BONA NEWS. Jakarta. Pemerintah menegaskan tidak akan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut kerusuhan demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus lalu. Alasannya, aparat penegak hukum dianggap sudah bergerak cepat dan profesional dalam menangani kasus tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan langkah kepolisian dalam melakukan penyelidikan sudah sesuai prosedur.

“Kalau dibentuk TGPF justru akan memakan waktu. Sementara polisi sudah bergerak cepat, jadi lebih efektif menggunakan mekanisme hukum yang ada,” kata Yusril dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (11/9/2025) malam.

Wakil Menko Hukum HAM, Otto Hasibuan, menambahkan, pembentukan TGPF tidak mendesak karena kepolisian sudah bekerja secara profesional.

“Kepolisian sudah menangani secara serius. Kita harus memberi kepercayaan penuh agar kasus ini terang benderang,” ucap Otto usai rapat koordinasi di kantor Kemenko Polhukam, Kamis malam (11/9/2025).

Meski pemerintah menegaskan jalur hukum sudah cukup, sejumlah pihak justru khawatir penolakan pembentukan TGPF akan memperpanjang krisis kepercayaan publik.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, pada Kamis siang (11/9/2025) menilai investigasi polisi cenderung tertutup. “Kalau tanpa TGPF, publik bisa meragukan netralitas penyelidikan. Apalagi dalam banyak kasus sebelumnya, aparat sering dituding tidak transparan,” ujarnya.

Akademisi hukum Universitas Indonesia, Zainal Arifin Mochtar, dalam diskusi daring pada Kamis sore (11/9/2025), juga menyoroti aspek legitimasi. Menurutnya, pembentukan TGPF bukan sekadar mencari fakta, tapi juga cara untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Dilain tempat, Pemerhati sosial dan kebijakan publik, Bobby Apriliano, dalam wawancara dengan awak media pada Kamis malam (11/9/2025) menilai keputusan pemerintah menolak TGPF berisiko memperburuk citra kepolisian.

“Masyarakat tidak hanya ingin pelaku lapangan ditindak, tetapi juga butuh jaminan transparansi. Kalau pemerintah menutup ruang bagi TGPF, kesan yang muncul seolah ada sesuatu yang ditutupi,” ujarnya.

Bobby Apriliano menegaskan, tanpa pengawasan independen, hasil penyelidikan kepolisian bisa dipersepsikan tidak objektif.

“Kalau polisi dibiarkan bekerja sendirian tanpa pengawasan eksternal, publik bisa menilai ada konflik kepentingan. Akibatnya, apa pun hasil penyelidikan nanti bisa dianggap tidak netral. Itu berbahaya bagi kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan, polisi bisa saja bekerja sesuai prosedur, tetapi tanpa transparansi, citra mereka tetap rentan rusak.

“Kepercayaan publik itu mahal. Kalau citra polisi terus tergerus, dampaknya bukan hanya pada kasus ini, tapi juga pada legitimasi mereka di kasus-kasus berikutnya,” tegas Bobby Apriliano.

Catatan Sejarah TGPF di Indonesia

Desakan pembentukan TGPF bukan hal baru di Indonesia. Dalam kasus Trisakti dan Semanggi pada akhir 1990-an, TGPF sempat dibentuk untuk meredakan ketegangan politik sekaligus memberi jawaban kepada publik. Demikian pula pada kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, meski hasilnya menuai kontroversi.

Sejumlah pakar menilai, meski tidak selalu berhasil membuka seluruh fakta, TGPF punya fungsi penting sebagai simbol keterbukaan pemerintah terhadap kritik masyarakat.

Kerusuhan akhir Agustus lalu dipicu aksi demonstrasi mahasiswa yang menolak sejumlah kebijakan kontroversial. Aksi yang awalnya berlangsung damai berubah ricuh setelah bentrok dengan aparat. Sejumlah fasilitas umum rusak, puluhan orang luka-luka, dan ratusan demonstran ditangkap.

Hingga kini, polisi mengklaim sudah menetapkan sejumlah tersangka. Namun, kelompok masyarakat sipil menilai langkah tersebut belum menyentuh dugaan adanya excessive use of force oleh aparat.

Meski Menko Polhukam menegaskan penolakan, keputusan final soal TGPF tetap berada di tangan Presiden.

“Presiden pasti mendengar semua masukan. Tapi sampai saat ini pemerintah berpendapat jalur hukum yang ditempuh polisi sudah cukup,” ujar Yusril, Kamis malam (11/9/2025).

Namun, bagi masyarakat sipil, keputusan itu akan menjadi ujian serius. Apakah pemerintah benar-benar berkomitmen pada transparansi, atau justru menutup ruang akuntabilitas.

Kontroversi pembentukan TGPF untuk mengusut kerusuhan Agustus memperlihatkan tarik menarik kepentingan antara pemerintah, aparat, dan masyarakat sipil.

Di satu sisi, pemerintah ingin menunjukkan kecepatan dan efektivitas penegakan hukum. Di sisi lain, publik mendesak adanya mekanisme independen untuk menjamin transparansi.

Suara pengamat mengingatkan bahwa menolak TGPF bukan hanya soal prosedur, melainkan juga soal kepercayaan publik terhadap negara. Tanpa transparansi, citra kepolisian bisa semakin merosot, dan pada akhirnya merugikan pemerintah itu sendiri.