BONA NEWS. Brussels. — Sebanyak 209 diplomat dan pejabat senior Uni Eropa (UE), termasuk mantan duta besar, direktur jenderal, hingga pejabat tinggi kebijakan luar negeri, menyerukan langkah mendesak dan konkret terhadap krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. Dalam sebuah surat terbuka yang dirilis Selasa (26/8/2025), para diplomat menegaskan bahwa Uni Eropa tidak boleh lagi hanya mengandalkan retorika, melainkan harus mengambil tindakan nyata.

Seruan ini merupakan salah satu inisiatif publik terbesar dari kalangan diplomatik Eropa dalam beberapa dekade terakhir, mencerminkan kekecewaan mendalam atas kegagalan Brussel menghadirkan kebijakan yang tegas terhadap Israel. “Cukup sudah, kita tidak bisa terus diam sementara penderitaan rakyat Gaza semakin parah,” tulis mereka dalam surat tersebut.

Krisis Gaza telah memasuki bulan ke-11 sejak meletusnya eskalasi bersenjata antara Israel dan kelompok Hamas pada Oktober 2024. Menurut laporan PBB dan organisasi kemanusiaan, lebih dari 40 ribu warga sipil Palestina tewas, sementara lebih dari 500.000 lainnya menghadapi kelaparan ekstrem akibat blokade berkepanjangan. Laporan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) tertanggal 22 Agustus 2025 menyebutkan bahwa Gaza kini mengalami “famine buatan manusia” yang menimbulkan ancaman genosida.

Selain Gaza, isu perluasan pemukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur juga disorot. Para diplomat menilai ekspansi pemukiman Israel secara terang-terangan merusak prospek solusi dua negara yang selama ini didukung mayoritas anggota PBB dan Uni Eropa.

Dalam surat sepanjang 12 halaman itu, para diplomat merinci sembilan rekomendasi kebijakan, di antaranya:

  1. Menghentikan ekspor senjata dan lisensi militer ke Israel.
  2. Melarang perdagangan dengan perusahaan yang terlibat dalam pemukiman ilegal.
  3. Menghentikan pemrosesan data Israel di pusat data Eropa.
  4. Memberi dukungan penuh pada Mahkamah Internasional (ICJ) dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dalam penyelidikan kejahatan perang.
  5. Meningkatkan tekanan diplomatik bilateral terhadap pemerintahan Israel.

“Jika Uni Eropa sebagai blok gagal mengambil langkah kolektif, negara-negara anggota harus bertindak sendiri atau dalam kelompok kecil,” tegas isi surat tersebut.

Menurut laporan media Eropa, terdapat 110 mantan duta besar, 25 mantan direktur jenderal Komisi Eropa, serta sejumlah mantan pejabat tinggi di European External Action Service (EEAS) yang ikut menandatangani surat tersebut.

Beberapa nama menonjol antara lain:

  • Alain Le Roy, mantan Sekretaris Jenderal EEAS.
  • Carlo Trojan, mantan Sekretaris Jenderal Komisi Eropa.
  • Sven Kühn von Burgsdorff, mantan perwakilan UE untuk Wilayah Palestina, yang juga menjadi salah satu penggagas inisiatif ini.

Dalam wawancara dengan TBS News (26/8/2025), Burgsdorff menyebut inisiatif ini “menyentuh hati” banyak diplomat senior yang sudah pensiun. “Ada rasa frustasi besar. Kami melihat 27 negara anggota gagal bertindak, padahal nilai-nilai yang kita junjung jelas menolak pelanggaran hukum internasional. Jika kita tetap diam, maka kita mengkhianati diri sendiri,” ujarnya.

Surat terbuka ini segera mendapat sambutan dari sejumlah tokoh politik aktif. Menteri Luar Negeri Irlandia, Simon Harris, menilai langkah tersebut sebagai “intervensi penting dan belum pernah terjadi sebelumnya”. Menurutnya, Uni Eropa sudah terlalu lama tertinggal dalam mengambil posisi tegas terhadap Israel. “Aksi ini sudah lama tertunda. Jika bukan sekarang, kapan lagi?” kata Harris dalam konferensi pers di Dublin.

Beberapa negara seperti Irlandia, Spanyol, Belgia, Slovenia, dan Portugal memang sebelumnya telah mengambil langkah lebih keras, termasuk mendorong sanksi terhadap Israel dan memperkuat dukungan untuk mekanisme hukum internasional. Namun, langkah kolektif di tingkat UE sering kali terhambat oleh veto politik dari negara anggota yang lebih dekat dengan Israel, seperti Jerman, Hungaria, dan Republik Ceko.

Menurut laporan The Guardian (26/8/2025), surat ini merupakan inisiatif ketiga dari para diplomat Eropa dalam setahun terakhir. Namun, kali ini berbeda karena secara eksplisit mendorong negara anggota bertindak di luar kerangka kolektif UE.

“Ini bukan lagi soal diplomasi retoris. Ini soal kredibilitas Eropa di mata dunia,” tulis para penandatangan. Mereka mengingatkan bahwa kredibilitas UE sebagai kekuatan normatif akan hancur jika terus mengabaikan penderitaan rakyat Gaza.

Surat terbuka 209 diplomat ini menambah tekanan moral sekaligus politik bagi Brussels. Sejauh ini, kebijakan UE lebih banyak berupa pernyataan keprihatinan tanpa diikuti sanksi konkret. Padahal, embargo senjata atau larangan perdagangan dengan pemukiman bisa memberi dampak nyata terhadap kemampuan Israel melanjutkan operasi militer.

Analis hubungan internasional di Universitas Leuven, Belgia, Dr. Marieke Vandenbroek, menyebut langkah para diplomat sebagai “alarm keras dari dalam rumah Eropa sendiri”. Menurutnya, inisiatif ini bisa membuka jalan bagi negara-negara anggota yang progresif untuk bergerak sendiri jika konsensus UE tidak tercapai. “Jika Paris, Madrid, dan Dublin bergerak bersama, dampaknya bisa besar meski tidak semua negara ikut,” ujarnya.

Langkah luar biasa dari 209 diplomat senior Uni Eropa ini menandai titik balik dalam diskursus Eropa mengenai krisis Gaza. Dengan dukungan dari tokoh politik aktif serta tekanan opini publik yang terus meningkat, UE kini berada di persimpangan: melanjutkan sikap hati-hati yang selama ini dikritik, atau mengambil langkah konkret yang bisa memengaruhi dinamika konflik.

Apapun hasilnya, surat terbuka ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan internal di tubuh Eropa semakin besar. Bagi rakyat Gaza yang menghadapi kelaparan dan kematian setiap hari, waktu untuk bertindak sudah semakin sempit.