BONA NEWS. Jakarta. – Indonesia tengah bersiap menghadapi pekan ekonomi yang penuh tekanan, di tengah gempuran kabar global yang berpotensi mengguncang pasar keuangan dan sektor riil. Para analis menyebut periode ini sebagai “pekan neraka”, karena rentetan data dan kebijakan penting dari dalam dan luar negeri yang diprediksi akan menentukan arah perekonomian nasional.
Data Domestik Menanti: Inflasi, Cadangan Devisa, dan Pertumbuhan Ekonomi
Pekan ini, tiga indikator utama ekonomi Indonesia akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI):
- Data Inflasi Juli 2025 – BPS dijadwalkan merilis angka inflasi Selasa ini (5/8). Beberapa ekonom memperkirakan inflasi bulanan tetap tinggi, dipicu oleh kenaikan harga pangan menjelang 17 Agustus dan dampak El Niño yang masih terasa.
- Konsensus Bloomberg: inflasi Juli diperkirakan 0,42% (mtm) atau 2,8% (yoy).
- Bila angka aktual melebihi ekspektasi, tekanan terhadap daya beli masyarakat dan kredibilitas BI dalam mengendalikan harga akan meningkat.
- Cadangan Devisa Juli 2025 – BI akan merilis data resmi pada 7 Agustus. Posisi terakhir per Juni adalah USD 137,5 miliar, dan sejumlah ekonom memperkirakan terjadi penurunan akibat intervensi BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang sempat menembus Rp16.400/USD pada pertengahan Juli.
- Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II/2025 – Ini merupakan data paling dinanti. BPS dijadwalkan mengumumkannya pada Kamis, 8 Agustus.
- Konsensus pasar: 4,9% (yoy), sedikit lebih rendah dibanding kuartal I yang mencapai 5,03%.
- Beberapa sektor seperti industri manufaktur, perdagangan, dan konstruksi menunjukkan perlambatan akibat pelemahan permintaan domestik dan ekspor.
Faktor Global: The Fed, Data Tenaga Kerja AS, dan Perlambatan Ekonomi Cina
Di saat Indonesia menanti data vital, dua kekuatan ekonomi dunia—Amerika Serikat dan Cina—turut membawa kabar yang dapat memperburuk situasi global:
Amerika Serikat
- Federal Reserve (The Fed) pekan lalu menahan suku bunga acuan di level 5,5%. Namun pernyataan ketuanya, Jerome Powell, masih menyiratkan sikap hawkish.
- Data ketenagakerjaan AS (Nonfarm Payrolls) yang dirilis Jumat (2/8) menunjukkan penambahan tenaga kerja sebesar 187.000, sedikit di atas ekspektasi, dengan tingkat pengangguran turun ke 3,5%.
- Pasar khawatir kondisi ini bisa membuat The Fed menunda pemangkasan suku bunga, yang semula diperkirakan terjadi akhir 2025.
Dampaknya ke Indonesia:
- Aliran modal keluar dari negara berkembang meningkat.
- Nilai tukar rupiah berpotensi kembali tertekan.
- BI dipaksa menahan suku bunga di level tinggi (BI-Rate 6,25%) untuk menjaga stabilitas.
Cina
- Ekonomi Cina menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang lebih tajam. Data PMI Manufaktur Juli dari NBS kembali terkontraksi di 49,2, turun dari 49,5 bulan sebelumnya.
- Sektor properti masih melemah, dan konsumsi domestik tak kunjung pulih.
Efeknya pada Indonesia:
- Permintaan terhadap komoditas ekspor Indonesia, seperti batu bara dan kelapa sawit, kemungkinan berkurang.
- Harga komoditas global cenderung melemah, yang berdampak pada neraca perdagangan dan penerimaan negara.
Sentimen negatif dari luar negeri dan ketidakpastian domestik telah memicu gejolak di pasar keuangan. Berikut ringkasan kondisi pasar hingga akhir pekan lalu:
- Rupiah ditutup di level Rp16.280/USD, terdepresiasi sekitar 1,5% dalam sebulan.
- IHSG melemah ke level 7.045, turun 1,2% dibanding awal Juli.
- Imbal hasil SUN 10 tahun naik ke 7,1%, menandakan investor menuntut imbal hasil lebih tinggi karena risiko meningkat.
Kepala Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah, pada Senin (4/8/2025) mengatakan bahwa tekanan kombinasi dari global dan domestik membuat kebijakan pemerintah harus sangat hati-hati. “Pekan ini adalah titik krusial. Jika data ekonomi memburuk, ruang fiskal dan moneter kita akan semakin terbatas,” ujarnya.
Pemerintah Siaga, BI Tetap Waspada
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pihaknya terus memantau situasi dan siap merespons jika volatilitas meningkat. “Kami akan memastikan APBN tetap menjadi shock absorber,” katanya dalam konferensi pers akhir Juli lalu.
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan komitmen bank sentral menjaga stabilitas. “Kami akan terus melakukan triple intervention: pasar spot, DNDF, dan SBN. Stabilitas nilai tukar adalah prioritas,” ujar Perry, Sabtu (2/8/2025).
Beberapa ekonom menyarankan pemerintah segera mempercepat stimulus fiskal untuk mendorong konsumsi dan investasi, sembari memperbaiki persepsi pasar terhadap ketahanan ekonomi nasional.
“Kepercayaan pasar adalah segalanya saat ini. Di tengah risiko eksternal yang tinggi, Indonesia harus menunjukkan koordinasi kebijakan yang solid,” kata Bhima Yudhistira dari CELIOS, Senin (4/8/2025).
Ia juga menyarankan agar pemerintah memanfaatkan momentum HUT ke-80 RI pada Agustus ini sebagai momen untuk menyampaikan arah kebijakan ekonomi jangka menengah secara lebih jelas dan optimistis.
Pekan ini menjadi momen penentu bagi arah ekonomi Indonesia di tengah gempuran tekanan global dan tantangan domestik. Pemerintah dan otoritas moneter dituntut sigap dan terkoordinasi, sementara pelaku usaha dan masyarakat diminta tetap waspada. “Pekan neraka” ini bisa menjadi awal pembalikan arah, atau sebaliknya—memperdalam risiko resesi jika langkah tak tepat diambil.
