BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Aksi demonstrasi yang digelar aliansi mahasiswa di depan Gedung DPRD Sumatera Utara (Sumut), Jalan Imam Bonjol, Medan, pada Selasa (26/8/2025) berakhir ricuh. Puluhan demonstran ditangkap aparat kepolisian, memicu kecaman dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), hingga Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sumut.
Aksi yang awalnya berlangsung damai, sejak siang hingga sore, menuntut sikap DPRD Sumut terkait berbagai isu nasional. Namun sekitar pukul 16.00 WIB, situasi memanas. Massa melempari aparat dengan botol dan batu, sementara barisan kepolisian menahan dengan tameng. Pagar gedung DPRD sempat dirobohkan, dan sebuah mobil komando rusak.
Polisi lalu menyemprotkan water cannon dan gas air mata. Bentrokan pecah di dua titik, pintu timur dan barat gedung DPRD. Massa berlarian ke arah Jalan Imam Bonjol dan kawasan Lapangan Benteng. Aparat mengejar dan mengamankan sejumlah peserta aksi.
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Ferry Walintukan, dalam keterangan resminya Selasa malam (26/8/2025) menyatakan 39 orang ditangkap, terdiri dari 15 mahasiswa dan 24 non-mahasiswa. Mereka diduga menjadi provokator serta pelaku anarkis. “Mereka diamankan di Ditreskrimum Polda Sumut untuk dilakukan pemeriksaan,” ujarnya.
Ferry menegaskan bahwa tindakan tegas diperlukan demi menjaga keamanan. “Kami tidak melarang masyarakat menyampaikan pendapat, namun jika berubah menjadi anarkis, tentu akan ditindak,” katanya lagi (26/8/2025).
Sehari setelah kejadian, Rabu (27/8/2025), BEM SI mengeluarkan pernyataan resmi mengecam keras tindakan aparat. Koordinator Pusat BEM SI, Muzammil Ihsan, menyebut penangkapan mahasiswa sebagai bentuk represi.
“Penangkapan dan kekerasan yang dilakukan aparat justru menunjukkan adanya upaya pembungkaman terhadap gerakan mahasiswa,” katanya dalam pernyataan tertulis (27/8/2025).
Muzammil bahkan menyinggung tindakan tidak manusiawi aparat. “Ada mahasiswa yang diinjak kepalanya hingga kejang. Ini bentuk brutalitas yang tidak bisa dibiarkan,” ujarnya.
BEM SI menuntut agar Kapolda Sumut segera membebaskan mahasiswa yang ditahan. Mereka juga mendesak agar aparat yang melakukan kekerasan diproses hukum. Jika tuntutan diabaikan, BEM SI mengancam akan menggalang aksi nasional.
Sorotan tajam juga datang dari LBH Medan dan KontraS. Direktur LBH Medan, Irvan Sahputra, mengungkapkan pihaknya kesulitan menemui mahasiswa yang ditahan.
“Tim advokasi LBH dan KontraS dihalangi bertemu para korban. Alasannya hanya sebatas ‘pendataan’. Padahal Pasal 54 KUHAP dengan jelas menyebut setiap orang berhak mendapatkan bantuan hukum,” kata Irvan (27/8/2025).
LBH juga mengkritik penggunaan kekuatan aparat yang dianggap berlebihan. Menurut mereka, mahasiswa dipukul, ditendang, bahkan diseret oleh aparat berseragam maupun berpakaian sipil. Penggunaan senjata laras panjang dan water cannon juga dinilai tidak proporsional.
“Polisi seharusnya mengedepankan dialog, bukan kekerasan. Kami akan mendampingi korban untuk menempuh jalur hukum,” tambahnya.
Jurnalis Jadi Korban: KKJ Sumut Mengecam
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sumut turut menyampaikan protes. Dalam rilisnya Rabu (27/8/2025), KKJ menyebut beberapa jurnalis mengalami intimidasi, bahkan ada yang alat kerjanya dirampas.
