BONA NEWS. Jakarta. – Indonesia tengah berada di persimpangan penting. Gejolak politik pasca perombakan kabinet, melemahnya nilai rupiah, serta merebaknya aksi protes di berbagai daerah telah menciptakan situasi yang tidak hanya rawan secara sosial-politik, tetapi juga penuh ketidakpastian bagi perekonomian nasional. Di tengah kondisi inilah, suara lantang datang dari Aliansi Ekonom Indonesia yang menyoroti satu isu mendasar: reformasi birokrasi.

Bagi para ekonom, birokrasi yang berbelit, lamban, dan sarat kepentingan justru menjadi penghambat utama bagi investasi dan pertumbuhan. Maka, seruan mereka agar pemerintah melakukan penyederhanaan birokrasi bukanlah sekadar tuntutan teknis, melainkan sebuah panggilan darurat untuk menyelamatkan arah ekonomi bangsa.

Awal September 2025 menjadi periode yang penuh gejolak bagi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto memutuskan mengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Purbaya Yudhi Sadewa. Langkah ini memicu reaksi keras dari pasar: IHSG merosot, rupiah melemah, dan investor asing menunjukkan sikap hati-hati.

Pergantian mendadak tersebut tidak berdiri sendiri. Ia hadir dalam konteks protes publik yang kian meluas akibat ketidakpuasan terhadap tunjangan DPR, kenaikan biaya hidup, serta maraknya kasus represif aparat di lapangan. Kondisi ini memperkuat persepsi bahwa pemerintah sedang menghadapi krisis legitimasi, baik di mata rakyat maupun pelaku pasar.

Di tengah pusaran ini, muncul pertanyaan besar: bagaimana pemerintah dapat memulihkan kepercayaan publik sekaligus menjaga stabilitas ekonomi?

Seruan Para Ekonom: Sederhanakan Birokrasi, Pulihkan Iklim Investasi

Jawaban dari para ekonom cukup jelas: reformasi birokrasi.

Pada 9 September 2025, Aliansi Ekonom Indonesia, sebuah kelompok akademisi dan praktisi ekonomi lintas kampus dan lembaga, menyerukan langkah konkret untuk memangkas birokrasi yang selama ini dianggap sebagai hambatan terbesar investasi.

Menurut Rizki Nauli Siregar, Asisten Profesor Ekonomi di Universitas Indonesia yang juga tergabung dalam aliansi ini:

“Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi, dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif.”

Ia menambahkan, reformasi mencakup langkah-langkah konkret seperti pemangkasan prosedur, penyederhanaan rantai birokrasi, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas. Dengan cara ini, Indonesia bisa lebih cepat mengundang investasi sekaligus mengurangi biaya tinggi yang kerap membebani dunia usaha.

Bukan hanya aspek teknis, para ekonom juga menyoroti akar persoalan. Lili Yan Ing, ekonom senior sekaligus salah satu inisiator Aliansi Ekonom Indonesia, menekankan bahwa krisis saat ini adalah akumulasi dari kebijakan yang gagal:

“Situasi ini bukan tiba-tiba terjadi, melainkan akumulasi dari kebijakan ekonomi, proses pengambilan keputusan, dan praktik bernegara yang jauh dari amanah.”

Kutipan ini menegaskan bahwa problem birokrasi tidak bisa dipisahkan dari cara pemerintah mengambil keputusan dan mengelola kekuasaan. Dengan kata lain, reformasi birokrasi juga menyentuh persoalan tata kelola politik dan moralitas pejabat publik.

Sebenarnya, urgensi reformasi birokrasi bukanlah hal baru. Kementerian PANRB sebelumnya melaporkan bahwa penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) berhasil menghemat anggaran hingga Rp128,5 triliun. Angka fantastis ini membuktikan bahwa birokrasi yang efisien mampu mencegah kebocoran dan meningkatkan efektivitas belanja negara.

Selain itu, reformasi birokrasi telah dilakukan melalui:

  • Penggabungan 43 lembaga non-struktural untuk memangkas tumpang tindih fungsi.
  • Penyederhanaan struktur organisasi pemerintah dari lima tingkat ke dua tingkat.
  • Penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) guna mempercepat layanan digital.

Namun, meski ada capaian, realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Izin usaha sering kali memerlukan waktu berbulan-bulan, praktik pungli masih marak, dan layanan publik belum sepenuhnya transparan. Fakta inilah yang membuat seruan para ekonom terasa relevan dan mendesak.

Pasar finansial adalah arena yang sangat sensitif terhadap sinyal kebijakan. Dalam situasi seperti ini, reformasi birokrasi bisa menjadi sinyal positif bagi investor bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga stabilitas dan efisiensi.

Ekonom dari Universitas Islam Indonesia menekankan bahwa “tanpa kepastian hukum dan birokrasi yang efisien, stimulus fiskal sekalipun tidak akan efektif.” Dengan kata lain, politik fiskal dan moneter tidak akan berjalan optimal jika pondasi birokrasi rapuh.

Meski solusi tampak sederhana di atas kertas, implementasi reformasi birokrasi menghadapi banyak tantangan.

  1. Resistensi dari dalam birokrasi. Banyak pejabat dan ASN merasa nyaman dengan status quo karena memberi ruang bagi rente.
  2. Intervensi politik. Reformasi birokrasi sering terhambat oleh kepentingan elite yang melihat birokrasi sebagai alat patronase.
  3. Kultur kerja yang lamban berubah. Budaya “asal bapak senang” atau orientasi formalitas masih melekat kuat.

Tanpa komitmen politik yang kuat dari pucuk pimpinan, seruan para ekonom bisa saja sekadar menjadi wacana tanpa realisasi.

Gelombang protes yang telah menewaskan sedikitnya 10 orang dan melukai lebih dari 1.000 orang menegaskan adanya krisis kepercayaan publik. Reformasi birokrasi, jika dilakukan secara serius, bisa menjadi jembatan untuk memulihkan kepercayaan itu.

Dengan birokrasi yang sederhana dan transparan:

  • Pelayanan publik membaik, sehingga rakyat merasa diperhatikan.
  • Iklim usaha kondusif, sehingga investor berani menanam modal.
  • Korupsi berkurang, sehingga keadilan sosial terasa nyata.

Artinya, reformasi birokrasi bukan hanya soal efisiensi ekonomi, tetapi juga soal kontrak sosial antara negara dan rakyatnya.

Seruan para ekonom tentang pentingnya reformasi birokrasi hadir di saat yang sangat tepat—ketika negara menghadapi krisis politik, keresahan sosial, dan tekanan pasar.

Jika pemerintah berani mengambil langkah tegas untuk menyederhanakan birokrasi, memperkuat transparansi, dan mengedepankan profesionalisme ASN, maka reformasi birokrasi dapat menjadi penopang utama pemulihan ekonomi dan stabilitas politik.

Sebaliknya, jika seruan ini diabaikan, Indonesia berisiko terjebak dalam lingkaran krisis kepercayaan, pertumbuhan rendah, dan konflik sosial yang berlarut-larut.

Seperti kata pepatah, krisis adalah ujian sekaligus kesempatan. Bagi Indonesia hari ini, reformasi birokrasi adalah kunci untuk menjawab ujian sekaligus membuka jalan menuju kesempatan yang lebih besar.