BONA NEWS. Jakarta. – Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto pada Senin (25/8/2025) resmi membentuk Badan Industri Mineral Nasional (BIMN), sebuah lembaga baru yang diberi mandat untuk mengawasi dan mengembangkan pengelolaan mineral strategis di Indonesia. Badan ini diharapkan menjadi ujung tombak hilirisasi dan penguatan kedaulatan sumber daya alam, terutama dalam menghadapi kebutuhan global terhadap mineral kritis yang semakin tinggi.
Dalam upacara pelantikan di Istana Negara, Prabowo menunjuk Brian Yuliarto, Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, sebagai Kepala BIMN. Penunjukan ini dianggap strategis karena latar belakang Brian sebagai akademisi di bidang material sains dan rekayasa, yang diharapkan mampu menjembatani riset dengan kebutuhan industri.
“Indonesia memiliki cadangan mineral yang besar, tetapi selama ini nilai tambah lebih banyak dinikmati pihak luar. Dengan badan ini, kita ingin memastikan pengelolaan mineral strategis memberi manfaat maksimal untuk bangsa,” kata Prabowo dalam sambutannya.
BIMN akan memusatkan perhatian pada mineral dengan nilai strategis tinggi, termasuk rare earth elements (REE) dan mineral radioaktif. Kedua jenis mineral ini sangat penting bagi industri teknologi modern, mulai dari baterai kendaraan listrik, panel surya, turbin angin, telekomunikasi, hingga sistem persenjataan canggih.
Indonesia sendiri memiliki cadangan REE yang cukup besar, tersebar di beberapa wilayah seperti Bangka Belitung, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun, keterbatasan teknologi pengolahan membuat pemanfaatannya selama ini belum optimal. Kehadiran BIMN diharapkan dapat mendorong penguasaan teknologi pengolahan sekaligus membuka jalan bagi investasi industri hilir.
Selain REE, badan ini juga akan mengawasi pengelolaan mineral lain seperti nikel, bauksit, dan tembaga yang sudah lebih dahulu menjadi andalan ekspor. BIMN diberi tugas mengintegrasikan berbagai kebijakan terkait mineral agar lebih fokus, tidak tumpang tindih, serta berorientasi pada peningkatan nilai tambah dalam negeri.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Cadangan nikel Indonesia, misalnya, merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Namun, selama beberapa dekade, pola pengelolaan masih didominasi ekspor bahan mentah.
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai mendorong hilirisasi dengan melarang ekspor bijih nikel mentah dan mendorong pembangunan smelter. Kebijakan ini terbukti menarik investasi besar, terutama dari Tiongkok, dan meningkatkan ekspor produk olahan seperti feronikel dan stainless steel.
Keberhasilan itu menjadi alasan kuat untuk memperluas hilirisasi ke sektor mineral strategis lain. Apalagi, menurut data International Energy Agency (IEA), permintaan global terhadap mineral kritis diperkirakan melonjak hingga 400 persen dalam 20 tahun mendatang, seiring meningkatnya kebutuhan energi bersih dan teknologi tinggi.
Pemerintah menilai tanpa lembaga khusus, pengelolaan sektor mineral strategis akan sulit terintegrasi. BIMN hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu, dengan mandat langsung dari Presiden untuk mengawal hilirisasi mineral strategis secara menyeluruh.
Berdasarkan keputusan presiden, BIMN memiliki beberapa tugas utama:
- Mengawasi kegiatan eksplorasi, pengolahan, dan pemanfaatan mineral strategis.
- Mendorong riset dan inovasi di bidang teknologi pengolahan mineral.
- Menarik investasi dalam negeri maupun luar negeri untuk memperkuat industri hilir.
- Menjamin pengelolaan mineral berjalan sesuai prinsip keberlanjutan dan kedaulatan nasional.
Dengan mandat tersebut, BIMN akan menjadi mitra kerja kementerian terkait seperti ESDM, BUMN, dan Kemenperin, sekaligus menjadi koordinator utama dalam pengelolaan mineral strategis.
Meski langkah ini dipandang maju, sejumlah tantangan besar menanti BIMN.
Pertama, keterbatasan teknologi. Proses pengolahan REE dikenal sangat kompleks dan masih didominasi oleh Tiongkok. Indonesia perlu mempercepat transfer teknologi dan meningkatkan kapasitas SDM agar bisa mandiri.
Kedua, isu lingkungan. Pengolahan mineral strategis berpotensi menghasilkan limbah berbahaya. Tanpa regulasi ketat, dampak ekologis bisa merugikan masyarakat sekitar.
Ketiga, tata kelola. Sektor pertambangan Indonesia selama ini kerap diwarnai isu korupsi dan konflik kepentingan. Transparansi serta akuntabilitas menjadi ujian besar bagi BIMN agar tidak sekadar menambah birokrasi baru.
Keempat, persaingan geopolitik. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok sama-sama membutuhkan pasokan mineral strategis. Indonesia harus berhati-hati mengelola kepentingan global agar tidak terjebak dalam rivalitas negara besar.
Kalangan akademisi menyambut positif pembentukan BIMN. Menurut mereka, kehadiran lembaga khusus bisa mempercepat sinergi antara riset dan industri. Penunjukan Brian Yuliarto juga dinilai tepat karena memiliki latar belakang akademik yang relevan.
Pelaku usaha, di sisi lain, menilai langkah ini membuka peluang investasi baru, tetapi mereka mengingatkan agar regulasi yang diterapkan tidak terlalu membebani. Dunia industri berharap BIMN dapat menciptakan kepastian hukum dan iklim investasi yang sehat.
Sementara itu, kelompok masyarakat sipil menekankan pentingnya aspek lingkungan. LSM lingkungan meminta agar BIMN menerapkan standar keberlanjutan internasional dalam setiap proyek. “Mineral strategis memang penting, tetapi jangan sampai rakyat yang menanggung dampak lingkungan,” kata salah satu aktivis bnyak mau disebut namanya.
Jika dikelola dengan baik, BIMN dapat mengubah struktur ekonomi Indonesia. Hilirisasi mineral strategis diproyeksikan menambah devisa negara ratusan triliun rupiah per tahun dan membuka ratusan ribu lapangan kerja baru.
Dalam skenario optimistis, Indonesia tidak hanya akan mengekspor produk olahan, tetapi juga mampu memproduksi komponen teknologi tinggi seperti baterai kendaraan listrik dan perangkat elektronik. Dengan begitu, Indonesia bisa memperkuat posisinya dalam rantai pasok global yang selama ini didominasi negara maju.
Namun, jika gagal mengatasi tantangan, BIMN berisiko menjadi sekadar birokrasi tambahan tanpa dampak nyata. Kunci keberhasilan terletak pada kepemimpinan, konsistensi kebijakan, dan keberanian mengambil keputusan strategis jangka panjang.
Pembentukan Badan Industri Mineral Nasional menandai babak baru dalam strategi industrialisasi Indonesia. Dengan cadangan mineral yang melimpah, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam industri global berbasis mineral strategis.
Langkah Presiden Prabowo membentuk BIMN memberi sinyal kuat bahwa pemerintah serius memperjuangkan kedaulatan sumber daya alam. Kini, tantangannya adalah memastikan lembaga ini tidak hanya menjadi simbol, tetapi benar-benar motor penggerak transformasi ekonomi menuju Indonesia yang mandiri dan berdaulat di era teknologi tinggi. ji om
