BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara.  — Unjuk rasa adalah bagian sah dari demokrasi. Medan, sebagai ibu kota Sumatera Utara, hampir setiap pekan menjadi panggung aksi massa. Namun, di balik dinamika politik itu, ada persoalan yang kerap luput dari perhatian: sampah.

Setiap kali ribuan orang turun ke jalan, plastik, kertas, botol minuman, hingga sisa makanan tertinggal di ruang publik kota. Timbunan ini tampak sepele jika dibandingkan dengan total produksi sampah harian Kota Medan yang mencapai sekitar 2.000 ton per hari. Tetapi, kenyataannya, masalah ini cukup serius hingga membuat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Sumatera Utara  turun tangan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH)  Kota Medan.

Kepala DLHK Provinsi Sumatera Utara, Heri W. Marpaung, menegaskan bahwa setiap aksi massa berpotensi menimbulkan timbunan sampah yang tidak bisa dibiarkan.

“Setelah kegiatan berakhir, pembersihan segera dilakukan. Mulai dari penyapuan jalan, pengangkutan, hingga penyemprotan dengan dukungan mobil pemadam kebakaran bila diperlukan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (3/9/2025).

Menurut Heri, sampah yang paling dominan berasal dari plastik dan kertas. Selain menurunkan estetika kota, jika tidak segera ditangani, sampah itu berpotensi menimbulkan pencemaran dan perilaku negatif masyarakat terhadap ruang publik. Karena itu, selain langkah teknis, edukasi juga terus digencarkan agar peserta aksi ikut menjaga kebersihan.

Secara kuantitas, tambahan sampah pasca unjuk rasa mungkin hanya beberapa ton saja. Jauh lebih kecil dibandingkan timbulan harian Medan yang mencapai 2.000 ton, dengan hanya 800 ton yang berhasil diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Namun, persoalan ini tidak bisa diukur dari tonase semata. Timbunan sampah pasca aksi terkonsentrasi di titik-titik strategis kota seperti Lapangan Merdeka, kantor gubernur, dan balai kota. Kondisi jalanan yang kotor di lokasi-lokasi simbolis itu langsung terlihat publik, mudah terekam kamera, dan cepat menyebar di media sosial.

Dampaknya bukan sekadar bau dan kotor, tetapi juga menyangkut citra kota, wibawa pemerintah, bahkan persepsi publik terhadap kualitas ruang demokrasi.

DLH Kota Medan menghadapi kenyataan pahit: dari 2.000 ton sampah harian, hanya sekitar 40 persen yang bisa diangkut ke TPA. Dengan kapasitas armada dan tenaga yang terbatas, kerja rutin saja sudah berat. Kehadiran sampah tambahan pasca unjuk rasa — meski kecil secara angka — tetap bisa mengganggu ritme pengangkutan harian.

Inilah alasan koordinasi dengan DLHK. Provinsi Sumatera Utara menjadi penting. Provinsi menyediakan tambahan armada, tenaga cadangan, serta dukungan lintas instansi. Selain itu, fungsi provinsi memang mencakup pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota dalam urusan lingkungan hidup.

Masalah sampah pasca unjuk rasa juga menyimpan dimensi simbolik. Pembersihan cepat menunjukkan respons pemerintah terhadap dinamika sosial. Kehadiran tim kebersihan provinsi dan kota di jalan utama ibarat pernyataan politik: negara hadir, ruang publik tetap dijaga, bahkan di tengah gelombang protes.

Tetapi, tanggung jawab menjaga kebersihan tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah. Kesadaran kolektif peserta aksi sangat menentukan. Kebebasan menyampaikan aspirasi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab menjaga lingkungan.

Ada beberapa tantangan besar yang masih membayangi:

  1. Kapasitas TPA Terjun yang semakin terbatas.
  2. Kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam membuang sampah dengan benar.
  3. Belum adanya aturan tegas yang mengikat penyelenggara aksi untuk ikut bertanggung jawab terhadap kebersihan.

Sejumlah solusi bisa dipertimbangkan: penyediaan kantong sampah di lokasi aksi, kewajiban bagi koordinator aksi untuk memastikan area tetap bersih, hingga pelibatan komunitas lingkungan dalam setiap kegiatan massa. Fasilitas daur ulang juga perlu diperkuat agar sampah plastik dan kertas bisa langsung dipilah.

Sampah unjuk rasa memang kecil jika dihitung dari tonase. Tetapi dari sisi lokasi strategis, dampak visual, kapasitas kota, dan citra politik, persoalan ini jelas signifikan.

Koordinasi antara DLHK Sumut dan DLH Medan menjadi bukti bahwa menjaga kebersihan kota bukan sekadar urusan teknis, melainkan juga soal wibawa pemerintahan dan kualitas ruang publik.