BONA NEWS. Jakarta. — Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Amerika Serikat memang telah terjalin sejak awal kemerdekaan. Namun, tidak selamanya berlangsung mulus. Salah satu momen paling tegang dalam sejarah diplomasi dua negara terjadi 65 tahun silam, ketika Presiden pertama RI, Soekarno, secara terang-terangan kecewa dan marah terhadap sikap Presiden AS kala itu, Dwight D. Eisenhower.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1960, dalam kunjungan resmi Soekarno ke Washington DC atas undangan langsung dari Gedung Putih. Alih-alih mempererat persahabatan, suasana pertemuan justru memanas dan meninggalkan kesan pahit bagi Indonesia.
Pada awal 1960-an, hubungan Indonesia–AS sedang berada dalam ketegangan diam-diam. Pemerintah AS, di bawah Presiden Eisenhower, mulai khawatir dengan kedekatan Soekarno dengan negara-negara sosialis seperti Uni Soviet dan Tiongkok. Di sisi lain, Soekarno merasa kecewa karena Amerika tidak konsisten mendukung perjuangan Indonesia dalam membebaskan Irian Barat (sekarang Papua) dari tangan Belanda.
Di tengah suasana itu, datanglah undangan resmi dari Eisenhower kepada Soekarno untuk berkunjung ke AS. Pemerintah Indonesia menyambut undangan ini sebagai sinyal bahwa AS ingin memperbaiki hubungan. Soekarno sendiri berharap dapat membuka jalur baru kerja sama strategis dan diplomatik yang lebih adil bagi Indonesia.
Pada 16 Mei 1960, Soekarno tiba di Washington DC dengan semangat penuh. Ia disambut meriah dengan karpet merah dan iring-iringan resmi militer AS. Namun, suasana berubah saat keduanya melakukan pembicaraan tertutup di Gedung Putih.
Soekarno: “Saya Diundang untuk Diceramahi!”
Dalam pertemuan empat mata, Eisenhower mulai menekan Soekarno terkait kedekatannya dengan blok Timur dan mengkritik kebijakan Soekarno yang dianggap terlalu anti-Barat. Presiden AS juga menyatakan kekhawatiran bahwa Indonesia sedang “jatuh ke pelukan komunisme”.
Soekarno yang merasa dirinya diundang untuk bersilaturahmi dan membuka lembaran baru kerja sama justru diperlakukan seperti anak sekolah yang diceramahi. Dalam biografi dan berbagai catatan diplomatik, Soekarno menyebut pertemuan itu sebagai “penghinaan terselubung”.
“Saya datang bukan untuk diceramahi soal politik luar negeri Indonesia. Kita bangsa yang merdeka dan punya arah sendiri,” ujar Soekarno setelah pertemuan, seperti dikutip dari arsip harian Harian Rakjat edisi Mei 1960.
Insiden di Gedung Putih dan Makan Malam yang Dingin
Hubungan kian memburuk ketika Eisenhower menyampaikan secara tersirat bahwa bantuan ekonomi dan militer AS kepada Indonesia akan tergantung pada arah kebijakan luar negeri Indonesia. Soekarno menyebut hal ini sebagai “taktik mengikat tangan bangsa merdeka dengan utang dan syarat politik”.
Pada malam harinya, Soekarno dijamu dalam jamuan kenegaraan di Gedung Putih. Meski suasana tampak hangat di depan publik, banyak diplomat yang mencatat suasana makan malam itu sangat canggung. Soekarno disebut lebih banyak diam dan hanya berbicara sopan secara diplomatik.
Salah seorang anggota delegasi Indonesia menyebut dalam memoarnya bahwa Presiden Soekarno sangat marah sepulang dari pertemuan dan berujar, “Amerika bukan sahabat sejati. Mereka hanya ingin kendalikan kita dengan janji dan ancaman.”
Kekecewaan Dibalas dengan Manuver Politik Global
Sekembalinya dari Washington, Soekarno mempercepat arah politik luar negeri yang lebih tegas anti-imperialisme. Ia menggagas gerakan New Emerging Forces (NEFO) dan memperkuat hubungan dengan Uni Soviet, RRT, dan negara-negara nonblok lainnya.
Pada tahun-tahun setelahnya, Indonesia keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan global, dan Soekarno meluncurkan proyek besar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conference of the New Emerging Forces.
Kekecewaan atas perlakuan AS menjadi salah satu faktor yang mempercepat pergeseran poros kebijakan luar negeri Indonesia dari Barat ke Timur.
Dosen dan Sejarawan: AS Undang, Tapi Tak Hormati
Sejarawan LIPI, Prof. Arif Budiman, dalam wawancara dengan majalah Historia menyebut bahwa “pertemuan Soekarno dan Eisenhower di Washington menjadi titik balik. Soekarno merasa dihina secara halus. Diundang sebagai tamu negara, tapi diperlakukan sebagai ancaman.”
Ia juga menambahkan bahwa AS saat itu memang tengah gelisah melihat pengaruh Soekarno di kancah internasional, terutama karena kiprahnya di Konferensi Asia-Afrika (KAA) dan Gerakan Non-Blok.
Potret Soekarno sebagai Pemimpin yang Berani Bicara
Momen ini memperkuat citra Soekarno sebagai pemimpin dunia ketiga yang vokal, tidak segan mengkritik negara adidaya, dan tak mau tunduk pada tekanan diplomatik.
Bahkan setelah insiden tersebut, Soekarno tetap konsisten dengan garis politiknya, meski hubungan dengan AS sempat memburuk dan menurun drastis menjelang pertengahan 1960-an.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa hubungan diplomatik antarnegara tidak selalu diwarnai senyuman dan kesepakatan. Kadang, di balik undangan kenegaraan dan karpet merah, terselip ketegangan dan adu kepentingan yang bisa meninggalkan luka diplomatik.
Presiden Soekarno, dalam kasus ini, menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berdiri sejajar, bukan anak bawang dalam politik dunia. Meskipun diundang ke Gedung Putih, Soekarno memilih untuk menjaga harga diri bangsa ketimbang tunduk demi bantuan dan dukungan politik.
Dan hingga kini, 65 tahun berlalu, insiden itu tetap dikenang sebagai momen bersejarah ketika Presiden RI “dikerjai” oleh Presiden AS, tapi justru tampil makin percaya diri di panggung global.
