BONA NEWS. Sumatera Utara. Medan. — Di tengah hiruk-pikuk media sosial yang penuh aksi heboh dan konten hiperaktif, muncul satu tren yang justru menyita perhatian karena sebaliknya: diam, tenang, dan karismatik. Inilah fenomena yang oleh warganet dijuluki sebagai “aura farming”—sebuah cara menampilkan daya tarik dengan gestur sederhana namun berdampak besar.
Apa Itu Aura Farming?
Istilah aura farming berasal dari gabungan dua konsep: aura sebagai pancaran karisma alami, dan farming dari dunia gim yang berarti mengumpulkan sesuatu secara konsisten. Dalam konteks tren ini, aura farming berarti membangun citra diri penuh daya tarik tanpa usaha yang terlihat berlebihan.
Tidak ada senyuman dipaksakan, tidak ada joget atau overacting. Hanya tatapan tenang, gerak lambat, dan sikap percaya diri yang natural. Gen Z menyebutnya sebagai bentuk dari “main character energy”—di mana seseorang tampil seolah-olah menjadi tokoh utama dalam film hidupnya sendiri.
Tren ini banyak muncul dalam bentuk:
- Selfie dengan ekspresi datar tapi estetik.
- Video slow-motion jalan kaki, olahraga ringan, atau sekadar duduk diam.
- Gaya berpakaian minimalis, earth-tone, dan bebas logo besar.
“Aura farming bukan sekadar tren visual. Ia menjadi simbol pergeseran nilai dari generasi muda yang mulai menghargai ketenangan dan keaslian dalam dunia yang semakin bising,” ujar Dr. Niken Hapsari, pengamat budaya digital dari Universitas Indonesia, Senin (4/8/2025).
Viral Tanpa Usaha?
Di TikTok, tagar #AuraFarming telah digunakan lebih dari 9 juta kali dalam sebulan terakhir. Video-video yang menggunakan konsep ini justru lebih banyak mendapat like dan komentar positif, dibandingkan konten yang penuh efek dan suara bising.
Fenomena ini juga melahirkan banyak “aura icon” dadakan—anak muda biasa yang viral hanya karena tampil tenang di depan kamera, dengan gaya berpakaian dan ekspresi yang tidak dibuat-buat. Ketika semua orang sibuk menunjukkan segalanya, mereka yang diam justru paling menarik perhatian.
Beberapa brand fashion lokal dan internasional mulai melirik tren ini sebagai inspirasi visual kampanye mereka. Bahkan, klub sepak bola dan artis dunia turut meniru gaya aura farming dalam selebrasi dan foto promosi.
Di era digital, viralitas bukan lagi soal siapa yang paling ramai, tapi siapa yang paling autentik. Aura farming dianggap sebagai bentuk counter-culture terhadap budaya overexposure. Banyak orang mulai merasa jenuh dengan konten yang terlalu banyak bicara, tertawa, atau menari hanya demi algoritma.
Dalam konteks ini, aura farming adalah bentuk perlawanan halus—diam-diam tapi penuh kekuatan visual.
“Aura farming adalah bentuk kontemplasi digital. Ini refleksi dari generasi yang sedang mencari makna di tengah kebisingan sosial media,” ujar Dr. Euis Kartika, sosiolog dari LIPI.
Industri dan Gaya Hidup Ikut Berubah
Tumbuhnya tren ini tidak hanya memengaruhi gaya komunikasi digital, tapi juga industri kreatif. Banyak merek pakaian mengadopsi pendekatan visual calm and clean—tanpa banyak warna mencolok, dengan tone natural, dan potongan longgar.
Di platform seperti Pinterest dan Instagram Reels, gaya “soft aura” mulai menyaingi tren “loud luxury.” Kaum muda semakin nyaman tampil dengan gaya natural tanpa perlu filter atau pencahayaan ekstrem.
Di dunia nyata, konsep ini juga menjalar ke cara orang berbicara, berjalan, hingga berinteraksi sosial. Anak muda kini lebih memilih gestur sederhana, bahasa tubuh yang ringan, dan ekspresi wajah yang tidak dibuat-buat—semua demi satu hal: menunjukkan bahwa mereka nyaman menjadi diri sendiri.
Fenomena aura farming mengajarkan satu hal penting: bahwa kekuatan tidak selalu muncul dari suara keras atau aksi dramatis. Terkadang, yang paling berkesan justru adalah mereka yang diam, tenang, dan percaya diri dalam keheningan.
Di dunia yang terus bergerak cepat, mungkin inilah cara generasi baru menemukan jeda—dan menciptakan daya tariknya sendiri.