“Tindakan aparat terhadap jurnalis yang meliput jelas melanggar Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 4 UU Pers menegaskan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak warga negara,” kata koordinator KKJ Sumut.
KKJ mendesak Kapolda Sumut mengevaluasi aparat yang bertugas. “Kami minta sanksi tegas bagi oknum yang menghalangi tugas pers. Kebebasan pers adalah pilar demokrasi,” tegasnya.
Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) juga ikut terseret dalam kericuhan. BEM USU menyebut sejumlah mahasiswa FISIP mereka ditangkap saat aksi.
Kepala Staf BEM USU, Arya, menilai penangkapan itu tanpa dasar hukum yang jelas. “Aparat bertindak represif. Kawan-kawan kami tidak seharusnya ditahan hanya karena menyampaikan pendapat,” kata Arya (27/8/2025).
Wakil Ketua BEM USU, M. Thoibul Fattah, menambahkan, kericuhan sebenarnya terjadi di pintu timur, sementara pihaknya fokus di pintu barat. “Kami menduga ada pelajar STM yang disusupi untuk memperkeruh suasana,” ujarnya.
BEM USU memberi ultimatum kepada aparat: membebaskan rekan mereka dalam 2 x 24 jam. “Jika tidak, kami akan menempuh langkah hukum bersama LBH dan KontraS,” kata Arya.
Polda Sumut juga menegaskan bahwa dalam kericuhan itu, sejumlah aparat terluka. Tiga personel Dit Samapta mengalami cedera serius akibat lemparan batu.
Kombes Ferry Walintukan memastikan, “Anggota yang luka sudah ditangani. Kami juga tetap mengedepankan pendekatan persuasif, tetapi keselamatan masyarakat dan petugas adalah prioritas.” ujarnya, Selasa (27/8/2025).
Polisi mengklaim penangkapan tidak asal-asalan. “Hanya mereka yang terbukti melakukan perusakan dan provokasi yang kami amankan,” katanya.
Analisis: Tarik Ulur Antara Demokrasi dan Keamanan
Peristiwa di DPRD Sumut menggarisbawahi dilema klasik: menjaga keamanan publik tanpa melanggar hak konstitusional warga untuk berdemonstrasi.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Rizky Harahap, menilai ada ketidakseimbangan.
“Konstitusi menjamin hak menyampaikan pendapat di muka umum. Namun ketika aparat menggunakan kekuatan berlebihan, itu melanggar prinsip negara hukum,” ujarnya (27/8/2025).
Ia menambahkan, keterlibatan LBH, KontraS, dan KKJ dalam advokasi menunjukkan ada problem serius dalam transparansi penegakan hukum. “Jika akses bantuan hukum dibatasi, itu pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Aksi mahasiswa di DPRD Sumut yang berakhir ricuh pada 26 Agustus 2025 bukan sekadar insiden demonstrasi. Peristiwa ini membuka perdebatan luas tentang batasan demokrasi, hak kebebasan berpendapat, peran aparat, hingga kebebasan pers.
- Jumlah penangkapan: 39 orang (15 mahasiswa, 24 non-mahasiswa).
- Kecaman: datang dari BEM SI, LBH Medan, KontraS, KKJ Sumut, dan BEM USU.
- Respons polisi: tindakan dianggap perlu untuk mencegah kerusuhan lebih luas.
- Isu kunci: dugaan represi aparat, pelanggaran hak hukum, kriminalisasi mahasiswa, serta intimidasi terhadap jurnalis.
BEM SI dan BEM USU memberi batas waktu 2 x 24 jam agar rekan-rekan mereka dibebaskan. LBH Medan dan KontraS siap mengawal jalur hukum. Sementara itu, polisi tetap pada pendiriannya: keamanan publik tidak boleh dikompromikan.
Kini, publik menunggu: apakah kasus ini akan menjadi momentum evaluasi pendekatan aparat dalam mengelola demonstrasi, atau sekadar menambah daftar panjang ketegangan antara mahasiswa dan negara.
