BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Suasana Jalan Imam Bonjol, Medan, Selasa (26/8/2025) siang berubah tegang ketika ratusan mahasiswa dari berbagai universitas di Sumatera Utara turun ke jalan. Massa aksi menutup akses depan kantor DPRD Sumatera Utara (DPRD Sumut) dengan membakar ban bekas, menggelar orasi, hingga merobohkan pagar gedung legislatif. Aksi yang berlangsung selama beberapa jam itu menyoroti sederet persoalan, mulai dari transparansi anggaran hingga tudingan DPR sebagai “pengkhianat rakyat”.
Jalanan Medan Lumpuh, Pagar DPRD Ambruk
Aksi yang dimulai sekitar pukul 11.00 WIB segera menarik perhatian publik. Massa membawa spanduk, poster, serta bendera bergambar tokoh anime populer One Piece sebagai simbol perlawanan terhadap “penjajahan elit politik”. Tulisan bernada kritik keras, seperti “Dewan Pengkhianat Rakyat”, terbentang di depan pagar DPRD.
Sementara orasi bergantian disampaikan dari atas mobil komando, sejumlah mahasiswa di barisan depan mendorong pagar DPRD hingga roboh. Dorong-dorongan dengan aparat kepolisian pun tak terhindarkan. Aparat yang berjaga lengkap dengan tameng dan pentungan menutup rapat pintu masuk, sementara mobil water cannon dikerahkan sebagai bentuk pengamanan.
“Kalau DPR tidak bisa hadir menemui rakyatnya, untuk apa gedung megah ini berdiri?” teriak salah satu orator melalui pengeras suara, disambut sorakan massa.
Aksi bakar ban di tengah jalan menambah panas situasi. Asap hitam pekat mengepul, memaksa pengguna jalan mengalihkan rute. Arus lalu lintas di Jalan Imam Bonjol sempat lumpuh total selama aksi berlangsung.
12 Tuntutan Mahasiswa
Aksi kali ini bukan sekadar protes simbolik. Aliansi Mahasiswa USU Bergerak bersama elemen kampus lainnya merumuskan 12 tuntutan yang dibacakan di tengah kerumunan. Tuntutan tersebut mencakup isu lokal hingga nasional, antara lain:
- Menghapus berbagai tunjangan mewah dan fasilitas DPR yang dinilai membebani keuangan negara.
- Mendesak transparansi penggunaan APBD Sumut serta evaluasi program yang dianggap tidak pro-rakyat.
- Mendorong percepatan pengesahan RUU Anti-Korupsi yang hingga kini mandek di Senayan.
- Menuntut pemerintah provinsi menurunkan biaya pendidikan dan kesehatan.
- Menolak praktik politik dinasti dan nepotisme di tubuh pemerintahan.
- Meminta evaluasi terhadap kebijakan kepala pemerintahan Sumut yang dianggap gagal memberantas kemiskinan.
- Menghentikan proyek infrastruktur yang merusak lingkungan dan tidak berpihak pada masyarakat.
- Menolak intervensi politik terhadap kebebasan pers dan akademik.
- Mendesak perbaikan pelayanan publik terutama di bidang transportasi dan energi.
- Menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa dan jurnalis.
- Menuntut DPRD Sumut membuka ruang partisipasi publik dalam setiap pembahasan kebijakan.
- Meminta agar DPRD menyampaikan aspirasi rakyat Sumut secara tegas di tingkat nasional.
Salah satu koordinator aksi menegaskan bahwa 12 tuntutan tersebut merupakan bentuk “perlawanan intelektual” terhadap praktik korupsi, pemborosan anggaran, serta lemahnya fungsi pengawasan DPRD.
“Kami muak melihat DPR sibuk mengurus kepentingan sendiri, sementara rakyat masih susah cari makan. Kami datang bukan untuk main-main, tapi membawa suara rakyat,” ucapnya.
Kritik Satir: Dari Lagu Tabola-Bale hingga Simbol Tikus
Di sela orasi serius, mahasiswa juga mengekspresikan kritik dengan cara satir. Mereka memutar lagu tradisional Batak “Tabola-Bale” yang belakangan populer sebagai sindiran terhadap pejabat yang gemar berpesta di tengah penderitaan rakyat. Beberapa peserta aksi bahkan membawa boneka tikus sebagai simbol korupsi yang mereka tuduhkan kepada wakil rakyat.
