BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara.  — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) secara tegas menyerukan pencopotan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Kapolda Sumut) buntut dugaan brutalitas aparat dalam menangani aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil di Medan pada 25–28 Agustus 2025. Desakan ini menguat setelah puluhan aktivis dilaporkan mengalami kekerasan fisik, penangkapan sewenang-wenang, hingga pelanggaran hak atas pendampingan hukum.

Aksi unjuk rasa yang berlangsung di sejumlah daerah, termasuk Jakarta, Medan, dan Pontianak, awal pekan ini, pada dasarnya menyoroti isu kenaikan harga kebutuhan pokok, dugaan praktik korupsi di pemerintahan daerah, serta penolakan terhadap kebijakan baru di sektor ketenagakerjaan.

Di Medan, aksi yang digelar pada 26 Agustus 2025 berujung ricuh. Aparat kepolisian disebut bertindak represif dengan membubarkan massa menggunakan kekerasan. Berdasarkan catatan LBH Medan, sedikitnya 44 orang ditangkap dan mengalami tindakan di luar prosedur, mulai dari pemukulan, injakan pada wajah, hingga pemaksaan membuka baju.

Selain itu, sejumlah pengacara dari LBH yang berupaya memberikan pendampingan hukum kepada para aktivis justru dihalang-halangi aparat. “Ini pelanggaran serius terhadap hak konstitusional warga negara. Polisi tidak hanya melakukan kekerasan, tetapi juga membatasi akses bantuan hukum,” ungkap Direktur LBH Medan, Wahyudi Sihombing, dalam keterangannya, Kamis (28/8).

Menanggapi situasi ini, YLBHI sebagai induk organisasi LBH di tingkat nasional menyampaikan sikap tegas. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai apa yang terjadi di Medan dan beberapa kota lain adalah bentuk nyata kegagalan kepolisian dalam menghormati prinsip hak asasi manusia.

“Kami menuntut Kapolri untuk segera mencopot Kapolda Sumut. Kekerasan yang dilakukan aparat tidak bisa ditoleransi. Aparat yang bersalah harus diproses pidana, bukan sekadar disiplin internal,” tegas Isnur melalui siaran pers yang dirilis pada Jumat (29/8/2025).

YLBHI juga menyebut bahwa tindakan represif aparat bukan insiden tunggal, melainkan pola berulang yang selama ini terjadi ketika masyarakat menyampaikan aspirasi. “Setiap kali rakyat bersuara, jawaban negara justru pemukulan, penangkapan, dan kriminalisasi. Ini berbahaya bagi demokrasi,” lanjutnya.

Tuntutan pencopotan Kapolda Sumut bukan kali pertama disuarakan LBH. Pada 2024, LBH Medan juga pernah meminta hal serupa terkait penanganan kasus dugaan korupsi seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Langkat dan Mandailing Natal.

Saat itu, LBH menilai Polda Sumut lamban, tidak transparan, bahkan diduga melindungi pejabat daerah yang terlibat. “Kami sudah laporkan Kapolda dan Dirkrimsus ke Propam dan Kompolnas. Sayangnya, sampai sekarang belum ada tindakan tegas,” ujar Wahyudi Sihombing kala itu.

Rangkaian peristiwa tersebut, menurut LBH dan YLBHI, menunjukkan adanya masalah serius dalam kepemimpinan di Polda Sumut yang tidak mampu menjaga prinsip profesionalisme, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hukum.

Koalisi masyarakat sipil di Sumatera Utara menyambut dukungan atas seruan pencopotan Kapolda. Sejumlah organisasi mahasiswa, serikat buruh, hingga kelompok tani menilai keberadaan aparat seharusnya memberi rasa aman, bukan justru menjadi sumber ketakutan.

“Banyak kawan kami trauma setelah dipukul dan ditahan. Ada yang luka di kepala, ada yang lebam di punggung. Kalau kondisi ini dibiarkan, tidak ada jaminan lagi bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat,” kata Dwi Pratama, koordinator aksi mahasiswa Universitas Sumatera Utara.

Di sisi lain, Komnas HAM disebut tengah melakukan pemantauan terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa demonstrasi tersebut. “Kami kumpulkan bukti, termasuk keterangan korban. Jika benar ada penggunaan kekuatan berlebihan, kami akan rekomendasikan langkah hukum,” ujar salah satu komisioner Komnas HAM, Jumat (29/8/2025).

LBH dan YLBHI merinci sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada pemerintah dan kepolisian:

  1. Mencopot Kapolda Sumut sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan represif aparat di Medan.
  2. Memproses pidana anggota kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan dan penyiksaan terhadap demonstran.
  3. Menjamin pemulihan bagi korban, baik medis maupun psikologis, serta menghentikan kriminalisasi terhadap peserta aksi.
  4. Menghormati hak atas pendampingan hukum, termasuk membuka akses penuh bagi pengacara mendampingi kliennya di kantor polisi.
  5. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola pengamanan aksi di seluruh daerah agar tidak terulang kembali.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Polda Sumut belum memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan LBH dan YLBHI. Namun, Kepala Biro Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, menyatakan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan laporan dari lapangan.

“Setiap dugaan pelanggaran akan ditindaklanjuti. Kapolri sudah menekankan pentingnya prosedur humanis dalam pengamanan aksi. Kami akan cek fakta-fakta yang disampaikan,” ujarnya di Jakarta kepada media, Jumat (29/8/25).

Meski demikian, pernyataan tersebut belum meredam desakan publik yang menuntut langkah cepat dan tegas.

Pengamat hukum dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Ahmad Ridwan, menilai desakan pencopotan Kapolda Sumut memiliki dasar kuat. “Dalam hukum kepolisian, pimpinan bertanggung jawab atas tindakan bawahannya. Jika berulang kali terjadi pelanggaran, wajar bila publik menuntut pencopotan,” jelasnya.

Menurut Ahmad, kasus ini juga memiliki implikasi politik yang tidak kecil. “Jika dibiarkan, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri akan semakin menurun. Apalagi Sumut termasuk daerah strategis dengan dinamika politik dan ekonomi yang tinggi,” tambahnya.

Dalam kesempatan terpisah, Bobby Apriliano, Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik, juga menyuarakan desakan keras.

“Saya meminta Komnas HAM dan Kompolnas tidak hanya menginvestigasi, tetapi juga memecat polisi yang terbukti melakukan aksi brutal pada demo mahasiswa. Tidak cukup hanya teguran atau mutasi. Penegakan hukum harus nyata agar aparat tidak lagi merasa kebal hukum,” tegas Bobby Apriliano, di kantor BASL Center, Jum’at (29/8/2025).

Menurut Bobby Apriliano, keberadaan lembaga pengawas eksternal sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan publik. “Komnas HAM dan Kompolnas harus menunjukkan keberpihakan pada rakyat, bukan pada institusi yang menyalahgunakan kekuasaan,” ujarnya.

Seruan LBH dan YLBHI agar Kapolda Sumut dicopot menegaskan bahwa kasus brutalitas aparat bukan sekadar persoalan teknis di lapangan, melainkan persoalan kepemimpinan dan akuntabilitas institusi kepolisian.

Dengan catatan panjang pelanggaran, baik dalam penanganan kasus PPPK tahun 2024 maupun tindakan represif dalam demonstrasi 2025, publik kini menunggu langkah tegas Kapolri.

“Apakah desakan pencopotan akan direspons, atau justru dibiarkan hingga semakin memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum?”, jelas Bobby Apriliano.