BONA NEWS. Banda Aceh. Nangroe Aceh Darussalam. – Praktik hukuman cambuk di Aceh kembali menyita perhatian publik, baik di dalam negeri maupun di kancah internasional, setelah dua pria dijatuhi hukuman 80 kali cambuk oleh pengadilan syariah karena dianggap melanggar norma kesusilaan. Kedua pria tersebut dilaporkan berpelukan dan berciuman di ruang publik, sebuah tindakan yang oleh aparat syariah Aceh dinilai bertentangan dengan qanun atau peraturan daerah berbasis hukum Islam.
Eksekusi hukuman berlangsung pada Selasa (26/8/2025), di halaman gedung kejaksaan setempat di Banda Aceh, disaksikan oleh sekitar 100 warga yang sengaja hadir. Proses cambuk dilakukan oleh algojo bertopeng, sesuai prosedur yang selama ini diterapkan untuk menjaga identitas eksekutor.
Selain dua pria tersebut, pengadilan juga menjatuhkan hukuman cambuk kepada delapan orang lainnya atas berbagai pelanggaran, termasuk perzinahan dan perjudian.
Menurut keterangan resmi dari Kepala Bidang Humas Wilayah Syariah Aceh, Safaruddin, pasangan pria yang dihukum ditangkap pada awal Agustus 2025 di sebuah taman kota di Banda Aceh. Polisi syariah atau Wilayatul Hisbah menerima laporan masyarakat yang melihat keduanya bermesraan di tempat umum.
“Pelanggaran terhadap qanun jinayat tetap harus ditindak tegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Aceh. Hukuman cambuk merupakan bagian dari implementasi syariat Islam yang sudah mendapat legitimasi melalui undang-undang nasional,” ujar Safaruddin dalam keterangan pers pada 26 Agustus 2025 usai pelaksanaan hukuman.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa otoritas lokal tetap berkomitmen menegakkan hukum syariah meskipun menuai kritik dari komunitas internasional.
Pelaksanaan hukuman cambuk ini langsung memicu respon dari kelompok hak asasi manusia. Amnesty International melalui pernyataan resminya pada 26 Agustus 2025 menyebut praktik tersebut sebagai “pelanggaran hak asasi manusia yang disetujui negara” dan “bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas, khususnya LGBTQ+.”
“Tidak ada seorang pun yang seharusnya dipermalukan dan dihukum secara fisik hanya karena pilihan pribadi atau orientasi seksualnya. Hukuman cambuk tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip hukum internasional yang melarang perlakuan kejam dan merendahkan martabat manusia,” demikian pernyataan Amnesty yang dirilis melalui laman resminya.
Sejumlah aktivis lokal di Banda Aceh juga menyuarakan kritik, meskipun dengan nada lebih hati-hati mengingat sensitivitas isu ini di masyarakat setempat. Cut Yulianti, seorang pegiat perempuan di Banda Aceh, menilai bahwa praktik cambuk tidak menyelesaikan akar persoalan moral. “Anak muda butuh edukasi, bukan intimidasi. Hukuman fisik hanya memperkuat stigma dan ketakutan,” ujarnya dalam wawancara singkat pada Selasa sore (26/8/2025).
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki kewenangan penuh untuk menerapkan hukum syariah. Hak istimewa ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang lahir sebagai bagian dari perjanjian damai Helsinki antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Sejak itu, Aceh mengadopsi sejumlah qanun berbasis syariah, termasuk Qanun Jinayat yang mulai berlaku pada 2015. Aturan ini mencakup sanksi bagi perbuatan seperti zina, konsumsi alkohol, perjudian, hingga tindakan mesra di ruang publik yang dinilai tidak sesuai dengan norma Islam.
Hukuman cambuk biasanya dilakukan di depan umum untuk memberi efek jera. Jumlah cambukan ditentukan berdasarkan tingkat pelanggaran, dan dalam banyak kasus berkisar antara 20 hingga 200 kali.
Namun, meski legal secara lokal, hukum cambuk di Aceh kerap dipandang bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang menjamin perlindungan hak asasi warga negara. Pemerintah pusat sejauh ini tidak banyak melakukan intervensi, dengan alasan menghormati kekhususan Aceh.
Praktik hukuman cambuk di Aceh sering kali menimbulkan perdebatan luas. Sejumlah pihak menilai hal ini bertentangan dengan upaya Indonesia mempromosikan diri sebagai negara demokratis yang moderat di panggung global.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia sebelumnya juga telah menyatakan keprihatinan terhadap praktik ini. Dalam pernyataan resminya pada Januari 2024, Komnas HAM menegaskan bahwa “hukuman badan, termasuk cambuk, berpotensi melanggar prinsip penghormatan terhadap martabat manusia.”
Sementara itu, Human Rights Watch pada laporan tahunan 2024 kembali menempatkan Aceh sebagai salah satu wilayah dengan catatan pelanggaran HAM yang serius, khususnya terkait perlakuan terhadap komunitas LGBTQ+.
Di sisi lain, sebagian besar masyarakat Aceh masih mendukung pelaksanaan syariah. Ulama dan tokoh masyarakat berpendapat bahwa hukum cambuk adalah bagian dari identitas daerah yang tidak boleh diintervensi oleh pihak luar.
“Syariat Islam adalah harga mati bagi Aceh. Hukuman cambuk adalah peringatan, bukan penyiksaan. Tujuannya mendidik, bukan melukai,” kata Teungku Faisal, seorang ulama di Banda Aceh, saat diminta tanggapan.
Pemerintah pusat berada pada posisi sulit. Di satu sisi, pemerintah harus menghormati perjanjian damai dan otonomi Aceh. Di sisi lain, praktik cambuk menimbulkan tekanan diplomatik dari negara-negara Barat serta komunitas internasional.
Seorang pejabat di Kementerian Dalam Negeri yang enggan disebutkan namanya mengatakan kepada wartawan pada 26 Agustus 2025, bahwa pemerintah pusat “terus melakukan dialog dengan pemerintah Aceh” untuk mencari alternatif hukuman yang lebih manusiawi, meski hingga kini belum ada titik temu.
Upaya sebelumnya untuk mengganti hukuman cambuk dengan hukuman penjara atau denda sempat dibahas pada 2018, namun ditolak oleh DPR Aceh.
Kasus hukuman cambuk pada 26 Agustus 2025 ini kembali menunjukkan tarik ulur antara identitas lokal dan standar universal HAM. Bagi sebagian masyarakat Aceh, cambuk adalah instrumen moralitas yang sah. Namun, bagi dunia internasional, cambuk adalah bentuk pelanggaran HAM yang tidak dapat ditoleransi.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi ingin menunjukkan komitmen terhadap pluralisme dan toleransi, di sisi lain harus menghadapi kenyataan bahwa daerah otonom seperti Aceh menjalankan hukum yang berbeda.
Hukuman cambuk terhadap dua pria di Banda Aceh pada 26 Agustus 2025 menjadi potret nyata benturan nilai di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah daerah menegakkan hukum syariah sebagai bagian dari identitas dan otonomi khusus Aceh. Di sisi lain, komunitas internasional, kelompok HAM, serta sebagian masyarakat menilai praktik ini melanggar prinsip dasar kemanusiaan.
Perdebatan tentang hukuman cambuk di Aceh tampaknya akan terus berlanjut. Selama tidak ada reformasi hukum atau kesepakatan baru antara pemerintah pusat dan daerah, Aceh akan tetap berada dalam sorotan dunia—antara keinginan menegakkan syariah dan tekanan untuk menghormati hak asasi manusia.
