BONA NEWS. Damaskus. – Ketegangan di Timur Tengah kembali meningkat setelah pemerintah Suriah mengecam keras tindakan Israel yang dituding melakukan perebutan wilayah di sejumlah titik strategis. Insiden terbaru di sekitar Gunung Hermon, pinggiran Damaskus, dan zona demiliterisasi di Dataran Tinggi Golan, memicu kecaman luas baik dari pemerintah Suriah maupun komunitas internasional.
Pada 25 Agustus 2025, Kementerian Luar Negeri Suriah menuduh pasukan Israel mengerahkan sekitar 60 personel militer ke wilayah dekat Gunung Hermon, kawasan strategis yang menjadi titik sensitif di perbatasan Suriah. Dalam insiden tersebut, Suriah menyatakan bahwa enam warga sipil turut ditangkap. Menurut Damaskus, langkah Israel merupakan bentuk pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara dan berpotensi menggagalkan proses diplomasi yang tengah difasilitasi Amerika Serikat.
Israel sendiri membantah tuduhan tersebut. Militer Israel menyebut operasi itu hanya bagian dari kegiatan rutin di wilayah perbatasan, dan tidak bertujuan menguasai teritori Suriah. Namun, pernyataan itu tidak meredakan amarah pemerintah Suriah yang menyebut Israel sengaja melakukan eskalasi militer demi memperluas wilayah kontrolnya.
Beberapa hari sebelum insiden Hermon, Suriah juga menuduh Israel melakukan penyusupan ke Beit Jinn, sebuah kota kecil di pinggiran Damaskus. Pemerintah Suriah melalui kantor berita resmi SANA menyebut tindakan tersebut sebagai “pelanggaran menyolok” terhadap kedaulatan nasional. Suriah menilai serangan semacam itu tidak hanya mengancam integritas wilayahnya, tetapi juga stabilitas regional yang sudah rapuh akibat konflik berkepanjangan.
Kementerian Luar Negeri Suriah: “Setiap pelanggaran oleh Israel terhadap wilayah Suriah adalah bagian dari kebijakan ekspansionis yang berbahaya, yang bertujuan untuk mengganggu upaya perdamaian dan menjustifikasi pendudukan baru.
Selain operasi militer langsung, Suriah juga menuding Israel membangun fasilitas intelijen dan pos-pos militer di zona demiliterisasi yang diatur oleh Perjanjian Pelepasan 1974. Perjanjian tersebut dibuat setelah Perang Yom Kippur, bertujuan menjaga garis pemisah antara pasukan Israel dan Suriah di Golan. Langkah Israel ini, menurut Suriah, merupakan pelanggaran serius terhadap kesepakatan internasional.
“Dengan mendirikan pos-pos militer dan instalasi di zona demiliterisasi, Israel menunjukkan bahwa mereka tidak berniat mematuhi hukum internasional,” ujar pejabat Suriah.
Kecaman terhadap Israel tidak hanya datang dari Damaskus. Liga Arab serta sejumlah negara kawasan, termasuk Mesir, Arab Saudi, Qatar, Irak, Yordania, dan Kuwait, ikut mengutuk tindakan Israel yang dianggap merampas tanah Suriah. Mereka menegaskan kembali posisi kolektif bahwa setiap upaya pencaplokan atau perebutan wilayah Suriah merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
Pernyataan Liga Arab: “Pelanggaran Israel terhadap zona penyangga Golan Heights tidak dapat diterima. Kami menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk segera mengambil langkah-langkah guna menghentikan tindakan sepihak ini.”
Bagi negara-negara Arab, isu Golan Heights memiliki dimensi simbolik dan strategis. Israel merebut dataran tinggi itu dari Suriah pada Perang Enam Hari 1967, kemudian secara sepihak mencaploknya pada 1981, langkah yang hingga kini tidak diakui oleh mayoritas komunitas internasional.
