BONA NEWS. Jakarta. – Keputusan Presiden Prabowo Subianto mengganti Sri Mulyani Indrawati dengan ekonom Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menandai peristiwa politik dan ekonomi paling signifikan di awal semester kedua tahun ini. Perubahan ini bukan sekadar reshuffle biasa, melainkan refleksi dari tekanan sosial, dinamika politik, hingga respons pasar keuangan global.
Sejak pertama kali masuk kabinet era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005, nama Sri Mulyani Indrawati identik dengan kredibilitas fiskal Indonesia. Kariernya menembus panggung internasional, menjadi Managing Director Bank Dunia, lalu kembali dipercaya memimpin Kementerian Keuangan di bawah Presiden Joko Widodo, hingga dilanjutkan pada masa awal pemerintahan Prabowo.
Selama hampir dua dekade, Sri Mulyani dianggap sebagai “penjaga gawang” kebijakan fiskal. Ia dikenal disiplin menjaga defisit, mengawal utang publik, serta mendorong transparansi. Tidak berlebihan bila banyak analis menyebutnya sebagai wajah kepercayaan investor terhadap Indonesia.
Namun, reputasi global dan pengalaman panjang ternyata tidak cukup untuk meredam gelombang ketidakpuasan publik. Sistem perpajakan nasional yang dinilai timpang, serta kasus ketidakadilan fiskal, memicu demonstrasi besar. Tekanan mencapai puncak ketika rumah pribadi Sri Mulyani di Jakarta menjadi sasaran penjarahan massa.
Keadaan inilah yang diyakini mempercepat keputusan Presiden Prabowo: merombak kepemimpinan fiskal sebagai bentuk respons atas keresahan masyarakat.
Hanya beberapa jam setelah pengumuman reshuffle, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh sekitar 1,3 persen. Sementara itu, rupiah sempat menguat singkat, sebelum kembali melemah di kisaran Rp16.400 per dolar AS.
“Pasar melihat Sri Mulyani sebagai jaminan kredibilitas. Kehilangannya menimbulkan kekhawatiran apakah arah kebijakan fiskal tetap konsisten,” ujar seorang analis pasar modal kepada Reuters.
Investor asing, khususnya, cenderung berhati-hati menunggu sinyal kebijakan dari Menteri Keuangan baru. Pertanyaan utama mereka: apakah Purbaya mampu menjaga disiplin fiskal sekaligus mengeksekusi agenda ambisius Presiden Prabowo?
Purbaya Yudhi Sadewa bukan nama asing di dunia ekonomi. Ia lama berkarier sebagai akademisi, ekonom, serta pernah menjabat di beberapa lembaga negara. Dalam pernyataan perdananya, ia menegaskan bahwa target pertumbuhan 8 persen bukanlah sesuatu yang mustahil.
“Indonesia memiliki potensi besar. Dengan dukungan sektor publik dan swasta, pertumbuhan tinggi bisa dicapai. Tantangannya adalah memastikan semua pihak bergerak searah,” kata Purbaya dalam konferensi pers di Istana Negara.
Pernyataan ini mengundang respons beragam. Sebagian kalangan menilai target tersebut terlalu ambisius, mengingat ekonomi global sedang diliputi ketidakpastian. Namun ada pula yang melihat optimisme Purbaya sebagai angin segar setelah bulan-bulan penuh kegelisahan.
Konteks Politik: Antara Respons Publik dan Konsolidasi Kekuasaan
Pergantian menteri ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik domestik. Presiden Prabowo berada dalam posisi sulit: di satu sisi harus menjaga kredibilitas pasar dan investor, di sisi lain harus menjawab tuntutan rakyat yang semakin vokal menuntut sistem perpajakan yang adil.
Langkah mengganti Sri Mulyani bisa dibaca sebagai upaya konsolidasi politik sekaligus sinyal bahwa pemerintah siap melakukan koreksi arah kebijakan. Namun, risiko yang muncul adalah potensi melemahnya kepercayaan internasional, terutama bila reformasi fiskal justru dianggap mengendurkan disiplin.
Sebagai Menteri Keuangan, Purbaya menghadapi setidaknya lima tantangan besar:
- Mengembalikan kepercayaan pasar setelah gejolak pasca-reshuffle.
- Menata ulang sistem perpajakan agar lebih adil sekaligus tetap efektif meningkatkan penerimaan negara.
- Menjaga stabilitas APBN, khususnya dalam konteks defisit dan pembiayaan pembangunan.
- Mengelola hubungan dengan Bank Indonesia, terutama soal wacana “burden sharing” yang menimbulkan perdebatan mengenai independensi BI.
- Membangun komunikasi publik yang meyakinkan, karena legitimasi seorang Menkeu tidak hanya ditentukan oleh kebijakan, tetapi juga kemampuan meyakinkan masyarakat dan investor.
Di media sosial, reaksi warganet beragam. Sebagian menyambut baik keputusan Presiden, berharap pergantian ini membuka jalan menuju sistem fiskal yang lebih berpihak kepada rakyat. Namun, tidak sedikit pula yang mengekspresikan keraguan apakah Purbaya mampu menandingi reputasi Sri Mulyani di mata internasional.
Seorang pengamat politik menyebut,
“Keputusan ini ibarat dua mata pisau. Jika sukses, Prabowo akan dipandang responsif terhadap rakyat. Jika gagal, ia akan dianggap mengorbankan stabilitas demi tekanan politik jangka pendek.”
Pergantian Menteri Keuangan ini jelas menjadi momentum ujian serius bagi pemerintahan Prabowo. Di tengah pelemahan rupiah, penurunan IHSG, serta tekanan global, kecepatan pemerintah dalam memberikan kepastian arah kebijakan akan menentukan apakah gejolak ini bersifat sementara atau berlanjut menjadi krisis kepercayaan.
Di sisi lain, publik menunggu realisasi janji reformasi perpajakan. Harapan rakyat sederhana: sistem yang adil, transparan, dan tidak lagi membebani kelompok menengah ke bawah.
Peristiwa 8 September 2025 bukan hanya tentang pergantian personalia kabinet. Ia adalah refleksi benturan antara stabilitas fiskal, tekanan publik, dan kalkulasi politik.
Sri Mulyani mungkin telah menutup bab panjang pengabdiannya di Kementerian Keuangan, tetapi jejaknya akan selalu menjadi standar tinggi bagi siapapun penerusnya. Kini, bola panas berada di tangan Purbaya Yudhi Sadewa. Apakah ia mampu mengubah krisis kepercayaan menjadi momentum kebangkitan ekonomi?
Jawabannya akan menentukan arah Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
