BONA NEWS. Jakarta.  — Seorang anak muda berusia 21 tahun, Affan Kurniawan, yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek online (ojol), tewas tragis pada 28 Agustus 2025 di Jakarta. Bukan karena kecelakaan biasa, melainkan akibat ditabrak dan dilindas kendaraan taktis Brimob ketika aparat berupaya membubarkan demonstrasi di sekitar Kompleks DPR/MPR, Senayan.

Kematian Affan bukan sekadar angka. Ia adalah wajah nyata dari jutaan pengemudi ojol Indonesia yang setiap hari berjibaku di jalan raya, menghidupi keluarga, dan kini harus menjadi korban kekerasan aparat negara.

Menurut saksi mata dan rekaman video yang beredar luas di media sosial, kejadian bermula ketika ribuan massa aksi, termasuk driver ojol, turun ke jalan memprotes kebijakan pemerintah terkait pajak serta krisis ekonomi yang makin mencekik. Situasi mulai ricuh saat malam tiba di kawasan Jalan Penjernihan I, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Di tengah kepanikan, sebuah kendaraan taktis Brimob jenis Barracuda melaju kencang. Bukannya berhenti, kendaraan tersebut justru menabrak dan melindas tubuh Affan yang saat itu berusaha menghindar. Video berdurasi sekitar 30 detik memperlihatkan tubuh Affan terseret di bawah roda, sementara aparat lain terlihat tidak segera memberi pertolongan.

Affan tewas seketika di lokasi. Jenazahnya kemudian dibawa ke RSCM sebelum diserahkan kepada keluarga.

Siapa Affan Kurniawan?

Affan bukan provokator. Ia bukan perusuh.
Ia adalah seorang anak muda dari Bandar Lampung, yang merantau ke Jakarta. Sebelum menjadi ojol, Affan sempat bekerja sebagai satpam. Kehidupan keras ibu kota membuatnya memilih bergabung sebagai driver ojek online, profesi yang meski penuh risiko, setidaknya memberi penghasilan harian untuk membantu keluarganya.

Menurut keterangan keluarga di Menteng, Jakarta Pusat, Affan adalah tulang punggung. “Dia rajin, jarang ngeluh, dan kerja keras. Kami hanya ingin keadilan,” ujar salah satu kerabatnya dalam wawancara singkat.

Berita kematian Affan cepat menyebar. Tagar #JusticeForAffan dan #OjolMelawan menjadi trending di media sosial.

  • Ratusan driver ojol dari berbagai wilayah Jakarta mengawal jenazah Affan hingga ke rumah duka.
  • Komunitas ojol menyatakan aksi solidaritas nasional, menuntut polisi mengusut tuntas pelaku dan memberikan kompensasi penuh kepada keluarga korban.
  • Aktivis HAM menilai tragedi ini mencerminkan “negara gagal melindungi warga sipil.”

Salah satu pengemudi ojol yang hadir di lokasi menuturkan, “Kami sering dianggap kelas dua. Padahal kami yang tiap hari nganter makanan, nganter orang. Tapi lihatlah, nyawa kami begitu murah di mata aparat.”

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 29 Agustus 2025 menyampaikan permintaan maaf terbuka. Ia berjanji menindak tegas anggota Brimob yang terlibat.

“Kami turut berduka atas meninggalnya Affan Kurniawan. Proses hukum akan berjalan. Anggota yang bersalah tidak akan kami lindungi,” ujar Listyo dalam konferensi pers.

Tujuh anggota Brimob telah diamankan untuk diperiksa. Polisi menyebut investigasi internal dan pidana akan berjalan paralel.

Sementara itu, pihak Istana juga menyampaikan simpati dan menegaskan kasus ini harus menjadi pelajaran agar penggunaan kendaraan taktis dalam pengamanan massa tidak lagi memakan korban sipil.

Tragedi Affan menyingkap realitas getir kehidupan driver ojol:

  1. Rawan di Jalan Raya — setiap hari bergelut dengan risiko kecelakaan, kini bahkan menjadi korban represif aparat.
  2. Minim Perlindungan Hukum — meski menjadi tulang punggung ekonomi digital, status mereka masih sebatas “mitra,” tanpa jaminan sosial layak.
  3. Tumbal Ketidakadilan Sosial — suara mereka kerap terpinggirkan, meski justru yang paling sering bersentuhan dengan masyarakat luas.

