BONA NEWS. Jakarta.  — Tekanan pemerintah Indonesia terhadap raksasa teknologi global, Meta dan TikTok, semakin keras. Isu penyebaran disinformasi, maraknya perjudian online, hingga perlindungan anak membuat pemerintah tak segan mengancam pencabutan izin operasi kedua platform di tanah air.

Puncak ketegangan terjadi pada 27 Agustus 2025, ketika pemerintah memanggil perwakilan Meta dan TikTok. Deputi Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo, menegaskan bahwa konten menyesatkan di platform sosial tidak boleh dibiarkan.

“Video deepfake yang mengatasnamakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta rekaman lama yang disebarkan seolah-olah peristiwa baru, telah memicu keresahan bahkan demonstrasi yang melibatkan anak-anak. Kami tidak akan menoleransi keterlambatan penanganan konten berbahaya,” ujar Angga dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (27/8/2025).

Pemerintah menuntut agar konten disinformasi, pornografi, dan perjudian online dihapus secara proaktif. Platform yang melanggar berulang kali diancam sanksi, mulai dari peringatan administratif hingga pencabutan izin sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

Isu lain yang mendapat perhatian besar adalah perlindungan anak di ruang digital. Presiden Prabowo Subianto pada 28 Maret 2025 menandatangani regulasi perlindungan anak online. Aturan ini mewajibkan platform digital menerapkan verifikasi usia dan menyediakan fitur khusus bagi pengguna di bawah 17 tahun.

Menanggapi kebijakan tersebut, pada 21 April 2025, Meta dan TikTok menyatakan dukungannya.

Antigone Davis, VP Global Head of Safety Meta, menuturkan:
“Kami telah menerapkan Teen Accounts yang membatasi konten sensitif, memberikan pengingat waktu layar, serta mengatur notifikasi saat jam tidur. Namun, kami menyarankan adanya sistem verifikasi usia terpusat di perangkat agar lebih efisien.” (The Jakarta Post).

Anggini Setiawan, Head of Communications TikTok Indonesia, menambahkan:
“TikTok sudah memiliki fitur Family Pairing dan pembatasan usia minimal. Namun, kami masih menunggu petunjuk teknis dari Kominfo agar implementasinya sesuai standar nasional.” (21/4/2025, The Jakarta Post).

Meski mendukung, Meta mengkritik proses regulasi yang dianggap kurang transparan dan minim konsultasi publik.

Judi Online: Ancaman Denda Miliaran

Selain disinformasi dan perlindungan anak, perjudian online menjadi isu panas. Pada 24 Mei 2024, Menkominfo Budi Arie Setiadi mengeluarkan ultimatum:

“Setiap konten judi online yang tidak segera diturunkan bisa dikenakan denda hingga Rp500 juta. Jika tidak kooperatif, izin PSE dapat dicabut,” tegasnya ke media CNN Indonesia.

Menanggapi hal ini, Meta menyatakan sudah menindak konten perjudian sejak awal dan siap berkolaborasi penuh dengan pemerintah. TikTok pun menegaskan bahwa pedoman komunitas mereka melarang konten perjudian, dan akses platform hanya untuk pengguna di atas 18 tahun.

Tekanan semakin meningkat ketika Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid pada 14 November 2024 meminta platform besar ikut aktif memberantas judi online.

“Meta, TikTok, X, dan Instagram adalah platform besar yang harus ikut bertanggung jawab. Mereka menikmati pasar Indonesia, maka wajib menjaga ruang digital tetap aman,” ujar Meutya kepada MediaIndonesia.

Selain konten, DPR RI menyoroti persoalan algoritma rekomendasi. Pada 16 Juli 2025, anggota Komisi I DPR, Amelia Anggraini (NasDem), meminta agar Indonesia meniru Kanada melalui Online Streaming Act.

“KPI harus diberi akses ke algoritma rekomendasi Meta dan TikTok untuk mencegah hoaks, radikalisme, dan konten tidak layak anak,” kata Amelia kepada  Bisnis.com.

Namun, TikTok melalui Hilmi Adrianto menolak jika platform user-generated content (UGC) diperlakukan sama dengan lembaga penyiaran tradisional. Ia menyarankan moderasi konten tetap menjadi kewenangan Kominfo atau Komdigi.

Dari Fraksi PDIP, Nico Siahaan menambahkan bahwa revisi UU Penyiaran memang diperlukan, meski ia membuka opsi pembentukan undang-undang baru yang khusus mengatur media digital.

Tren Global Jadi Acuan

Langkah Indonesia sejalan dengan tren global. Uni Eropa melalui Digital Markets Act (DMA) menetapkan Meta dan ByteDance sebagai gatekeepers yang wajib transparan dan adil.

Kanada dengan Online Streaming Act menuntut kontribusi platform terhadap media lokal, sementara Prancis mewajibkan audit algoritma. Singapura pun menerapkan POFMA untuk melawan disinformasi.

Tekanan pemerintah terhadap Meta dan TikTok kini meliputi empat hal: disinformasi, perlindungan anak, judi online, dan transparansi algoritma. Semua ini menunjukkan bahwa era kebebasan tanpa regulasi di ruang digital sudah berakhir.

Indonesia berada pada fase penting dalam merumuskan regulasi yang seimbang: melindungi masyarakat dari bahaya konten digital, tanpa mematikan inovasi platform global yang juga membawa manfaat ekonomi.