BONA NEWS. Jakarta. – Penerbitan instrumen utang baru bertajuk Patriot Bond yang diluncurkan pemerintah pada pertengahan Agustus ini mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan ekonom, pelaku pasar, hingga investor ritel. Meski dikemas dengan semangat nasionalisme dan gotong royong, sejumlah pengamat menilai obligasi ini justru berpotensi menambah beban fiskal, menekan stabilitas pasar, serta menimbulkan risiko persepsi publik.
Patriot Bond pertama kali diumumkan pada 12 Agustus 2025 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Jakarta. Obligasi ini ditawarkan kepada publik dengan tenor bervariasi antara 10 hingga 20 tahun, dan kupon atau bunga yang relatif lebih tinggi dibandingkan seri obligasi ritel sebelumnya. Pemerintah menargetkan penerbitan hingga Rp120 triliun pada akhir tahun 2025.
Dalam pernyataannya, Sri Mulyani menegaskan bahwa obligasi ini bukan sekadar instrumen keuangan. “Kami ingin masyarakat Indonesia merasakan bahwa membeli obligasi bukan hanya investasi, tetapi juga kontribusi nyata dalam membangun bangsa. Itulah semangat yang kami sebut Patriot Bond,” ujarnya (12 Agustus 2025).
Dana hasil penerbitan disebut akan dialokasikan pada tiga sektor utama: pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah juga berjanji transparansi penggunaan dana akan dipublikasikan secara berkala melalui laporan APBN.
Namun, sejumlah ekonom mengingatkan kondisi utang negara yang sudah cukup berat. Data Kementerian Keuangan per 31 Juli 2025 menunjukkan total utang pemerintah telah mencapai Rp8.421 triliun, atau sekitar 38,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari jumlah itu, beban bunga yang harus dibayarkan tahun ini diproyeksikan menembus Rp502 triliun.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), kebijakan penerbitan obligasi baru dengan kupon tinggi bisa menjadi bumerang. “Pemerintah menargetkan masyarakat kelas menengah membeli Patriot Bond. Namun yield yang ditawarkan justru menambah beban bunga. APBN kita sudah sangat berat. Jika tidak hati-hati, utang bisa semakin tidak berkelanjutan,” kata Bhima dalam diskusi publik pada 15 Agustus 2025.
Risiko Pasar dan Investor
Selain beban fiskal, kekhawatiran juga datang dari pelaku pasar modal. Menurut laporan Bank Indonesia pada 20 Agustus 2025, penerbitan Patriot Bond dapat memicu “cannibal effect” terhadap Surat Utang Negara (SUN) dan obligasi ritel seri lama. Likuiditas pasar diprediksi terpecah, membuat harga obligasi di pasar sekunder lebih fluktuatif.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menegaskan dampak ini tidak bisa diabaikan. “Investor akan membandingkan imbal hasil antar-instrumen. Jika Patriot Bond menawarkan kupon lebih tinggi, maka obligasi lain bisa tertekan. Akibatnya, pemerintah sendiri harus bayar bunga lebih mahal ke depan,” ujarnya (21 Agustus 2025).
Bahkan beberapa lembaga pemeringkat internasional dilaporkan sedang mengkaji dampak instrumen ini terhadap profil risiko Indonesia. Fitch Ratings dalam rilis singkatnya pada 22 Agustus 2025 menyoroti bahwa ekspansi utang berbasis obligasi ritel perlu dibarengi kebijakan fiskal yang konsisten, agar tidak memunculkan risiko penurunan peringkat.
Dari sisi masyarakat, minat terhadap Patriot Bond cukup tinggi pada hari-hari pertama peluncuran. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam lima hari pertama penawaran, penjualan mencapai Rp18,2 triliun, dengan mayoritas pembeli berasal dari kalangan menengah perkotaan.
Meski demikian, Asosiasi Investor Ritel Indonesia (AIRI) mengingatkan pentingnya edukasi publik. Ketua AIRI, Lestari Moerdijat, menyebut banyak masyarakat membeli Patriot Bond lebih karena faktor emosional daripada pertimbangan rasional. “Nama ‘Patriot’ memberi kesan bahwa membeli berarti bentuk cinta tanah air. Namun masyarakat tetap harus paham risiko, termasuk inflasi dan potensi kerugian di pasar sekunder,” ujar Lestari dalam pernyataan tertulis pada 19 Agustus 2025.
Ia menegaskan, instrumen ini seharusnya tidak menjebak investor dengan jargon nasionalisme, melainkan didukung literasi keuangan yang memadai.
Praktik mengaitkan obligasi dengan semangat patriotisme bukan hal baru. Amerika Serikat pernah menerbitkan War Bonds pada masa Perang Dunia II, sementara Jepang menggunakan Patriotic Savings Bonds pada era pasca-perang. Namun, sebagian besar diterbitkan dalam konteks darurat nasional atau kebutuhan perang.
Menurut analis pasar global dari Nomura Research, Kazuo Nakamura, situasi Indonesia berbeda. “Obligasi dengan nuansa patriotisme biasanya efektif saat negara menghadapi krisis besar. Indonesia justru berada dalam kondisi ekonomi yang relatif stabil, dengan pertumbuhan sekitar 5%. Jadi instrumen ini bisa dipersepsikan pasar sebagai trik fiskal ketimbang kebutuhan mendesak,” kata Nakamura dalam laporan risetnya (23 Agustus 2025).
Di tengah kritik tersebut, pemerintah berusaha menegaskan kembali manfaat Patriot Bond. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Alfirman, menyatakan pada 24 Agustus 2025 bahwa semua instrumen sudah melalui kajian matang. “Obligasi ini akan dikelola dengan prinsip transparansi penuh. Laporan alokasi dan penggunaan dana akan kami publikasikan setiap kuartal. Jadi publik bisa mengawasi,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, instrumen ini justru akan memperkuat basis investor domestik dan mengurangi ketergantungan pada investor asing. “Saat ini sekitar 27% obligasi pemerintah masih dipegang asing. Dengan Patriot Bond, kami berharap proporsi investor lokal meningkat, sehingga risiko gejolak global bisa ditekan,” kata Luky.
Hingga pekan terakhir Agustus, penjualan Patriot Bond tercatat sudah mencapai Rp38,7 triliun atau sekitar 32% dari target tahunan. Angka ini dianggap sukses secara komersial. Namun perdebatan mengenai keberlanjutan fiskal dan dampak pasar masih jauh dari selesai.
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, memberikan penekanan khusus. “Transparansi dan disiplin fiskal adalah kunci. Jika pemerintah hanya mengandalkan semangat patriotisme tanpa manajemen risiko, Patriot Bond bisa menjadi boomerang di masa depan,” ujarnya (26 Agustus 2025).
Dengan berbagai pro dan kontra, nasib Patriot Bond kini bergantung pada seberapa kuat pemerintah menjaga kepercayaan publik dan investor. Jika janji transparansi dapat ditepati, instrumen ini mungkin menjadi terobosan pembiayaan pembangunan. Namun jika tidak, ia bisa menjadi simbol baru dari beban utang yang kian berat.
