BONA NEWS. Jakarta. – Pemerintah Republik Indonesia (RI) resmi mengumumkan penerapan sistem label pangan berbasis warna “traffic-light” pada kemasan makanan dan minuman. Aturan ini akan mulai diberlakukan secara sukarela pada akhir 2025 dan menjadi wajib dalam dua tahun ke depan, atau sekitar awal 2028.
Kebijakan tersebut diumumkan menyusul meningkatnya angka obesitas dan penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia, yang sebagian besar disebabkan oleh pola konsumsi tinggi gula, garam, dan lemak (GGL).
Dalam satu dekade terakhir, prevalensi obesitas di Indonesia melonjak hampir dua kali lipat. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kasus obesitas dan kelebihan berat badan telah menjadi masalah nasional. Obesitas berkontribusi pada meningkatnya risiko diabetes melitus, hipertensi, stroke, hingga penyakit jantung koroner.
“Indonesia menghadapi tantangan besar dengan meningkatnya prevalensi obesitas. Label pangan berbasis warna ini diharapkan memberi konsumen informasi sederhana untuk membuat keputusan yang lebih sehat,” ujar Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, dalam keterangan pers, 27 Agustus 2025.
Sistem Label “Traffic-Light” mengunakan skema label yang menampilkan tiga warna utama pada kemasan depan (Front of Pack/ FoP):
- Merah → Kandungan gula, garam, atau lemak tinggi. Konsumen disarankan membatasi konsumsi.
- Kuning → Kandungan sedang. Konsumen diminta berhati-hati dan mengatur frekuensi konsumsi.
- Hijau → Kandungan rendah. Relatif aman untuk dikonsumsi secara lebih rutin.
Label tersebut akan mencantumkan informasi nilai gizi utama yang telah diuji di laboratorium pemerintah untuk memastikan keakuratan.
“Produk dengan warna merah tidak dilarang beredar, tetapi kami ingin masyarakat bisa melihat dengan cepat mana makanan yang sebaiknya dibatasi,” tambah Nadia.
Pemerintah menerapkan pendekatan bertahap. Tahun pertama dan kedua setelah peluncuran akan menjadi masa edukasi dan sosialisasi. Produsen diberi kesempatan menyesuaikan kemasan secara sukarela. Mulai tahun ketiga, aturan akan wajib berlaku bagi seluruh produk makanan dan minuman olahan.
| Tahapan | Periode | Keterangan |
|---|---|---|
| Sosialisasi & penggunaan sukarela | Akhir 2025 – 2027 | Edukasi konsumen, produsen menyesuaikan label |
| Kewajiban penuh | Awal 2028 | Semua produsen wajib mengikuti aturan. |
Kebijakan ini mendapat perhatian serius dari pelaku usaha, termasuk produsen makanan multinasional. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahkan sempat mempertanyakan dampak aturan tersebut terhadap arus ekspor-impor.
Amerika Serikat melalui Departemen Pertanian (USDA) menyatakan kekhawatiran bahwa aturan ini berpotensi memengaruhi ekspor produk pangan senilai sekitar USD 54 juta per tahun ke Indonesia.
Meski demikian, pemerintah menegaskan bahwa aturan akan dilaksanakan secara bertahap untuk memberi ruang adaptasi bagi industri.
Langkah ini juga menuai beragam tanggapan dari kalangan kesehatan masyarakat.
“Label traffic-light adalah langkah maju. Namun kita tahu kebijakan ini sudah lama dibicarakan dan sering tertunda karena tekanan industri. Dengan adanya tenggat dua tahun, kita berharap kali ini betul-betul berjalan,” ujar Diah Saminarsih, pendiri Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Sementara itu, sejumlah pakar gizi menilai sistem ini akan efektif bila dibarengi dengan edukasi luas. Tanpa edukasi, warna merah pada label bisa saja diartikan sekadar “berbahaya” tanpa memahami konteks konsumsi.
Wacana penerapan label berbasis warna sebenarnya bukan hal baru. Pada 17 April 2023, Kepala BPOM saat itu, Penny K. Lukito, pernah menyampaikan rencana memperbarui label gizi dengan sistem traffic-light. Namun, aturan tersebut tak kunjung diterapkan karena memerlukan harmonisasi lintas kementerian serta konsultasi dengan pelaku industri.
Sejak 2021, BPOM sudah mewajibkan pencantuman tabel informasi gizi di belakang kemasan. Namun, label depan kemasan (FoPNL) masih bersifat sukarela. Rencana penggunaan sistem alternatif, seperti Nutri-Level, juga sempat dibahas pada 2024.
Kini, setelah adanya pengumuman resmi 27 Agustus 2025, arah kebijakan menjadi lebih jelas: Indonesia memilih traffic-light sebagai standar nasional.
Sejumlah penelitian di Indonesia mendukung efektivitas label traffic-light dengan bukti ilmiah efektivitas :
- Sari et al. (2016, Yogyakarta): 86,3% konsumen memiliki persepsi baik terhadap Traffic Light Card, 70,5% bersikap positif, dan 100% mendukung penerapan pemerintah.
- Studi eksperimental (2017): Siswa SMA lebih mudah memahami nilai gizi setelah diberi penjelasan label traffic-light dibanding label konvensional.
- Penelitian pasien hipertensi (2019): Pengetahuan dan kepatuhan diet meningkat setelah diberi edukasi menggunakan label berwarna.
Namun, penelitian lain menemukan bahwa format Health Star Rating (HSR) lebih mudah dipahami dibanding traffic-light. Hal ini menunjukkan perlunya sosialisasi masif agar masyarakat benar-benar memahami arti label.
Sistem pelabelan pangan berbasis warna bukan hanya diterapkan di Indonesia. Negara seperti Singapura dan Inggris lebih dahulu menggunakan metode serupa. WHO dan FAO juga merekomendasikan agar setiap negara menggunakan satu sistem pelabelan konsisten guna memudahkan konsumen dan mengurangi beban industri.
Pemerintah berharap, dengan adanya label traffic-light, masyarakat bisa lebih sadar akan pilihan makanannya. Dalam jangka panjang, kebijakan ini ditargetkan menurunkan prevalensi obesitas dan PTM, sekaligus mendorong industri untuk reformulasi produk dengan kadar gula, garam, dan lemak lebih rendah.
“Label ini hanyalah alat bantu. Perubahan nyata akan terjadi bila konsumen benar-benar menggunakan informasi tersebut untuk memilih makanan sehat,” tegas Nadia.
Dengan diberlakukannya sistem label pangan traffic-light, Indonesia bergabung dengan negara-negara yang telah lebih dahulu menerapkan pelabelan interpretatif sederhana untuk membantu konsumen. Walaupun ada tantangan, baik dari sisi pemahaman masyarakat maupun kepentingan industri, kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk menekan laju obesitas dan penyakit tidak menular.
Kunci keberhasilan kebijakan ini tidak hanya pada aturan, tetapi juga pada edukasi publik dan konsistensi penegakan di lapangan. Jika berhasil, Indonesia dapat menjadikannya tonggak penting dalam membangun generasi yang lebih sehat.
