BONA NRWS. Medan, Sumatera Utara. – Wabah Mpox (sebelumnya dikenal sebagai monkeypox) masih menjadi perhatian utama komunitas kesehatan global. Sejak kemunculannya kembali dalam skala besar pada 2022, penyakit yang disebabkan oleh virus orthopoxvirus ini terus menyebar lintas benua dengan pola yang bervariasi. Hingga Juli 2025, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sebanyak 3.924 kasus terkonfirmasi di 47 negara, dengan total 30 kematian. Tingkat kematian global atau case fatality rate (CFR) berada di kisaran 0,8 persen, angka yang relatif rendah dibanding penyakit menular lain, namun tetap menimbulkan kekhawatiran karena tren peningkatan di wilayah tertentu, dilansir WHO Report.

Sejak pertengahan 2024, kurva kasus Mpox di beberapa wilayah menunjukkan tanda-tanda menurun, terutama di kawasan Amerika, Eropa, dan Afrika. Penurunan ini dianggap sebagai hasil dari peningkatan kesadaran publik, distribusi vaksin terbatas, serta protokol kesehatan yang diperketat di wilayah-wilayah dengan beban kasus tinggi.

Namun, penurunan ini tidak berarti wabah mereda sepenuhnya. Justru dalam beberapa bulan terakhir, WHO mengamati lonjakan signifikan di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Kawasan Pasifik Barat mencatat peningkatan kasus hingga 160 persen, sedangkan Asia Tenggara naik 5,9 persen.

Dua negara mencuri perhatian:

  • Filipina yang sebelumnya tidak melaporkan kasus, tiba-tiba mencatat 126 kasus baru hanya dalam hitungan minggu.
  • China melaporkan peningkatan dari 108 menjadi 152 kasus, memperlihatkan potensi penyebaran yang lebih luas.

Fenomena ini menandakan bahwa Mpox masih memiliki kemampuan menimbulkan kejutan epidemiologis, bahkan di negara-negara yang sebelumnya tidak terdampak.

Meski terjadi lonjakan di Asia, Afrika tetap menjadi episentrum utama wabah Mpox. Negara yang paling terdampak adalah Republik Demokratik Kongo (DRC), tempat munculnya varian baru clade I, khususnya clade Ib, sejak September 2023. Varian ini dilaporkan memiliki tingkat penularan lebih tinggi serta gejala lebih parah dibanding varian clade II yang lebih dominan di luar Afrika.

Selain DRC, sejumlah negara lain di Afrika Barat dan Tengah juga mencatat peningkatan kasus, di antaranya Sierra Leone, Liberia, Guinea, Ghana, Togo, dan Mozambik. Data menunjukkan sepanjang tahun 2025 sudah tercatat lebih dari 21.000 kasus di Afrika, melampaui jumlah tahun 2024 yang mencapai 19.738 kasus.

Tingginya beban kasus diperparah oleh kondisi sistem kesehatan di Afrika yang rapuh. Menurut laporan Financial Times, pemangkasan bantuan luar negeri dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa menyebabkan banyak fasilitas kesehatan kekurangan dana, tenaga medis, hingga logistik dasar. Situasi ini membuat penanganan wabah semakin berat, terutama di daerah pedesaan yang sulit dijangkau.

WHO sejak Agustus 2024 menetapkan Mpox sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (PHEIC). Keputusan ini diambil setelah varian clade I menyebar di Afrika Tengah dan menular ke negara-negara tetangga.

Sebagai bagian dari respon, WHO meluncurkan Strategic Preparedness and Response Plan (SPRP) dengan anggaran USD 135 juta untuk periode September 2024–Februari 2025. Dana ini difokuskan pada peningkatan surveilans, distribusi vaksin, serta penguatan kapasitas laboratorium di negara-negara terdampak.

