BONA NEWS. Jakarta. – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menandai babak baru dalam penegakan hukum dan rekonsiliasi nasional dengan menerbitkan kebijakan abolisi dan amnesti kepada sejumlah tokoh publik. Langkah ini memicu diskusi luas, tidak hanya soal aspek yuridis, tetapi juga dimensi politik dan kemanusiaan dari praktik pengampunan hukum di Indonesia.
Dalam sepekan terakhir, dua nama besar menghiasi tajuk pemberitaan nasional: Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, dan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan. Keduanya menjadi penerima manfaat dari dua instrumen hukum yang berbeda: abolisi dan amnesti.
Apa Itu Abolisi dan Amnesti?
Secara konstitusional, Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Namun, meskipun sering disamakan, keduanya memiliki perbedaan mendasar.
- Abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, sebelum proses pengadilan menghasilkan putusan tetap. Efeknya: proses hukum dihentikan, dan jika yang bersangkutan ditahan, maka ia dibebaskan.
- Amnesti, sebaliknya, merupakan pengampunan negara atas perbuatan pidana seseorang yang telah divonis, dengan efek menghapus seluruh akibat hukum, termasuk hukuman fisik dan pemulihan hak-hak sipilnya.
Dua kebijakan ini biasanya diberikan dalam konteks politik yang lebih besar: untuk meredakan ketegangan, membangun rekonsiliasi, atau menunjukkan pendekatan kemanusiaan terhadap konflik hukum yang sarat dimensi politis.
Abolisi untuk Tom Lembong: Proses Dihentikan
Pada 30 Juli 2025, Presiden Prabowo mengajukan Surat Presiden Nomor R43/Pres072025 kepada DPR, berisi permohonan pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong. Tom, begitu ia akrab disapa, sebelumnya divonis 4 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas dugaan korupsi pengaturan impor gula periode 2015–2016.
Namun, menurut sumber di lingkaran istana, Presiden menilai bahwa perkara ini sarat nuansa administratif dan bukan tindak pidana korupsi konvensional. DPR kemudian menggelar rapat konsultasi pada malam 31 Juli 2025 dan menyetujui permintaan tersebut.
Dengan abolisi ini, proses hukum terhadap Tom Lembong dihentikan sepenuhnya. Ia pun dibebaskan dari tahanan pada 2 Agustus 2025, meskipun belum sempat menjalani masa pidananya secara penuh.
Amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan 1.116 Narapidana
Secara paralel, Presiden juga menerbitkan Surat Presiden Nomor R42/Pres072025, yang mengusulkan amnesti bagi Hasto Kristiyanto, tokoh senior PDI Perjuangan, serta 1.116 narapidana lainnya.
Hasto sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara atas dakwaan suap dalam proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI. Namun dalam suratnya, Presiden menilai bahwa vonis tersebut tidak berdiri kokoh dalam konteks pembuktian hukum yang adil, serta mencerminkan praktik politisasi hukum di masa lalu.
DPR menyetujui usulan amnesti ini dalam rapat yang sama pada 31 Juli 2025. Proses administratif kemudian berlangsung cepat. Pada 1 Agustus, Keputusan Presiden (Keppres) resmi diteken dan ribuan narapidana mulai dibebaskan secara bertahap.
Dimensi Internasional: Rencana Pembebasan Skala Besar
Langkah ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Kantor berita Associated Press (AP) melaporkan bahwa Indonesia memulai tahap awal dari rencana clemency Presiden Prabowo, yang menargetkan pembebasan hingga 44.000 tahanan sepanjang 2025–2026. Mereka yang diprioritaskan antara lain tahanan politik, narapidana lanjut usia, penyandang disabilitas, serta penderita penyakit kronis.
Kebijakan ini mendapat respons positif dari lembaga HAM internasional, yang menilai bahwa Presiden Indonesia mengambil langkah progresif dalam reformasi pemasyarakatan dan rekonsiliasi nasional.
Dalam semua pemberitaan, baik media nasional maupun internasional, ditegaskan bahwa pemberian abolisi dan amnesti ini dilakukan sesuai dengan prosedur konstitusional. Tidak ada pelanggaran terhadap asas pemisahan kekuasaan atau intervensi eksekutif terhadap yudikatif.
Menurut pakar hukum tata negara Prof. Zainal Arifin Mochtar, sebagaimana dikutip media, “Selama ada pertimbangan dari DPR, maka pemberian abolisi dan amnesti adalah hak prerogatif Presiden yang sah secara konstitusional.” Ia menambahkan bahwa langkah ini bukan bentuk impunitas, melainkan bagian dari diskresi politik dalam bingkai hukum.
Sebagian kalangan mengkritik kebijakan ini sebagai upaya “balas budi” atau “kompensasi politik” terhadap pihak-pihak yang mendukung pemerintahan saat ini. Namun tidak sedikit pula yang menyambutnya sebagai bagian dari pembersihan warisan konflik hukum masa lalu, khususnya yang dipandang bias dan sarat kepentingan.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menyebut amnesti terhadap narapidana politik sebagai “langkah besar untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap keadilan negara.” Ia mengingatkan agar langkah ini diikuti dengan evaluasi sistem peradilan secara menyeluruh.
Langkah Presiden Prabowo dalam menerbitkan abolisi dan amnesti menjadi penanda penting bagi arah pemerintahan ke depan. Di satu sisi, ia menunjukkan bahwa hukum tidak selalu harus berjalan kaku tanpa mempertimbangkan konteks keadilan sosial dan politik. Di sisi lain, kebijakan ini mengingatkan publik bahwa kekuasaan Presiden tetap terikat pada sistem hukum dan mekanisme checks and balances.
Dalam konteks yang lebih luas, Indonesia tampaknya sedang meniti jalan menuju rekonsiliasi politik berbasis konstitusi – suatu upaya untuk memulihkan luka hukum dan politik.
