (Pasal 9).
2. Pemberian Penghargaan
Diberikan kepada JC yang telah membantu proses hukum secara signifikan:
- Pengurangan hukuman, baik dalam proses persidangan maupun eksekusi.
- Remisi tambahan, pembebasan bersyarat, hingga grasi, jika telah menjadi narapidana (Pasal 29).
- Penilaian dilakukan oleh tim yang terdiri dari penyidik, jaksa penuntut umum, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Syarat Menjadi Justice Collaborator
Berdasarkan Pasal 14 dan 15 PP ini, syarat substantif dan administratif untuk menjadi JC antara lain:
- Bukan pelaku utama dalam tindak pidana.
- Bersedia mengakui perbuatan, memberikan informasi penting yang belum diketahui penegak hukum.
- Berkomitmen tidak melarikan diri atau menghambat proses hukum.
- Menyampaikan pernyataan tertulis tentang kesediaan bekerja sama.
- Permohonan dapat diajukan oleh tersangka/terdakwa atau melalui penasihat hukum kepada penyidik, jaksa, atau LPSK.
Pernyataan Resmi Pemerintah dan Penegak Hukum
Kejaksaan Agung: Kepastian Hukum Terjamin
Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, menegaskan bahwa PP ini memperjelas posisi JC dalam sistem hukum Indonesia.
“Ini (PP 24/2025) sebenarnya menjadi satu penegasan dan bentuk perhatian negara, bahwa terhadap pelaku‑pelaku yang bekerja sama tentu bukan menjadi pelaku utama dalam satu tindak pidana,” ujar Harli dalam wawancara di Metro TV (26 Juli 2025).
“Maka tidak ada lagi keengganan untuk membuka secara terang karena ada garansi, ada jaminan, ada pembedaan terhadap penerapan hukuman yang bisa diberikan kepada mereka.”
KPK: Syarat Ketat Tetap Berlaku
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Prasetyo, juga menyampaikan pandangannya:
“PP Nomor 24 Tahun 2025 tidak semudah itu membebaskan terdakwa atau tersangka berstatus justice collaborator. Ada syarat substantif dan administratif yang harus dipenuhi saksi pelaku itu, termasuk komitmen membantu serta informasi penting dalam pengungkapan perkara.”
Pakar Hukum: Langkah Strategis
Prof. Dr. Henry Indraguna, pakar hukum dari Universitas Pelita Harapan, menyebut PP ini sebagai instrumen strategis untuk membongkar aktor utama kejahatan.
“PP yang intinya memberikan ruang pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator membuka jalan untuk menangkap aktor utama korupsi. Dengan syarat ketat, kebijakan ini diharapkan mengubah wajah dan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.” (tvOneNews, 26 Juli 2025)
Pandangan Akademisi: Waspadai Penyalahgunaan
Riza Alfianto Kurniawan, pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga, mengapresiasi substansi aturan ini, namun menekankan pentingnya pengawasan.
“Standar kualifikasi harus ketat dan terbuka agar status justice collaborator tidak disalahgunakan. Jika tidak ada kontribusi nyata dalam mengungkap kasus, status itu bisa dibatalkan.”
PP ini dianggap bisa memperkuat penyidikan dan penuntutan kasus-kasus besar, karena saksi pelaku kecil kini lebih berani bicara.
Misalnya, dalam kasus korupsi migas Pertamina yang sedang disidik Kejaksaan, JC bisa memegang kunci mengungkap keterlibatan tokoh-tokoh besar. Para pelaku lapangan yang selama ini bungkam, kini memiliki jaminan hukum untuk memberi keterangan.
“Kami sudah mulai menerima permohonan JC dari beberapa tersangka yang berpotensi membuka aliran dana ilegal dalam kasus Pertamina,” ujar sumber internal Kejaksaan (off the record).
Perbandingan Internasional
PP ini membawa Indonesia lebih sejalan dengan sistem hukum negara-negara seperti:
- Italia, yang sukses memberantas mafia Sisilia lewat pentiti (istilah JC di Italia).
- Amerika Serikat, yang secara sistematis mengadopsi mekanisme cooperating witness dalam kasus mafia, kartel narkoba, dan korupsi.
- Filipina dan Korea Selatan, yang telah memiliki undang-undang JC untuk korupsi tingkat tinggi.
Tantangan dan Risiko
Meski menjanjikan percepatan keadilan, risiko utama dari PP ini adalah:
- Penyalahgunaan status JC oleh pelaku utama yang berpura-pura kooperatif.
- Intervensi politik atau mafia hukum dalam pemberian status JC.
- Ketimpangan perlakuan di pengadilan jika tidak dikawal dengan transparansi.
PP Nomor 24 Tahun 2025 adalah langkah penting yang memberikan kepastian hukum, perlindungan, dan penghargaan rasional bagi Justice Collaborator. Dengan pengaturan syarat dan proses yang ketat, PP ini diharapkan bisa mempercepat pengungkapan kasus besar, sekaligus mendorong transformasi budaya hukum di Indonesia.
Namun demikian, pelaksanaan peraturan ini akan sangat bergantung pada integritas aparat penegak hukum, independensi LPSK, dan pengawasan masyarakat sipil agar tidak disalahgunakan.