“Ini bukan wakil rakyat, ini Dewan Pengkhianat Rakyat!” teriak massa berulang kali, memperkuat nuansa perlawanan.
Aksi ini sempat mengundang simpati dari masyarakat sekitar yang ikut menonton di pinggir jalan. Namun, beberapa pedagang mengaku resah karena akses usaha mereka terhambat oleh kerumunan.
Respons Aparat: Water Cannon hingga Salah Tangkap Jurnalis
Polisi menurunkan ratusan personel untuk mengawal jalannya aksi. Ketika situasi memanas, aparat sempat menggunakan water cannon untuk memukul mundur massa yang berusaha masuk ke halaman gedung DPRD. Dorong-dorongan tak terhindarkan, bahkan ada laporan seorang jurnalis yang ikut tertangkap dan diamankan meski tidak terlibat aksi.
Insiden salah tangkap jurnalis tersebut mendapat kecaman dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan yang menilai aparat berlebihan. “Kebebasan pers harus dihormati. Jurnalis bekerja untuk meliput, bukan untuk dijadikan korban represi,” ujar salah satu perwakilan AJI.
Sementara itu, polisi berdalih tindakan tegas diambil demi menjaga ketertiban dan keamanan gedung DPRD. Kapolrestabes Medan menyebut pihaknya masih mengedepankan upaya persuasif, namun tidak akan membiarkan aksi anarkis merusak fasilitas negara.
DPRD Sumut Bungkam
Hingga lebih dari dua jam aksi berlangsung, tak satu pun perwakilan DPRD Sumut keluar menemui mahasiswa. Kondisi ini semakin menyulut kemarahan massa yang berulang kali meneriakkan kata “revolusi”. Ketidakadilan dianggap nyata ketika gedung wakil rakyat dijaga ketat aparat, sementara rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi justru dihadang.
Kekecewaan mahasiswa bukan tanpa alasan. Selama beberapa tahun terakhir, DPRD Sumut kerap menuai sorotan publik akibat kasus korupsi, pemborosan anggaran, serta minimnya kinerja legislasi. Sejumlah anggota dewan juga pernah terjerat kasus hukum, memperkuat citra negatif di mata masyarakat.
Aksi besar di depan DPRD Sumut kali ini menunjukkan potret krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Tuntutan yang disuarakan mahasiswa, meski keras dan penuh kritik, merefleksikan keresahan masyarakat terhadap praktik politik yang dinilai jauh dari harapan.
Sejumlah pengamat menilai aksi ini bisa menjadi momentum penting bagi DPRD Sumut untuk melakukan introspeksi. “Kalau aspirasi ini tidak segera ditanggapi, potensi eskalasi konflik di kemudian hari sangat besar. Mahasiswa tidak hanya bergerak di Medan, tapi bisa meluas ke kabupaten/kota lain,” ujar seorang pengamat politik Universitas Sumatera Utara.
Di sisi lain, aparat keamanan diingatkan untuk tetap profesional dalam mengawal demonstrasi. Tindakan represif justru dapat memperkeruh suasana dan merusak citra kepolisian. Insiden salah tangkap jurnalis menjadi catatan penting bagi Polrestabes Medan agar lebih berhati-hati.
Aksi mahasiswa yang membakar ban di depan kantor DPRD Sumut, merobohkan pagar, dan menyuarakan 12 tuntutan adalah sinyal kuat bahwa generasi muda tidak tinggal diam terhadap ketidakadilan. Meski menuai kontroversi karena kericuhan, substansi tuntutan mereka mencerminkan harapan rakyat kecil yang menginginkan wakil rakyat benar-benar berpihak pada kepentingan publik.
Hingga berita ini diturunkan, tidak ada respons resmi dari pimpinan DPRD Sumut terkait tuntutan mahasiswa. Jalan Imam Bonjol mulai kembali normal setelah polisi berhasil membubarkan massa menjelang sore, meski sisa-sisa asap ban bekas masih membekas di aspal.
Bagi banyak pihak, peristiwa ini bukan sekadar demonstrasi rutin, melainkan peringatan keras bahwa kesabaran rakyat terhadap elit politik kian menipis. Pertanyaannya, apakah DPRD Sumut berani mendengar dan menjawabnya?
