BONA NEWS. Indonesia. – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, jagat media sosial kembali dihangatkan oleh perdebatan publik yang tidak biasa. Kali ini, yang menjadi sorotan bukan sekadar polemik politik atau dinamika pemilu, melainkan fenomena budaya pop yang bersentuhan langsung dengan simbol kedaulatan negara: bendera Merah Putih.
Beberapa foto dan video viral memperlihatkan kelompok anak muda mengibarkan bendera bajak laut dari anime One Piece berdampingan dengan bendera Merah Putih. Simbol tengkorak tersenyum mengenakan topi jerami—ikon utama dari serial manga dan anime legendaris Jepang itu—tampak berdiri sejajar, bahkan dalam beberapa kasus lebih tinggi dari Sang Saka Merah Putih. Hal ini memicu respons beragam dari masyarakat, mulai dari dukungan hingga kecaman keras.
Budaya Pop vs Simbol Negara
Anime dan manga bukanlah hal asing bagi generasi muda Indonesia. Sejak era 90-an hingga saat ini, karya-karya Jepang seperti Naruto, Dragon Ball, hingga One Piece telah menjadi bagian dari keseharian jutaan anak dan remaja. Tak mengherankan bila banyak komunitas penggemar yang mengekspresikan kecintaan mereka melalui cosplay, pawai budaya, hingga pembuatan bendera dan atribut karakter favorit mereka.
Namun masalah muncul ketika ekspresi tersebut menyentuh wilayah sakral simbol kenegaraan. Dalam konteks hukum Indonesia, bendera Merah Putih memiliki kedudukan khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pasal-pasal dalam UU ini dengan tegas melarang perlakuan yang tidak hormat terhadap bendera negara.
Pengibaran bendera One Piece yang disandingkan atau dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih, meskipun tidak dimaksudkan sebagai tindakan penghinaan, tetap menimbulkan persoalan etis dan yuridis.
“Kami memahami semangat anak muda untuk merayakan kemerdekaan dengan cara yang kreatif. Namun perlu ditekankan bahwa pengibaran bendera negara harus dilakukan dengan hormat dan sesuai ketentuan hukum, tidak bisa disamakan atau disandingkan dengan lambang fiksi seperti bendera bajak laut,” ujar seorang pejabat Kemendikbudristek saat dikonfirmasi pada Jumat (1/8/2025).
Viral di TikTok dan Instagram
Fenomena ini pertama kali ramai dibahas di TikTok, ketika akun @luffypatriot memposting video konvoi sepeda motor yang mengibarkan dua bendera: Merah Putih di kanan, dan bendera Straw Hat Pirates di kiri. Dalam narasinya, mereka menyebut kegiatan itu sebagai “aksi cinta tanah air generasi anime”. Video tersebut telah ditonton lebih dari 2,5 juta kali dalam waktu dua hari.
Tak berselang lama, berbagai komunitas fandom dan kreator konten lainnya turut membuat video serupa dengan tagar #OnePieceMerdeka dan #MugiwaraMerdeka. Beberapa di antaranya bahkan membuat parodi upacara bendera dengan tokoh cosplay Luffy sebagai inspektur upacara.
Namun tidak semua netizen menganggap hal ini lucu. Sejumlah warganet menilai tindakan tersebut melecehkan simbol negara. Komentar kritis bermunculan:
“Kalau cinta anime, tonton saja. Tapi jangan sampai bendera negara disejajarkan dengan bendera bajak laut fiksi. Ada batas yang harus dijaga,” tulis akun @merahputih_sakti.
Tanggapan Pemerintah: Belum Ada Sanksi, Tapi Ada Imbauan
Hingga saat ini, belum ada sanksi hukum yang dijatuhkan terhadap pelaku pengibaran bendera One Piece berdampingan dengan Merah Putih. Namun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Kemendikbudristek telah mengeluarkan imbauan resmi kepada masyarakat.
“Kami tidak melarang ekspresi kreatif dan budaya pop, tetapi ada batas etis yang tidak boleh dilewati. Simbol negara tidak boleh disandingkan dengan ikon fiksi dalam bentuk apapun yang dapat menimbulkan multitafsir atau dianggap menistakan simbol nasional,” jelas Direktur Informasi Publik Kominfo dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (2/8/2025).
Kominfo juga meminta platform media sosial seperti TikTok dan Instagram agar meninjau ulang konten viral yang diduga melecehkan simbol negara, terutama jika digunakan dalam konteks yang menyesatkan publik.
Sudut Pandang Budayawan: Pop Patriotisme atau Krisis Literasi Simbol?
Sementara itu, sejumlah budayawan dan pengamat sosial mencoba melihat fenomena ini dari perspektif yang lebih luas. Dosen antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Wening Prabowo, menyebut gejala ini sebagai bagian dari fenomena “pop patriotisme”.
“Generasi muda hari ini hidup dalam dunia yang sangat dipengaruhi budaya global. Mereka merasa lebih dekat secara emosional dengan tokoh-tokoh fiksi dibanding tokoh sejarah. Menyandingkan Luffy dengan Merah Putih adalah cara mereka menunjukkan nasionalisme dalam bentuk yang mereka pahami—meski tetap perlu dikritisi secara etis dan edukatif,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya literasi simbolik, yaitu pemahaman masyarakat terhadap arti dan kedudukan simbol nasional.
“Kalau mereka tahu bahwa bendera negara punya status sakral, tentu tidak akan mereka samakan dengan bendera hiburan,” tambahnya.
Kajian Hukum: Potensi Jerat Pidana?
Menurut pakar hukum tata negara dari UI, Prof. Azhari Ramadhan, penyandingan bendera fiksi dengan Merah Putih bisa masuk kategori pelanggaran ringan hingga sedang, tergantung konteks dan niat.
“Kalau dilakukan dengan maksud menghina, tentu bisa dikenai sanksi. Tapi kalau untuk hiburan dan tidak merusak fisik bendera negara, bisa saja hanya dikenai teguran administratif,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah lebih proaktif melakukan edukasi melalui sekolah dan media sosial, ketimbang langsung menindak dengan pendekatan represif.
Fenomena pengibaran bendera One Piece bersama Merah Putih menjadi cermin kebingungan antara ekspresi budaya dengan penghormatan pada simbol negara. Di satu sisi, generasi muda ingin menunjukkan rasa cinta tanah air dengan cara mereka sendiri. Di sisi lain, negara tetap berkewajiban menjaga wibawa simbol nasional.
Kasus ini harus menjadi pembelajaran bersama. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memahami makna simbol negara, serta bagaimana mengekspresikan nasionalisme tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang dijaga sejak 1945.
