BONA NEWS. Jakarta. — Kebijakan Presiden Prabowo Subianto memperluas peran militer dalam ruang sipil menimbulkan perdebatan hangat di kalangan masyarakat sipil, akademisi, hingga politisi. Dua kebijakan menonjol yang memicu kontroversi adalah pembentukan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) dan revisi Undang-Undang TNI yang membuka jalan lebih lebar bagi perwira aktif mengisi jabatan sipil. Dukungan dan penolakan mengalir deras, menggambarkan tarik-menarik antara kebutuhan efisiensi pembangunan dan kekhawatiran melemahnya demokrasi.
Pada 7 Februari 2025, Presiden Prabowo mengumumkan program pembentukan 100 BTP. Beberapa hari sebelumnya, KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak telah menjelaskan bahwa batalyon ini difokuskan pada pembangunan, pertanian, dan logistik, namun tetap berfungsi sebagai unit militer. Peresmian resmi dilakukan di Batujajar, Jawa Barat, pada 10 Agustus 2025.
Pemerintah berargumen, BTP dirancang untuk mempercepat pembangunan terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Infrastruktur dasar, swasembada pangan, hingga logistik daerah terpencil disebut akan lebih efektif jika melibatkan militer. “Kita butuh institusi yang disiplin dan efisien untuk menjawab tantangan pembangunan,” ujar Presiden Prabowo saat peresmian.
Tak lama setelah pengumuman BTP, pada 13 Februari 2025, Presiden mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR untuk merevisi UU TNI. Salah satu poin paling krusial adalah dihapusnya batasan jumlah perwira aktif yang boleh menduduki jabatan sipil.
Proses revisi berlangsung kilat. Hanya sebulan kemudian, pada 15 Maret 2025, sekelompok aktivis menggelar aksi protes di Hotel Fairmont, Jakarta, tempat pembahasan revisi dilakukan secara tertutup. Kritik mengemuka karena proses yang dianggap minim transparansi dan partisipasi publik. Meski demikian, revisi akhirnya disahkan DPR pada 20 Maret 2025.
Pemerintah berulang kali menegaskan bahwa kebijakan ini bukan upaya mengembalikan Dwifungsi ABRI. Sebaliknya, langkah ini disebut respons atas tantangan baru di era global. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bahkan menyoroti aspek biosekuriti. “Batalyon pembangunan dapat dilibatkan dalam menghadapi pandemi dan ancaman biologi. Kita harus siap,” ujarnya pada 21 Agustus 2025.
Selain efisiensi dan disiplin, pemerintah juga menekankan faktor ketahanan nasional. Bencana alam, krisis pangan, dan ancaman disinformasi disebut tidak bisa ditangani birokrasi sipil sendirian.
Namun kritik keras datang dari berbagai pihak. KontraS, pada 11 Februari 2025, mengeluarkan pernyataan resmi yang menolak keras program ini. Menurut mereka, pelibatan militer di ruang sipil adalah langkah mundur yang menghidupkan kembali praktik Dwifungsi ABRI.
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada menilai, militerisasi ruang sipil justru melemahkan profesionalisme birokrasi sipil. “Efisiensi yang diklaim pemerintah bisa jadi semu, karena pada akhirnya fungsi sipil yang seharusnya independen malah dikooptasi oleh struktur militer,” kata salah seorang dosen ilmu politik UGM.
Aktivis demokrasi juga memperingatkan potensi melemahnya check and balance. Dengan militer mengisi posisi sipil, pengawasan institusional bisa terganggu, apalagi jika parlemen cenderung mendukung pemerintah tanpa kritik berarti.
Selain di Jakarta, aksi protes juga muncul di Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Serikat buruh hingga mahasiswa turun ke jalan menolak revisi UU TNI. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Supremasi Sipil Harga Mati” dan “Tolak Dwifungsi ABRI Gaya Baru”.
Di sisi lain, sejumlah kepala daerah justru menyambut baik kebijakan ini. Gubernur Nusa Tenggara Timur menyatakan BTP dapat membantu pembangunan infrastruktur di daerah terpencil yang selama ini terkendala anggaran dan birokrasi.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia menilai, Indonesia kini menghadapi dilema. “Secara prosedural, demokrasi kita masih berjalan, pemilu tetap ada. Tapi secara substantif, masuknya militer ke ranah sipil bisa mengikis kebebasan sipil dan supremasi sipil,” ujarnya.
Risiko penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pun meningkat. Dengan posisi sipil ditempati perwira aktif, kontrol sipil atas militer menjadi kabur. Ditambah kebijakan pemerintah yang meminta platform digital memperketat moderasi konten, kekhawatiran soal pembungkaman kritik publik makin kuat.
Sejumlah sejarawan mengingatkan bahwa praktik serupa pernah terjadi di masa Orde Baru. Saat itu, militer bukan hanya menguasai keamanan, tetapi juga politik, birokrasi, hingga bisnis. Reformasi 1998 berupaya menghapus dominasi itu melalui penghapusan Dwifungsi ABRI.
“Sekarang, dua dekade setelah Reformasi, kita melihat pola lama kembali muncul dengan wajah baru. Pertanyaannya: apakah ini solusi pragmatis, atau justru kemunduran demokrasi?” ujar seorang peneliti LIPI.
Kebijakan pelibatan militer di ruang sipil pada 2025 menempatkan Indonesia pada persimpangan sejarah. Efisiensi pembangunan dan ketahanan nasional menjadi alasan utama pemerintah. Namun kritik masyarakat sipil menegaskan bahwa demokrasi bisa terancam jika supremasi sipil dikompromikan.
Pertarungan wacana ini kemungkinan akan terus berlanjut. Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh sejauh mana masyarakat sipil, parlemen, dan institusi negara mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan prinsip demokrasi.