Bagi komunitas ojol, Affan bukan hanya korban. Ia kini menjadi simbol perjuangan.

Dalam pernyataan sikap, sejumlah organisasi ojol mengajukan tiga tuntutan:

  • Keadilan untuk Affan: proses hukum transparan, pelaku dihukum setimpal.
  • Perlindungan hukum untuk driver ojol: baik di jalan raya maupun ketika menyampaikan aspirasi.
  • Reformasi pengamanan unjuk rasa: hentikan penggunaan kendaraan taktis yang membahayakan nyawa warga.

“Jangan sampai ada Affan-Affan berikutnya,” tegas Arif, koordinator aksi komunitas ojol Jabodetabek.

Kematian Affan Kurniawan tidak boleh dianggap sekadar “insiden.” Ia adalah cermin betapa mudahnya nyawa rakyat kecil terinjak oleh roda kekuasaan. Ketika aparat bersenjata bisa dengan enteng menabrak warga, lalu meminta maaf seolah semuanya selesai, di situlah martabat negara dipertaruhkan.

Sebagai pengemudi ojol, Affan hanyalah satu dari jutaan. Tetapi lewat tragedi ini, ia menjadi suara kolektif—suara rakyat kecil yang menuntut pengakuan, keadilan, dan perlindungan.

Affan Kurniawan telah pergi. Tetapi suaranya tidak boleh padam. Tragedi 28 Agustus 2025 harus menjadi titik balik: negara wajib melindungi setiap warga, termasuk mereka yang memakai jaket hijau dan mengais rezeki di jalan raya.

Jika tidak, apa arti merdeka, bila di jalan-jalan ibu kota, rakyat masih bisa ditabrak, dilindas, dan dilupakan?

Beranikah Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto memecat Listyo Sigit dari jabatan Kapolri?

Affan Kurniawan tewas bukan karena kesalahannya, tapi karena sistem yang abai dan aparat yang brutal. Ia kini jadi wajah perjuangan para driver ojol yang mensyaratkan keadilan, keselamatan, dan perlindungan.

“Kita harus memberi suara kepada korban yang tak lagi bisa bersuara. Insiden ini adalah peringatan keras: jika negara terus diam saat rakyatnya terinjak, maka kita semua kehilangan pijakan keadilan” tegas Rio sang driver ojol.

Di balik peran besar driver ojol, realita penghasilan para driver jauh dari ideal. Rata-rata mereka bekerja 10–12 jam per hari hanya untuk membawa pulang sekitar Rp100.000–150.000. Setelah dipotong biaya bensin, cicilan motor, dan kebutuhan sehari-hari, banyak driver mengaku hanya tersisa Rp50.000–80.000 per hari (Reuters, 20/05/2025). Jumlah ini tentu tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang mereka curahkan.

Potongan komisi aplikasi yang mencapai 20–25% menjadi keluhan utama. Dalam demonstrasi Mei 2025, ribuan pengemudi menuntut agar mereka mendapat setidaknya 90% dari tarif perjalanan. Hingga kini, tuntutan itu belum dipenuhi. Platform aplikasi berdalih komisi digunakan untuk biaya operasional, namun bagi driver, potongan tersebut adalah ironi ketika mereka menjadi garda terdepan yang menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.

Selain pendapatan minim, para driver juga setiap hari bergelut dengan risiko kecelakaan. Korlantas Polri mencatat jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari 103.645 kasus pada 2021 menjadi 137.851 kasus pada 2022. Dari angka tersebut, lebih dari 70% melibatkan pengendara roda dua, posisi yang ditempati mayoritas driver ojol (Katadata, 2023).

Sebuah studi di Bekasi tahun 2024 menambah gambaran suram. Penelitian itu menemukan 64% pengemudi ojol mengalami kelelahan berat, sementara 36% mengalami kelelahan sedang (Gudang Jurnal, 2024). Kelelahan akibat jam kerja panjang terbukti meningkatkan risiko kecelakaan. Artinya, demi mengejar target harian, para driver sering mempertaruhkan nyawa mereka sendiri.

Berangkat order tekan Tugu,
Narik penumpang sampek Maguwo.
Ojol kudu sabar lan tangguh,
Ojok ketabrak mobil Brimob broo!

 

Redaksi BONA NEWS & TV mengucapkan turut berduka atas meninggalnya Affan Kurniawan akibat kebrutalan aparat negara.