BONA NEWS. Rusia. – Negara-negara BRICS kembali menegaskan arah baru dalam sistem keuangan global. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang digelar di Kazan, Rusia, pada pekan ketiga Juli 2025, aliansi ekonomi negara berkembang itu secara resmi menyatakan komitmennya untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (USD) dalam transaksi perdagangan internasional. Sebagai gantinya, mata uang lokal, terutama yuan Tiongkok, mulai digunakan sebagai alat pembayaran utama antarnegaranya.
Langkah ini menjadi bagian dari proses de-dolarisasi yang telah lama digagas oleh negara-negara BRICS, dan kini semakin nyata seiring memburuknya kepercayaan global terhadap stabilitas ekonomi Amerika Serikat.
Dalam deklarasi bersama yang disahkan pada Jumat, 25 Juli 2025, para pemimpin negara anggota BRICS menegaskan dukungan mereka terhadap sistem pembayaran alternatif yang tidak bergantung pada dolar AS maupun jaringan SWIFT. Rusia, Iran, Tiongkok, dan Afrika Selatan bahkan telah memulai implementasi penuh transaksi bilateral dalam mata uang lokal sejak awal tahun.
“Mulai saat ini, Rusia dan Iran akan menyelesaikan seluruh ekspor energi ke negara-negara BRICS dalam yuan dan rubel. Tidak ada lagi kebutuhan atas dolar dalam sistem baru yang kami bangun bersama,” ujar Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam pidatonya.
Yuan Tiongkok kini menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam transaksi lintas BRICS, mengingat posisi ekonomi Tiongkok sebagai kekuatan dominan dalam aliansi tersebut. Dalam laporan Eastern Herald, disebutkan bahwa hampir 96% perdagangan Rusia–Iran kini telah dilakukan dalam mata uang non-dolar, dengan yuan menjadi pilihan utama.
BRICS Pay dan Sistem Pembayaran Alternatif
Selain penggunaan mata uang lokal, BRICS juga mempercepat pengembangan BRICS Pay, sebuah sistem pembayaran digital lintas negara yang digadang-gadang akan menyaingi SWIFT. Sistem ini dirancang agar dapat melakukan settlement otomatis antarbank sentral negara-negara anggota menggunakan yuan, rubel, rupee, real, dan rand.
Bahkan, menurut Currency Insider, versi digital yuan (e-CNY) juga tengah diintegrasikan ke dalam arsitektur BRICS Pay, sebagai uji coba transaksi energi lintas batas antara Tiongkok dan Brasil. Hal ini menunjukkan bahwa Tiongkok berambisi menjadikan yuan digital sebagai tulang punggung transaksi BRICS masa depan.
Langkah ini tidak datang tanpa sebab. BRICS menilai dominasi dolar AS selama puluhan tahun telah menyebabkan ketidakseimbangan ekonomi global. Dolar tidak hanya menjadi alat transaksi, tapi juga alat sanksi ekonomi yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menekan negara-negara tertentu.
Menurut data terbaru dari The Guardian per Juli 2025, pangsa dolar dalam cadangan devisa global telah turun ke level 58%, dibandingkan lebih dari 70% pada awal tahun 2000-an. Penurunan ini dianggap sebagai sinyal awal pergeseran kepercayaan global terhadap stabilitas keuangan AS.
“Sistem keuangan global harus mencerminkan realitas ekonomi multipolar hari ini, bukan dominasi sepihak,” ungkap Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, dalam konferensi pers di Kazan.
Meskipun langkah BRICS dinilai progresif, para analis menilai bahwa dominasi dolar belum akan berakhir dalam waktu dekat. Dolar masih menjadi mata uang dominan dalam perdagangan minyak global, serta menjadi jaminan stabilitas dalam sistem perbankan internasional.
Namun demikian, kepercayaan terhadap dolar mulai terkikis, apalagi setelah beberapa negara BRICS seperti Iran dan Rusia terkena sanksi ekonomi yang memutus akses mereka ke sistem SWIFT. Kejadian-kejadian ini menjadi katalis munculnya sistem keuangan alternatif.
“Pertanyaannya bukan lagi apakah dominasi dolar akan berakhir, tapi kapan itu akan terjadi,” tulis kolumnis keuangan The Guardian dalam edisi 16 Juli 2025.
Indonesia: Di Persimpangan Jalan
Bagi Indonesia, langkah BRICS ini merupakan sinyal penting. Meski bukan anggota BRICS, Indonesia memiliki hubungan perdagangan besar dengan Tiongkok, dan telah mengembangkan skema Local Currency Settlement (LCS) bersama Tiongkok, Jepang, dan Malaysia. Skema ini memungkinkan sebagian transaksi diselesaikan langsung dalam rupiah dan yuan tanpa harus melalui dolar.
Namun, hingga Juli 2025, Indonesia belum menyatakan sikap resmi terhadap langkah BRICS. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan masih mengkaji dampak jangka panjang dari de-dolarisasi global terhadap stabilitas rupiah dan neraca pembayaran nasional.
Ekonom senior INDEF, Dr. Fadhil Hasan, menyarankan agar Indonesia bersikap adaptif terhadap perubahan global ini.
“Kalau BRICS berhasil menciptakan sistem pembayaran yang efisien dan stabil, Indonesia perlu menyesuaikan strategi cadangan devisa dan perdagangan luar negeri. Diversifikasi mata uang akan melindungi kita dari fluktuasi dolar,” katanya kepada jurnalis, Senin (28/7/2025) di Jakarta.
Meski ambisius, langkah BRICS tidak bebas hambatan. Berikut tantangan utama mereka:
- Keterbatasan Konvertibilitas Yuan
Yuan belum sepenuhnya bebas diperdagangkan dan masih dikontrol ketat oleh Bank Sentral Tiongkok (PBoC), membuat investor global cenderung berhati-hati. - Perbedaan Kepentingan Anggota BRICS
India, misalnya, masih cukup bergantung pada dolar dan belum sepenuhnya sejalan dengan gagasan de-dolarisasi total. - Belum Ada Mata Uang BRICS Bersama
Wacana membentuk mata uang tunggal BRICS (semacam euro versi BRICS) masih belum terealisasi. Untuk saat ini, pendekatan bilateral dan penggunaan sistem pembayaran alternatif lebih diutamakan.
Masa Depan: Dunia Multi-Mata Uang
Langkah BRICS dinilai sebagai awal dari pergeseran menuju dunia multi-mata uang, di mana tidak ada satu mata uang pun yang dominan secara absolut. Sebaliknya, sistem keuangan global akan menjadi lebih beragam, dengan dolar, yuan, euro, dan mata uang digital masing-masing memainkan peran penting.
Menurut HR One Global, perusahaan-perusahaan multinasional sudah mulai menyesuaikan strategi perbendaharaan dan transaksi internasional untuk mengantisipasi kemungkinan fragmentasi sistem moneter global.
Keputusan BRICS untuk meninggalkan dolar AS dalam transaksi mereka bukan sekadar retorika, tapi langkah nyata yang didukung oleh sistem dan kebijakan kolektif. Ini bisa menjadi batu loncatan menuju tatanan ekonomi global yang baru, lebih adil, dan tidak terpusat pada satu negara atau satu mata uang.
Indonesia dan negara berkembang lainnya kini ditantang untuk tidak sekadar menjadi penonton, tetapi juga aktor aktif dalam membentuk sistem ekonomi dunia yang lebih inklusif dan stabil di tengah perubahan zaman.
