BONA NEWS. Denpasar, Bali. – Subuh di Bali biasanya identik dengan aroma dupa di pura, embusan angin laut, dan suara ayam berkokok di kampung-kampung. Namun, pada Rabu dini hari, 10 September 2025, suasana itu berubah menjadi kepanikan massal ketika hujan deras yang mengguyur sejak malam menumpahkan aliran air tak terbendung ke pusat-pusat pemukiman.
Sekitar pukul 05.15 WITA, warga Jalan Sulawesi, Denpasar, mulai merasakan sesuatu yang janggal. Dinding sebuah ruko tekstil bergetar halus, seperti tanda peringatan dari bumi. Lima belas menit kemudian, tepat saat matahari seharusnya menyingsing, suara gemuruh terdengar—bangunan ambruk, terbawa derasnya arus banjir yang merangsek dari Sungai Badung. Empat nyawa melayang seketika, sementara beberapa lainnya hilang terbawa arus.
“Air datang cepat sekali, kami tidak sempat menyelamatkan barang. Hanya bisa lari,” ujar Made, seorang pedagang yang rukonya ikut terendam. Ia masih gemetar, matanya merah, bukan hanya karena kelelahan tetapi juga kehilangan.
Bukan hanya Denpasar yang merasakan amukan alam. Di Jembrana, dua orang dinyatakan meninggal, sementara puluhan lainnya harus dievakuasi. Total ada enam korban jiwa yang sudah terkonfirmasi, dan jumlah ini bisa bertambah karena laporan orang hilang masih terus berdatangan.
Bandara Internasional Ngurah Rai pun nyaris lumpuh. Jalan akses utama menuju terminal keberangkatan hanya bisa dilalui kendaraan besar. Para turis terjebak di hotel, sebagian bingung mencari informasi, sementara para pekerja bandara berjuang menyalakan generator cadangan untuk menjaga sistem komunikasi tetap berfungsi.
Rumah Runtuh, Harapan Pun Terkikis
Sungai Badung, yang biasanya menjadi urat nadi kehidupan masyarakat sekitar, justru menjadi penyebab hancurnya ratusan rumah di bantaran sungai. Tinggi air mencapai enam meter di beberapa titik, menenggelamkan rumah-rumah semi permanen yang berdiri rapuh di tepian.
Seorang ibu muda bernama Ni Luh menggendong anak balitanya di posko darurat.
“Kami tidak punya apa-apa lagi. Rumah hanyut, pakaian pun tinggal ini saja,” ucapnya lirih, sambil menenangkan sang anak yang terus menangis mencari ayahnya—yang hingga kini belum ditemukan.
Banjir Bali kali ini bukan sekadar bencana alam biasa. Ia menyingkap rapuhnya infrastruktur perkotaan, lemahnya sistem mitigasi, dan dampak nyata perubahan iklim. Hujan ekstrem yang datang di luar musim puncaknya menjadi sinyal peringatan: Bali yang dikenal sebagai pulau wisata dunia juga rentan, bahkan di jantung kotanya.
Sementara itu, ratusan petugas penyelamat dikerahkan. Mereka bekerja dengan sekop, perahu karet, dan tangan kosong, berpacu dengan waktu untuk mencari korban yang mungkin masih terjebak di bawah reruntuhan.
Di balik tragedi, ada pula kisah solidaritas. Warga yang selamat saling berbagi makanan, relawan mendirikan dapur umum, dan pemilik hotel membuka kamar-kamar kosongnya untuk pengungsi. “Kami semua keluarga di sini. Tidak ada turis, tidak ada penduduk lokal. Semua manusia yang harus saling menolong,” kata seorang pengelola hotel di Kuta.
Tanggal 10 September 2025 akan dikenang sebagai hari ketika Bali menangis di bawah guyuran hujan. Subuh yang biasanya menandai awal kehidupan justru membawa kehilangan. Namun, dari lumpur dan puing-puing, masyarakat Bali kembali menunjukkan daya tahannya: gotong royong, kepedulian, dan keyakinan bahwa meski pulau ini dilanda derita, ia akan bangkit lagi.
