BONA NEWS. Imdonesia. – Jakarta kembali menjadi pusat perhatian hari ini, Kamis 4 September 2025. Sejak pagi buta, rombongan mahasiswa, buruh, hingga komunitas sipil berdatangan ke kawasan Senayan, Monas, hingga Patung Kuda. Jalanan yang biasanya padat kendaraan, pagi ini dipenuhi lautan massa dengan spanduk, poster, dan teriakan tuntutan.

Menurut laporan ke media, pemerintah mengerahkan 2.143 personel gabungan TNI-Polri. Barikade kawat berduri, water cannon, hingga kendaraan lapis baja disiapkan di titik-titik rawan. Ketegangan terasa bahkan sebelum orasi dimulai.

Gelombang demonstrasi ini bukan peristiwa tiba-tiba. Aksi hari ini adalah kelanjutan dari rangkaian protes akhir Agustus yang berujung ricuh. Kerusuhan saat itu menewaskan 10 orang, melukai lebih dari 1.000 orang, dan menyebabkan 3.000 penangkapan, menurut catatan Human Rights Watch. Salah satu korban, Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang ditabrak mobil polisi, menjadi simbol perlawanan sekaligus alasan mengapa ribuan orang merasa harus kembali turun ke jalan.

Di depan Gedung DPR/MPR RI, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam BEM SI memimpin barisan. Jatim Times mencatat mereka membawa 17 tuntutan mendesak dengan tenggat 5 September 2025, serta 8 agenda reformasi jangka panjang hingga 31 Agustus 2026.

“#SelamatkanIndonesia” menjadi teriakan bersama. Orator bergantian menyampaikan kritik atas praktik oligarki, ketidakadilan ekonomi, hingga lemahnya pemberantasan korupsi. Spanduk bertuliskan “Negara Milik Rakyat, Bukan Korporasi” terbentang lebar di depan pagar DPR.

Tak jauh dari lokasi mahasiswa, puluhan orang dari Gerakan Masyarakat Elang Khatulistiwa Nusantara sudah hadir sejak pukul 08.30 WIB. Dikutip Kompas TV, mereka mendesak DPR melakukan audit menyeluruh terhadap anggaran, serta membentuk pansus untuk mengusut mafia korupsi. Meski jumlah massa tak sebesar kelompok mahasiswa, orasi mereka menajamkan isu yang sering diabaikan: transparansi anggaran negara.

Sekitar pukul 11.00 WIB, kawasan Monas mulai dipenuhi buruh. Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat), sebagaimana dilaporkan Kompas TV, menurunkan sekitar 1.000 orang. Mereka menuntut harga sembako, listrik, dan BBM diturunkan, menolak kriminalisasi demonstran, serta mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset.

Di sisi utara Monas, massa Partai Berkarya juga melakukan aksi dengan jumlah sekitar seratus orang. Meski lebih kecil, kehadiran mereka menambah warna dalam kerumunan protes hari ini.

Aksi Kamisan ke-876: Hening yang Bersuara

Menjelang sore, fokus massa bergeser ke depan Istana Negara. Di sana digelar Aksi Kamisan ke-876.  Ratusan orang berpakaian serba hitam berdiri membisu dengan payung sebagai simbol. Keheningan itu justru menggemakan suara protes, mengenang korban-korban yang jatuh dalam kerusuhan 28–31 Agustus.

Tak hanya di Jakarta, aksi serupa digelar di Palu, Sulawesi Tengah, tepat di depan DPRD provinsi, dan di Den Haag, Belanda, oleh komunitas diaspora Indonesia. Aksi lintas benua ini memperlihatkan bahwa isu hak asasi manusia di Indonesia menjadi perhatian global.

Gelombang protes tak berhenti di ibu kota, terjadi juga suara bergema di daerah :

  • Bandung: Buruh dan mahasiswa memenuhi halaman Gedung Sate, menuntut harga sembako kembali terjangkau dan menolak kebijakan upah murah.
  • Yogyakarta dan Semarang: Mahasiswa menyerbu DPRD, menolak praktik politik transaksional dan mengingatkan pemerintah soal janji demokrasi.
  • Makassar: Menurut laporan media lokal, mahasiswa menyoroti kerusakan lingkungan akibat tambang, isu yang jarang masuk headline nasional tetapi sangat terasa di daerah.
  • Medan dan Pekanbaru: Buruh menuntut upah layak nasional serta perlindungan pekerja digital, terutama ojek online yang semakin rentan.

Dengan demikian, meski tuntutan di tiap kota bervariasi, benang merah tetap sama: keadilan sosial dan perlindungan rakyat kecil.

Akar tuntutan utama yang mengemuka hari ini meliputi:

  • Transparansi anggaran & pemberantasan korupsi.
  • Reforma agraria sejati dan penolakan bank tanah.
  • Stabilisasi harga sembako, BBM, listrik.
  • Pengangkatan guru & tenaga honorer menjadi pegawai tetap.
  • Pendidikan gratis, adil, dan merata.
  • Perlindungan buruh: menolak outsourcing, cegah PHK massal, upah layak nasional.
  • Perlindungan pekerja digital dan ojek online.
  • Penghentian kekerasan aparat terhadap demonstran.

Di sisi lain, Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto menegaskan sikap keras pemerintah. Prabowo menyebut sebagian aksi massa mengandung unsur “terorisme dan pengkhianatan”. Pidato itu memperlihatkan jarak yang kian melebar antara penguasa dan rakyat.

Aksi hari ini mengingatkan banyak orang pada momen besar lain:

  • Reformasi 1998, ketika mahasiswa dan rakyat bersatu menjatuhkan Soeharto.
  • Demo Omnibus Law 2020, ketika buruh dan mahasiswa menolak UU Cipta Kerja.

Bedanya, protes kali ini berlangsung di tengah situasi global yang tidak menentu, ditambah kondisi ekonomi dalam negeri yang menekan rakyat kecil.

Gelombang demonstrasi 4 September 2025 menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki energi untuk bersuara meski menghadapi represi. Dari mahasiswa, buruh, hingga diaspora, suara yang muncul konsisten: keadilan, transparansi, dan demokrasi.

Pertanyaannya kini, apakah pemerintah akan mendengar? Atau memilih jalan kekerasan yang berpotensi memperpanjang krisis?

Hari ini bisa menjadi babak baru dalam sejarah politik Indonesia. Jika suara rakyat kembali dipinggirkan, jalanan mungkin akan terus dipenuhi hingga perubahan benar-benar terjadi.