BONA NEWS. Tiongkok. – Pada 3 September 2025, Lapangan Tiananmen di Beijing berubah menjadi panggung megah bagi Tiongkok. Ribuan pasukan militer berpakaian rapi, kendaraan tempur berbaris rapi, dan langit dihiasi pesawat siluman modern—semua untuk memperingati 80 tahun kemenangan atas Jepang dalam Perang Dunia II. Tapi parade ini bukan sekadar peringatan sejarah. Ini adalah momen di mana Tiongkok memamerkan kekuatannya, menegaskan pengaruhnya, dan menyampaikan pesan diplomatik kepada dunia.
Di antara tamu kehormatan, hadir Vladimir Putin dari Rusia, Kim Jong Un dari Korea Utara, dan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa parade ini bukan hanya soal pertunjukan militer, tetapi juga pertunjukan diplomasi global.
Apa yang paling mencuri perhatian? Tentunya peralatan militer canggih yang ditampilkan. Dari rudal hipersonik DF-17 yang mampu melaju lebih dari Mach 5 hingga pesawat siluman Chengdu J-20 dan drone tempur Wing Loong II, Tiongkok memperlihatkan kemampuan tempur jarak jauh yang setara dengan teknologi barat.
Tidak kalah menarik, Rudal Balistik Antarbenua DF-61 dan robot serigala yang beroperasi otomatis menegaskan modernisasi PLA. Bahkan menurut NY Post, parade ini menjadi kali pertama Tiongkok memamerkan kemampuan nuklir tiga cabang (land, sea, air), menandakan kesiapan strategis mereka secara matang.
Bagi mata internasional, ini bukan hanya soal militer. Ini pesan jelas ke Barat dan negara-negara tetangga: Tiongkok siap menjaga klaim wilayahnya dan menegaskan posisi di Asia Timur.
Parade ini menjadi panggung diplomasi terselubung. Kehadiran Putin dan Kim Jong Un memperlihatkan soliditas Tiongkok dengan sekutu globalnya. Sementara itu, kehadiran Prabowo Subianto menandai langkah strategis Indonesia. Meskipun sempat menimbulkan protes domestik, langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia memilih diplomasi aktif dan keseimbangan strategis.
Menurut South China Morning Post, kehadiran Prabowo adalah simbol bahwa Indonesia menghargai hubungan bilateral, terutama di bidang pertahanan dan ekonomi. Dalam konteks geopolitik, langkah ini menjadi sinyal cerdas bagi ASEAN bahwa Indonesia siap berdialog dengan semua pihak demi stabilitas regional.
Pesan Xi Jinping: Perdamaian atau Konfrontasi
Pidato Xi Jinping menegaskan dunia berada di persimpangan antara perdamaian dan perang. Kalimat itu terdengar tegas, namun bukan sekadar retorika. Ini adalah sinyal bagi dunia bahwa Tiongkok siap melindungi kepentingannya, baik di Laut China Selatan maupun terhadap klaim Taiwan.
Parade ini juga menjadi alat konsolidasi politik domestik, menampilkan kekuatan Tiongkok secara elegan di hadapan rakyat dan dunia. Dilansir The Guardian, parade ini bukan hanya soal senjata, tetapi juga narasi diplomasi dan politik global.
Tak semua pihak menyambut parade ini hangat. Amerika Serikat dan beberapa negara Barat menyebutnya provokatif. Namun bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, ini adalah peluang diplomasi. Kehadiran Prabowo, misalnya, mengirim pesan kuat: Indonesia mampu menjaga keseimbangan diplomatik sambil tetap menjalin kerja sama ekonomi dan pertahanan dengan Tiongkok.
Menurut survei Global Attitudes 2025, publik di Asia Tenggara semakin memperhatikan modernisasi militer Tiongkok. Oleh karena itu, parade ini juga menjadi ajang diplomasi publik—memperlihatkan bagaimana pemerintah menavigasi opini publik dan hubungan internasional.
Jurnalis senior Li Wei menyebut parade ini sebagai “pertunjukan kekuatan yang dikemas dengan diplomasi dan propaganda strategis.” Media internasional seperti BBC dan Reuters menyoroti bagaimana Tiongkok memadukan sejarah, modernisasi militer, dan diplomasi untuk membentuk narasi global.
Di Indonesia, sebagian publik menilai kehadiran Prabowo berani, namun perlu komunikasi transparan agar masyarakat memahami strategi diplomasi ini. Parade ini membuktikan bahwa media, militer, dan diplomasi dapat berjalan beriringan membentuk persepsi global dan domestik.
Parade Militer Hari Kemenangan Tiongkok pada 3 September 2025 bukan hanya soal sejarah atau senjata. Ini adalah pernyataan kekuatan, diplomasi, dan posisi geopolitik Tiongkok di mata dunia. Kehadiran Prabowo Subianto menunjukkan bahwa Indonesia memanfaatkan momen strategis untuk menjaga keseimbangan, memperkuat kerja sama bilateral, dan menegaskan posisi di panggung global.
Tiongkok menunjukkan bahwa kekuatan militer dan diplomasi bisa berjalan beriringan, sementara Indonesia membuktikan bahwa kebijakan luar negeri yang seimbang dan cerdas adalah kunci menjaga stabilitas regional.
Pada akhirnya, parade ini adalah gabungan sejarah, teknologi, politik, dan strategi diplomasi, dikemas dengan gaya yang mengesankan dan meninggalkan pesan kuat bagi seluruh dunia.