Kontribusi internasional juga mulai mengalir. Jerman, misalnya, menyumbangkan 100.000 dosis vaksin untuk mendukung program imunisasi di Afrika. Hingga pertengahan 2025, sekitar 700.000 dosis vaksin sudah diberikan di 11 negara. DRC bahkan sempat menyalurkan sebagian vaksinnya ke Sierra Leone untuk membantu pengendalian kasus di sana.

Meski demikian, ketersediaan vaksin masih jauh dari kebutuhan. Dengan puluhan ribu kasus baru setiap tahun, jumlah vaksin yang ada dinilai belum memadai untuk menekan laju penularan secara signifikan.

Di tengah keterbatasan, muncul harapan dari inovasi lokal. Sebuah startup asal Maroko bernama Moldiag berhasil mengembangkan alat tes diagnostik Mpox dengan harga USD 5 saja. Tes ini jauh lebih murah dibanding metode konvensional yang bisa mencapai puluhan dolar.

Produk Moldiag kini sudah digunakan di beberapa negara Afrika, termasuk Uganda, Burundi, dan Nigeria. Kehadiran tes murah ini dianggap penting karena memudahkan deteksi dini, terutama di wilayah dengan sumber daya terbatas. Dengan kemampuan diagnosis yang lebih cepat, peluang untuk memutus rantai penularan menjadi lebih besar.

Perkembangan terbaru datang dari Senegal. Pada 25 Agustus 2025, pemerintah Senegal melaporkan kasus Mpox pertama tahun ini. Pasien adalah seorang pria asing yang kini dalam kondisi stabil dan sedang diisolasi. Otoritas kesehatan setempat telah mengidentifikasi 25 kontak erat dan melakukan pemantauan intensif untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.

Meski baru satu kasus, laporan ini menegaskan bahwa Mpox masih berpotensi menembus batas-batas negara yang sebelumnya aman. WHO menekankan pentingnya kewaspadaan berlapis, terutama bagi negara-negara dengan akses perjalanan internasional yang tinggi.

Beberapa tantangan utama yang masih dihadapi dunia dalam mengendalikan wabah Mpox antara lain:

  1. Keterbatasan vaksin – meski distribusi sudah berjalan, stok global masih belum mampu menjangkau seluruh populasi berisiko.
  2. Pendanaan terbatas – pemangkasan bantuan dari negara donor membuat beberapa wilayah, khususnya Afrika, kesulitan menjalankan program pengendalian secara berkelanjutan.
  3. Varian baru – clade Ib di DRC menjadi ancaman serius karena tingkat penularannya lebih tinggi. Jika meluas ke luar Afrika, risiko epidemi global bisa meningkat.
  4. Lonjakan kasus di Asia – Filipina dan China menjadi sinyal bahwa wabah tidak hanya berpusat di Afrika, tetapi juga bisa menyebar cepat ke kawasan padat penduduk.

Di sisi lain, ada beberapa perkembangan positif:

  • WHO aktif memimpin koordinasi internasional.
  • Vaksinasi terus diperluas meski terbatas.
  • Inovasi lokal seperti tes murah dari Maroko membuka jalan bagi deteksi lebih cepat.

Situasi global Mpox pada 2025 memperlihatkan dinamika yang kompleks. Secara keseluruhan, jumlah kasus global memang relatif menurun dibanding puncak wabah pada 2022–2023. Namun, Afrika tetap menanggung beban terbesar dengan varian baru yang lebih berbahaya, sementara Asia mulai mencatat lonjakan kasus signifikan.

Langkah-langkah mitigasi terus dilakukan, tetapi terbatasnya vaksin dan dana menjadi hambatan besar. Kasus baru di Senegal menunjukkan bahwa wabah ini belum berakhir dan masih berpotensi menyebar ke wilayah baru.

Dengan demikian, Mpox tetap harus dipandang sebagai ancaman kesehatan global yang membutuhkan perhatian serius, baik melalui kolaborasi internasional, dukungan finansial, maupun inovasi teknologi di tingkat lokal.