BONA NEWS. Sumatera Utara. — Pemerintah pusat telah menggulirkan berbagai reformasi pendidikan tahun 2025, mulai dari penyempurnaan kurikulum berbasis deep learning, program redistribusi guru ASN ke sekolah swasta, hingga pelatihan penguatan karakter bagi pendidik. Namun di tingkat pelaksana, agenda besar ini terancam gagal. Bukan karena kurangnya dana atau fasilitas, melainkan karena krisis integritas di level sekolah dan dinas daerah.

Beberapa kepala dinas pendidikan di daerah diketahui tengah disorot aparat penegak hukum terkait penggunaan dana publik, termasuk pelaksanaan seminar daring yang memungut biaya tinggi dari guru, padahal dilakukan secara online. Praktik ini diduga menjadi bagian dari pola lama dalam dunia pendidikan daerah: proyek formalistik berbiaya besar tanpa dampak nyata terhadap kualitas belajar mengajar.

Audit internal sejumlah provinsi pada semester pertama 2025 juga menunjukkan indikasi penyalahgunaan dana BOS dan ketidaksesuaian laporan kegiatan sekolah dengan realita di lapangan. Praktik mark-up, siswa titipan, hingga laporan palsu soal kehadiran guru masih ditemukan.

Ketimpangan Kompetensi Guru

Kementerian Pendidikan mencatat bahwa lebih dari 35% guru di Indonesia belum mencapai standar kompetensi nasional, terutama di luar Pulau Jawa. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya pelatihan berkelanjutan dan tidak meratanya distribusi guru.

Program redistribusi guru ASN dari sekolah negeri ke swasta pun menemui hambatan. Banyak ASN yang menolak dipindah dengan alasan minimnya insentif, kurangnya sarana, dan status non-negeri yang dianggap tidak menjamin masa depan karier.

Alih-alih fokus pada inovasi dan metode belajar transformatif, banyak sekolah masih sibuk menyusun laporan administratif, mengejar target fisik, dan mengikuti kegiatan seremonial yang tidak berdampak langsung pada siswa. Hal ini diperparah dengan lemahnya sistem pengawasan internal dan rendahnya partisipasi publik dalam mengawasi sekolah.

Salah satu guru SMA di kawasan Tapanuli menyebutkan bahwa pelatihan guru tahun ini “lebih banyak membahas pengisian aplikasi dan laporan ke pusat ketimbang praktik pengajaran.” Guru tersebut juga mengaku beberapa koleganya masih mengandalkan metode ceramah satu arah tanpa mengeksplorasi potensi siswa secara kreatif.

Rencana besar evaluasi dan mutasi pejabat pendidikan tingkat kabupaten dan kota yang semestinya dilakukan rutin setiap dua tahun, acap kali terhambat oleh tarik ulur kepentingan politik. Beberapa kepala sekolah bahkan bertahan di jabatannya hingga lebih dari dua periode tanpa evaluasi menyeluruh.

Menurut pengamat pendidikan di Medan, banyak kepala sekolah yang menjabat karena loyalitas struktural, bukan karena prestasi atau kemampuan manajerial. Hal ini membuat program-program nasional sulit diterapkan karena tidak adanya inisiatif perubahan dari pemimpin sekolah.

Target Nasional Terkikis di Lapangan

Indonesia menargetkan penguatan pendidikan karakter dan literasi digital sebagai fokus utama tahun ini. Namun menurut survei internal Kemendikbudristek kuartal II 2025, hanya 48% sekolah yang telah menjalankan pelatihan pendidikan karakter secara efektif. Sisanya melaporkan keterbatasan waktu, dukungan, atau bahkan minat dari guru.

Skor Indeks Integritas Pendidikan Nasional (IIPN) juga mengalami penurunan dari 73,7 menjadi 69,5 pada Juni 2025. Faktor utama penurunan adalah rendahnya keterlibatan pendidik dalam pencegahan korupsi dan lemahnya budaya transparansi anggaran sekolah.

Salah satu guru SMP negeri di Kabupaten Langkat menyampaikan bahwa “banyak dari kami yang ingin berubah, tapi tidak diberi ruang atau akses untuk berkembang.” Ia mengaku pelatihan daring sering tidak relevan, sementara pelatihan luring hanya menjangkau sebagian kecil guru.

Guru lain di Mandailing Natal menyebut bahwa “reformasi hanya terasa di atas kertas. Di sekolah, kami masih kekurangan buku, proyek siswa dibatasi, dan kepala sekolah lebih fokus pada pembangunan fisik.”

Solusi Nyata yang Perlu Didorong

Krisis integritas dan ketimpangan kualitas pendidikan tidak cukup diselesaikan dengan anggaran besar atau pelatihan berskala nasional. Dibutuhkan perubahan mendasar dalam tiga hal utama:

  1. Penguatan Tata Kelola Sekolah
    • Melibatkan pengawas independen, audit keuangan berkala, dan keterlibatan komite sekolah yang benar-benar aktif.
  2. Reformasi Rekrutmen & Mutasi
    • Penempatan kepala sekolah dan pejabat dinas harus berbasis merit, bukan relasi politik atau kedekatan struktural.
  3. Peningkatan Kualitas Guru secara Merata
    • Pelatihan kontekstual dan dukungan teknologi pembelajaran harus menjangkau seluruh guru, tidak hanya di kota besar.

Reformasi pendidikan yang dicanangkan pemerintah pusat akan sia-sia tanpa pelaku lapangan yang berintegritas. Kelas cerdas tidak mungkin tercipta di ruang yang dipimpin oleh pejabat tanpa visi atau guru yang kehilangan motivasi karena sistem yang kaku.

Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum emas untuk transformasi. Namun, jika integritas tetap menjadi masalah struktural, maka yang akan berubah hanya format kurikulum — bukan masa depan generasi.