BONA NEWS. Delhi, India. — Ibukota India, Delhi, kembali menjadi sorotan internasional setelah data real-time dari IQAir pada Kamis, 28 Agustus 2025 menunjukkan kualitas udara kota tersebut berada dalam kategori tidak sehat dengan Air Quality Index (AQI) melampaui 150. Angka itu sekaligus menempatkan Delhi dalam daftar 10 kota dengan polusi udara terburuk di dunia hari ini.
Fenomena ini menambah panjang catatan kelam Delhi dalam persoalan polusi, yang sudah berulang kali menjadi isu krusial di tingkat nasional maupun global.
Menurut pengamatan langsung, kondisi udara di Delhi terlihat pekat dan berasap pada pagi hingga siang hari. Banyak warga yang terpaksa menggunakan masker ketika beraktivitas di luar ruangan, sementara sekolah-sekolah di beberapa distrik kembali memberikan peringatan kepada orang tua agar anak-anak membatasi aktivitas di luar kelas.
AQI di atas 150 menunjukkan kualitas udara masuk kategori “Unhealthy”, atau tidak sehat. Dalam kondisi ini, siapa pun, bukan hanya kelompok rentan, bisa merasakan efek negatif terhadap kesehatan, terutama gangguan pada sistem pernapasan.
Seorang warga di kawasan Rohini, Delhi Utara, menyatakan bahwa dirinya mengalami batuk yang semakin parah dalam beberapa hari terakhir. “Setiap kali keluar rumah, saya merasa sesak. Masker memang membantu, tapi tetap saja sulit bernapas,” ujarnya.
Laporan para pakar menyebutkan bahwa penyebab utama buruknya kualitas udara Delhi adalah kombinasi dari:
- Emisi Kendaraan Bermotor
Dengan populasi kendaraan yang terus meningkat, Delhi mengalami kepadatan lalu lintas yang hampir tak pernah reda. Kendaraan pribadi, terutama bermesin diesel, menjadi penyumbang signifikan polusi partikulat (PM2.5 dan PM10). - Aktivitas Industri
Kawasan industri di sekitar Delhi, termasuk pembakaran bahan bakar fosil untuk produksi energi, memberikan kontribusi besar terhadap kadar polutan di udara. - Kondisi Meteorologi
Pada periode akhir Agustus, kelembapan tinggi dan angin lemah membuat polutan terperangkap di lapisan udara rendah. Hal ini menciptakan fenomena “inversi suhu”, yang memperburuk konsentrasi polusi. - Sumber Tambahan
Selain itu, pembakaran sampah terbuka di berbagai titik serta aktivitas konstruksi besar-besaran di kota ini juga memperparah masalah.
Para dokter di Delhi melaporkan peningkatan pasien dengan keluhan gangguan pernapasan, terutama asma, bronkitis, dan sesak napas. Bahkan, dalam jangka panjang, paparan polusi udara tingkat tinggi dapat memicu penyakit jantung, kanker paru, hingga menurunkan daya tahan tubuh.
Menurut data World Health Organization (WHO), polusi udara menyumbang 7 juta kematian prematur per tahun di dunia, dengan India menjadi salah satu negara dengan angka tertinggi.
“Ketika AQI sudah di atas 150, artinya semua orang terpapar risiko. Anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis adalah yang paling rentan,” jelas Dr. Anjali Mehra, pakar kesehatan paru-paru dari All India Institute of Medical Sciences (AIIMS).
Pemerintah Delhi sebenarnya sudah lama mencoba mengatasi persoalan ini. Beberapa kebijakan yang pernah diterapkan antara lain:
- Skema ganjil-genap kendaraan pribadi untuk mengurangi jumlah mobil di jalan raya.
- Larangan pembakaran terbuka terhadap sampah di area publik.
- Penggunaan bus listrik dan tenaga ramah lingkungan dalam transportasi umum.
- Penghijauan kota dengan menanam jutaan pohon di wilayah metropolitan.
Namun, upaya tersebut sering kali terbentur realitas di lapangan. Misalnya, kebijakan ganjil-genap kerap menuai kritik karena warga yang mampu justru membeli mobil kedua untuk menghindarinya. Sementara itu, penegakan larangan pembakaran sampah masih lemah.
Aktivis lingkungan menilai pemerintah pusat dan daerah perlu bergerak lebih tegas. “Masalah polusi Delhi bukan hanya isu lokal, tapi juga internasional. Harus ada kolaborasi lintas negara bagian, terutama dalam mengendalikan sumber polusi industri dan pertanian,” kata Sunita Narain, Direktur Jenderal Centre for Science and Environment (CSE).
Polusi udara di Delhi tidak hanya memengaruhi kesehatan, tetapi juga menggerus produktivitas ekonomi. Banyak perusahaan melaporkan penurunan produktivitas karyawan akibat meningkatnya absensi karena masalah kesehatan.
Selain itu, citra Delhi sebagai pusat bisnis dan pariwisata juga ikut terdampak. Wisatawan asing sering kali mengeluhkan kualitas udara yang buruk, sehingga jumlah kunjungan dapat berkurang.
Menurut laporan World Bank, polusi udara bisa menyebabkan kerugian ekonomi hingga 5–7% dari PDB India setiap tahunnya, terutama akibat biaya kesehatan dan menurunnya produktivitas.
Warga Delhi kini semakin terbiasa hidup dengan kualitas udara yang buruk. Penggunaan air purifier di rumah, pemasangan filter udara di sekolah-sekolah, hingga konsumsi obat pernapasan menjadi hal yang lumrah.
Namun, tidak semua warga mampu membeli perlengkapan tersebut. “Bagi keluarga miskin, pilihan mereka terbatas. Mereka tidak bisa membeli air purifier, jadi hanya bisa berharap cuaca membaik,” ungkap seorang aktivis sosial.
Selain Delhi, kota-kota besar lain yang juga masuk daftar 10 besar paling tercemar dunia pada hari ini antara lain: Lahore (Pakistan), Dhaka (Bangladesh), Karachi (Pakistan), dan Beijing (Tiongkok).
Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah polusi udara memang menjadi isu serius di Asia Selatan dan Asia Timur, kawasan dengan populasi padat serta industrialisasi yang masif.
Jalan Panjang Menuju Udara Bersih
Para pakar menegaskan bahwa untuk keluar dari daftar kota paling tercemar, Delhi harus melakukan transformasi besar-besaran. Strateginya meliputi:
- Percepatan transisi energi terbarukan.
- Pengetatan standar emisi kendaraan dan industri.
- Investasi dalam transportasi umum ramah lingkungan.
- Edukasi masyarakat tentang pengelolaan sampah dan bahaya polusi.
Langkah-langkah tersebut membutuhkan waktu, biaya besar, dan komitmen politik jangka panjang.
Kondisi kualitas udara Delhi pada 28 Agustus 2025 yang menempatkan kota ini di jajaran 10 besar kota paling tercemar dunia kembali menjadi alarm keras. Masalah polusi udara bukan hanya soal lingkungan, melainkan juga krisis kesehatan publik, ekonomi, dan kualitas hidup.
Selama pemerintah, industri, dan masyarakat tidak bergandengan tangan untuk mencari solusi berkelanjutan, Delhi akan terus terjebak dalam siklus tahunan yang sama: menjadi kota dengan langit kelabu, napas berat, dan risiko kesehatan yang terus menghantui.
