BONA NEWS. New Delhi. – Pasar saham India terguncang hebat pada Selasa (26/8) setelah Amerika Serikat resmi mengumumkan tarif impor baru terhadap produk asal India. Dalam sehari, kapitalisasi pasar lenyap hingga ₹6 lakh crore atau sekitar Rp 1.080 triliun, membuat investor panik dan rupee tertekan.
Indeks utama BSE Sensex merosot lebih dari 849 poin, sementara NSE Nifty 50 jatuh ke bawah level 24.750. Hampir semua sektor saham tertekan, terutama yang bergantung pada ekspor seperti tekstil, kimia, baja ringan, hingga produk perikanan (udang/ shrimp).
Satu-satunya sektor yang masih bertahan adalah FMCG (Fast-Moving Consumer Goods), berkat permintaan domestik yang relatif stabil.
“Pasar bereaksi keras terhadap kejutan tarif AS. Investor takut ekspor India akan terpukul, sementara margin laba perusahaan padat ekspor bisa tergerus dalam,” jelas Ravi Singh, analis Motilal Oswal, dikutip Economic Times.
Mata uang India, rupee, ikut terjun bebas hingga ₹87,8 per USD, hampir menyentuh rekor terendah. Pelemahan ini menambah beban, karena India masih sangat bergantung pada impor minyak mentah yang kini harganya tembus USD 84 per barel.
Dealer valas di Mumbai menyebut, keluarnya modal asing dalam dua hari terakhir membuat rupee makin sulit bertahan.
Investor institusional asing (Foreign Institutional Investors/FII) tercatat melepas portofolio besar-besaran, terutama di sektor industri, kimia, dan logistik. Aliran keluar dana asing ini semakin memperburuk suasana.
“Kombinasi tarif, pelemahan rupee, dan penjualan asing membuat koreksi pasar lebih dalam dari yang diperkirakan,” ujar Sonal Varma, Kepala Ekonom India di Nomura.
Pemerintah India tak tinggal diam. Kementerian Perdagangan menyatakan akan membawa kasus ini ke WTO. Sementara itu, Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman menegaskan pemerintah siap memberi dukungan pada industri terdampak.
“Fundamental ekonomi India tetap kuat. Kami akan memastikan perlindungan bagi sektor-sektor yang tertekan,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (26/8/2025).
Goldman Sachs menghitung, tarif baru ini berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi India sebesar 0,6 poin persentase. Meski begitu, pertumbuhan tahun ini masih diproyeksikan di sekitar 6,5 persen.
Sebuah survei Reuters bahkan memperkirakan, hingga akhir 2025, indeks Nifty hanya akan tumbuh 3,9 persen menuju level 25.834, dan rekor baru mungkin baru tercapai pada 2026.
Ekspor India ke AS mencapai sekitar USD 85 miliar per tahun. Dengan tarif baru ini, margin keuntungan eksportir makin tipis. Sektor udang beku disebut paling rentan karena persaingan dengan Vietnam dan Ekuador makin sulit.
“Dengan tarif 50 persen, produk kita nyaris tidak kompetitif lagi. Banyak eksportir kecil bisa gulung tikar,” kata Rajiv Mehta, Ketua Asosiasi Eksportir Udang India.
Meski begitu, sejumlah analis menilai koreksi kali ini bisa jadi hanya sementara. Dukungan dari konsumsi domestik yang kuat memberi sedikit harapan.
“Saham-saham tertentu sudah jatuh terlalu dalam dan mulai menarik bagi investor jangka panjang. Tapi risiko kebijakan global tetap besar,” ujar Abhishek Goenka, CEO IFA Global.
Tarif impor tinggi dari AS jadi pukulan telak bagi India. Dalam sehari, pasar saham terguncang, rupee melemah, dan kekayaan investor menyusut drastis. Meskipun pemerintah berjanji melawan lewat jalur diplomasi dan WTO, jalan pemulihan pasar diyakini tidak akan mudah.
Investor kini menanti langkah tegas New Delhi dan Bank Sentral India (RBI) untuk menstabilkan situasi. Hingga itu terjadi, gejolak pasar kemungkinan akan tetap menjadi “menu harian” bursa India.
