BONA NEWS. Jakarta. — Industri tekstil nasional kembali menjadi sorotan. Setelah bertahun-tahun berjuang melawan tekanan global, serbuan barang impor murah, dan biaya produksi yang terus melonjak, kini pengusaha tekstil bersuara keras. Banyak pabrik gulung tikar, investor hengkang, dan ribuan pekerja dirumahkan.
“Ini bukan lagi soal bertahan atau tidak. Ini sudah darurat industri,” kata Benny Sutrisno, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), saat ditemui wartawan di Jakarta pada Minggu, 3 Agustus 2025.
Sepanjang semester pertama 2025, API mencatat setidaknya 57 pabrik tekstil skala besar dan menengah di Pulau Jawa dan Sumatera menghentikan produksi. Beberapa di antaranya bahkan tutup permanen. Sebagian besar alasan penutupan adalah tekanan biaya energi, ketidakpastian pasar global, serta membanjirnya produk impor dari China, Bangladesh, dan Vietnam.
“Produksi kita tidak bisa bersaing dari sisi harga. Bukan karena kualitas, tapi karena ongkos gas industri dan listrik yang mahal, ditambah beban pajak dan iuran yang makin berat,” ujar Benny kembali pada Minggu, 3 Agustus 2025.
Sementara itu, arus impor yang tidak terkendali memperparah situasi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II 2025, impor pakaian jadi dan kain jadi meningkat 23% dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, produksi domestik anjlok lebih dari 17%.
Investor Menjauh, Pekerja Terdampak
Efek domino penurunan produksi tak hanya berhenti di pabrik. Investasi asing dan domestik ke sektor tekstil juga melambat. Beberapa investor yang semula berencana membangun fasilitas baru memilih mundur atau mengalihkan modal ke negara lain seperti Vietnam, India, dan bahkan Afrika.
“Investor mencari tempat yang efisien, yang punya insentif fiskal dan jaminan stabilitas. Kita sekarang dianggap tidak kompetitif lagi,” ujar Enny Sri Hartati, ekonom senior Indef, pada Minggu, 3 Agustus 2025.
Sementara itu, pekerja menjadi korban paling nyata. Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) menyebutkan bahwa lebih dari 38.000 pekerja sektor tekstil terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari–Juli 2025. Jumlah ini berpotensi terus bertambah hingga akhir tahun.
Keluhan serupa datang dari sentra-sentra tekstil di Bandung, Majalaya, Solo, hingga Pekalongan. Banyak pengusaha kecil menengah (UKM) yang kini hanya beroperasi 2–3 hari dalam seminggu, bahkan ada yang terpaksa berhenti total.
“Dulu kami produksi seragam sekolah, kaus, dan mukena untuk pasar lokal. Tapi sekarang, toko lebih pilih barang dari luar karena lebih murah, padahal kualitas kami tidak kalah,” keluh Iwan Suhendar, pemilik konveksi rumahan di Bandung, pada Sabtu, 2 Agustus 2025.
Di kawasan industri Majalaya, lebih dari 30 pabrik kecil tekstil dilaporkan berhenti produksi sejak Mei 2025. Sementara di Pekalongan, sektor batik yang juga masuk dalam industri tekstil mulai terdampak akibat naiknya harga bahan baku dan lesunya permintaan ekspor.
Pelaku industri berharap pemerintah tidak tinggal diam. Desakan muncul agar pemerintah memberikan perlindungan nyata, mulai dari pengendalian impor, subsidi energi untuk sektor padat karya, hingga insentif fiskal dan pembiayaan murah untuk industri tekstil.
“Kalau tidak ada langkah konkret dalam 3 bulan ke depan, kita bisa kehilangan setengah kapasitas industri tekstil nasional,” ujar Benny Sutrisno tegas pada Minggu, 3 Agustus 2025.
Kementerian Perindustrian melalui Direktur Industri Tekstil dan Aneka menyatakan tengah mengkaji langkah-langkah penyelamatan. Salah satunya adalah usulan insentif untuk konversi mesin lama dan program promosi ekspor tekstil non-konvensional.
Namun kalangan pengusaha menilai respons pemerintah terlalu lamban. “Kami butuh tindakan cepat, bukan kajian yang berlarut,” kata Enny Sri Hartati lagi pada Minggu, 3 Agustus 2025.
Krisis Industri atau Restrukturisasi Paksa?
Beberapa pengamat menilai kondisi ini bisa menjadi momentum untuk restrukturisasi industri tekstil nasional yang selama ini belum efisien. Namun, proses itu dinilai terlalu menyakitkan bila dilakukan secara paksa melalui tekanan pasar tanpa perlindungan negara.
“Kalau kita biarkan seleksi alam berjalan begitu saja, kita hanya akan menyisakan segelintir pemain besar yang sanggup bertahan. Ini berbahaya bagi struktur ekonomi nasional karena akan mematikan jutaan pelaku usaha kecil dan pekerja,” kata Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, saat dihubungi pada Minggu, 3 Agustus 2025.
Dengan kontribusi terhadap ekspor non-migas sebesar lebih dari 8% dan menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja langsung, industri tekstil merupakan salah satu pilar penting dalam struktur ekonomi nasional. Namun jika tidak segera diselamatkan, sektor ini bisa runtuh dan meninggalkan dampak sosial-ekonomi yang luas.
“Jangan tunggu sampai semua pabrik padam dan rakyat kehilangan pekerjaan baru bertindak,” tutup Benny dengan nada prihatin pada Minggu, 3 Agustus 2025.
