BONA NEWS. Sumenep. Jawa Timur. — Suasana haru menyelimuti sebuah posyandu di Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep. Puluhan ibu muda menggendong anaknya, menunggu giliran untuk divaksin. Di wajah mereka terlihat campuran rasa cemas sekaligus lega. Cemas, karena wabah campak yang merebak sejak awal tahun telah menelan korban jiwa di kampung mereka. Lega, karena kini ada kesempatan melindungi anak-anak mereka dari ancaman penyakit mematikan itu.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) RI menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di Sumenep setelah angka kasus meningkat tajam. Hingga minggu ke-32 tahun ini, tercatat 1.944 kasus suspek campak, dengan sebagian besar penderita adalah anak berusia 0–4 tahun (53,3 persen).
Wabah ini menelan korban 17 anak meninggal dunia, di mana 16 di antaranya tidak pernah diimunisasi, sedangkan satu anak belum menyelesaikan jadwal imunisasi lengkapnya. “Data ini menunjukkan bahwa ketidaklengkapan imunisasi menjadi faktor risiko utama,” kata dr. Maria Endang, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur.
Sebagai langkah darurat, Kemenkes meluncurkan program Outbreak Response Immunization (ORI) mulai 25 Agustus hingga 12 September 2025. Program ini menargetkan anak usia 9 bulan hingga 6 tahun, dengan cakupan sekitar 80 ribu dosis vaksin (setara 18 ribu vial). Vaksinasi dilakukan di 26 puskesmas, pos kesehatan pembantu, serta sekolah-sekolah dasar di wilayah Sumenep.
“Kami bergerak cepat agar penularan tidak semakin meluas. Vaksinasi ORI menjadi kunci untuk menghentikan wabah,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono saat meninjau pos vaksinasi di Sumenep. Selain vaksinasi, Kemenkes juga membagikan vitamin A dan memperkuat surveilans epidemiologi.
Bagi warga, vaksinasi darurat ini menjadi harapan baru. Rini (28), seorang ibu rumah tangga di Desa Batang-Batang, masih menyimpan trauma setelah anak tetangganya meninggal akibat campak. “Awalnya cuma demam, lalu muncul bercak merah. Tahu-tahu kondisinya memburuk. Kami semua kaget, apalagi ternyata dia belum pernah divaksin,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Rini mengaku awalnya sempat ragu membawa putrinya untuk divaksin karena termakan isu di media sosial. Namun setelah melihat dampak wabah di kampungnya, ia tak ingin mengambil risiko. “Saya sekarang yakin, lebih baik anak saya disuntik daripada kehilangan nyawanya,” katanya.
Menurut Kemenkes RI, rendahnya cakupan imunisasi di Sumenep menjadi pemicu utama meledaknya wabah. Sebagian orang tua menolak vaksinasi karena alasan agama, sebagian lain karena khawatir efek samping.
“Padahal vaksin sudah terbukti aman dan halal. Semua kajian ilmiah menunjukkan manfaatnya jauh lebih besar daripada risiko,” tegas Wamenkes Dante.
Secara nasional, cakupan imunisasi campak dosis pertama (MCV1) baru mencapai 72 persen, jauh di bawah target 95 persen yang dibutuhkan untuk membentuk kekebalan kelompok (herd immunity). Di beberapa provinsi, cakupan bahkan di bawah 50 persen. Situasi ini membuat Indonesia rawan terhadap wabah penyakit yang sebenarnya bisa dicegah.
Wabah campak di Sumenep bukan kasus tunggal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 60 negara melaporkan lonjakan kasus campak dalam setahun terakhir. Penyebab utamanya serupa: penurunan imunisasi selama pandemi COVID-19, hoaks seputar vaksin, dan kesenjangan akses layanan kesehatan.
“Campak adalah salah satu penyakit paling menular di dunia. Satu anak yang terinfeksi dapat menularkan kepada 12 hingga 18 orang lain yang tidak memiliki kekebalan. Inilah mengapa vaksinasi massal sangat penting,” ujar Dr. Maria Van Kerkhove, pakar penyakit menular WHO, dalam pernyataan resminya.
Selain vaksinasi darurat, Kemenkes juga menggencarkan edukasi publik. Melalui kerja sama dengan tokoh agama, guru, dan kader posyandu, pesan tentang pentingnya imunisasi disampaikan langsung ke masyarakat. “Kami ingin meluruskan hoaks dan mengajak orang tua untuk tidak ragu,” kata Direktur Pengelolaan Imunisasi Kemenkes RI, dr. Prima Yosephine, Senin (225/8/2025).
Di tingkat lokal, pemerintah daerah menyiapkan tenaga kesehatan keliling untuk mendatangi desa-desa terpencil. Mereka membawa vaksin dengan kotak pendingin dan mengunjungi rumah-rumah warga. Strategi “jemput bola” ini diharapkan mampu menutup kesenjangan akses imunisasi.
Kemenkes menargetkan cakupan vaksinasi di Sumenep mencapai 95 persen dalam dua pekan pelaksanaan ORI. Jika target tercapai, rantai penularan diperkirakan dapat diputus dan korban jiwa bisa dicegah.
“Setiap suntikan yang diberikan hari ini adalah investasi untuk melindungi anak-anak kita di masa depan,” ujar Wamenkes Dante.
Bagi keluarga korban, vaksinasi ini menjadi ikhtiar agar tragedi serupa tidak terulang. “Kami tidak ingin ada lagi anak yang meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah,” kata Umi, seorang ibu yang kehilangan keponakannya akibat campak.
Wabah campak di Sumenep menjadi pengingat bahwa imunisasi dasar adalah benteng pertama pertahanan kesehatan anak. Kematian 17 anak bukan sekadar angka, melainkan tragedi yang seharusnya tidak terjadi.
Dengan pelaksanaan vaksinasi darurat, edukasi publik, dan kerja sama lintas sektor, pemerintah berharap kasus serupa tidak akan terulang. Namun pada akhirnya, keberhasilan program ini bergantung pada satu hal sederhana: kesediaan orang tua untuk melindungi anak-anak mereka dengan imunisasi lengkap.