Sekretaris Jenderal PBB menyatakan keprihatinan atas meningkatnya ketegangan antara Israel dan Suriah, serta mengingatkan bahwa semua pihak harus menghormati resolusi Dewan Keamanan. Menurut PBB, pembangunan fasilitas militer di zona demiliterisasi tidak hanya melanggar kesepakatan 1974, tetapi juga mengancam stabilitas kawasan.
Sekjen PBB: “Semua pihak harus menghormati resolusi Dewan Keamanan. Pembangunan pos militer di zona demiliterisasi bertentangan dengan komitmen perdamaian internasional.”
Sejumlah pengamat internasional melihat langkah Israel sebagai bentuk strategi jangka panjang untuk memperkuat kontrol atas wilayah perbatasan. Namun, mereka memperingatkan bahwa tindakan semacam itu justru berisiko memicu eskalasi konflik yang lebih luas, terutama di tengah ketidakstabilan geopolitik yang masih menyelimuti kawasan Timur Tengah.
Banyak analis menilai insiden terbaru ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik regional. Israel, yang tengah menghadapi ancaman dari berbagai kelompok bersenjata di perbatasan utara, dianggap berusaha menciptakan buffer zone baru di dalam teritori Suriah. Langkah ini dipandang sebagai upaya strategis untuk menekan pergerakan kelompok bersenjata yang didukung Iran dan Hizbullah.
Bagi Suriah, setiap langkah Israel di wilayah perbatasan adalah bentuk pelanggaran kedaulatan yang tidak bisa ditoleransi. Suriah menekankan bahwa mereka memiliki hak penuh untuk mempertahankan wilayahnya, dan akan membawa isu ini ke forum internasional.
Insiden di Hermon dan Beit Jinn terjadi di saat Amerika Serikat tengah berupaya memediasi ketegangan antara Israel dan Suriah. Washington sebelumnya mendorong kedua pihak untuk membuka jalur komunikasi, mengingat eskalasi konflik berpotensi memengaruhi stabilitas regional dan keamanan global.
Namun, perkembangan terbaru membuat upaya diplomasi itu semakin sulit. Suriah menolak untuk melanjutkan pembicaraan selama Israel masih menempatkan pasukan di wilayah yang mereka klaim sebagai bagian dari teritori sah Suriah. Di sisi lain, Israel menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menjaga keamanan nasionalnya.
Militer Israel: “Operasi yang dilakukan pasukan kami di perbatasan adalah kegiatan rutin. Tidak ada upaya untuk menguasai wilayah Suriah.”
Pengamat memperingatkan bahwa jika tidak segera dikendalikan, konflik Suriah–Israel berisiko meluas menjadi bentrokan militer terbuka. Kawasan sekitar Golan Heights dan Hermon menjadi titik rawan karena posisinya yang strategis, baik dari segi militer maupun geopolitik.
“Israel khawatir terhadap ancaman Hizbullah dan milisi pro-Iran yang beroperasi di Suriah. Sementara Suriah merasa integritas teritorialnya terancam. Ketegangan semacam ini dapat dengan cepat berubah menjadi konfrontasi bersenjata,” ujar seorang analis Timur Tengah.
Kecaman Suriah terhadap Israel terkait perebutan wilayah semakin memperuncing ketegangan di kawasan. Dengan tuduhan penyusupan ke Damaskus, pengerahan pasukan ke Gunung Hermon, hingga pembangunan pos militer di zona demiliterisasi, Israel kini menghadapi tekanan diplomatik yang meningkat dari Suriah, negara-negara Arab, dan komunitas internasional.
Meski Israel berkeras bahwa tindakannya adalah bagian dari strategi pertahanan, mayoritas negara di dunia menilai langkah itu sebagai bentuk ekspansi ilegal. Situasi ini menempatkan kawasan Timur Tengah pada risiko eskalasi baru, sekaligus menjadi ujian bagi diplomasi internasional dalam mencegah pecahnya konflik lebih luas..
