BONA NEWS. Papua Tengah, Papua. – Di kedalaman lebih dari seribu meter di bawah tanah Pegunungan Sudirman, tujuh pekerja tambang Grasberg kini menunggu dengan napas tertahan. Mereka bukan sekadar angka dalam laporan kecelakaan kerja; mereka adalah ayah, suami, dan anak yang sedang berpacu dengan waktu, terjebak di perut bumi akibat aliran lumpur yang tiba-tiba menerjang lorong produksi pada Senin malam, 8 September 2025.
Meski akses terhalang material berat, komunikasi radio masih terjaga. Dari balik headset yang basah oleh keringat, suara salah seorang pekerja terdengar serak namun tegas:
“Kami masih di sini, tetap bertahan.” Kata-kata singkat itu menjadi penguat bagi tim penyelamat di permukaan yang bekerja siang dan malam.
Para ahli geoteknik menyebut fenomena ini sebagai mudflow, aliran lumpur yang terbentuk dari kombinasi air tanah dan material batuan yang lepas. Dalam tambang bawah tanah dengan skala sebesar Grasberg, kejadian seperti ini adalah mimpi buruk: tidak hanya memutus akses, tetapi juga bisa meruntuhkan struktur pendukung di sekitarnya.
Freeport Indonesia segera menghentikan seluruh aktivitas penambangan bawah tanah. Bagi perusahaan, setiap jam tanpa produksi berarti kerugian finansial miliaran rupiah. Namun, bagi tujuh pekerja yang terperangkap, keputusan itu bisa menjadi penentu hidup dan mati.
Ratusan personel gabungan dikerahkan: tim internal Freeport, Basarnas, hingga perwakilan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jalur darurat mulai dibuka dengan bor hidrolik, sementara suplai udara tambahan dialirkan untuk memastikan para pekerja tidak kehabisan oksigen.
Di Timika, keluarga para korban menunggu dengan cemas. Istri-istri duduk berjajar di depan posko darurat, menggenggam telepon genggam dengan harapan ada kabar baik dari suami mereka. Anak-anak kecil bertanya polos:
“Papa kapan pulang?”
—pertanyaan yang membuat para ibu hanya bisa menunduk, menahan air mata.
Bagi masyarakat Papua, tambang Grasberg adalah paradoks: sumber pemasukan negara sekaligus sumber luka. Setiap kecelakaan menjadi pengingat bahwa di balik emas dan tembaga yang mengalir ke pasar dunia, ada nyawa manusia yang dipertaruhkan.
Pasar Panik, Saham Jatuh
Di belahan dunia lain, berita ini mengguncang bursa. Saham Freeport-McMoRan, induk perusahaan Freeport Indonesia, langsung jatuh hampir enam persen. Investor panik bukan hanya karena operasi berhenti, tetapi juga karena reputasi perusahaan kembali dipertaruhkan. Bagi pasar, angka itu adalah kerugian; bagi keluarga korban, angka itu tidak berarti apa-apa dibanding satu nyawa yang bisa diselamatkan.
Tragedi ini membuka kembali perdebatan panjang soal keselamatan kerja di tambang bawah tanah. Grasberg pernah mengalami insiden serupa di masa lalu, dan setiap kali muncul janji perbaikan. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah perusahaan benar-benar menempatkan keselamatan manusia di atas keuntungan?
Tujuh pekerja masih menunggu di kegelapan, sementara di atas tanah, ribuan orang menanti dengan doa. Kisah mereka bukan hanya soal tambang yang berhenti berproduksi, tetapi tentang ketabahan manusia menghadapi maut di ruang sempit seribu meter di bawah bumi.
Sejarah akan mencatat apakah Grasberg 2025 menjadi tragedi atau keajaiban. Untuk saat ini, dunia hanya bisa menunggu—dan berharap bahwa ketika pintu darurat akhirnya terbuka, tujuh nyawa itu keluar dengan selamat.
