BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan panduan terbaru terkait penyelenggaraan acara massal yang aman dan sehat. Dokumen berjudul Mass gathering practical guide for simulation exercises and after action reviews itu resmi dirilis pada 10 Juli 2025 lalu.
Panduan ini dirancang untuk membantu negara-negara anggota, termasuk Indonesia, dalam mengantisipasi berbagai risiko kesehatan dan keselamatan yang kerap muncul dalam acara besar seperti konser musik, festival budaya, pertandingan olahraga, hingga kegiatan keagamaan berskala nasional maupun internasional.
“Acara massal adalah ujian nyata bagi ketahanan sistem kesehatan publik. Mereka bisa mengungkap kelemahan atau menunjukkan kekuatan,” tulis WHO dalam pernyataan resminya, dilansir dari situs organisasi tersebut, Jumat (12/9/2025).
Panduan dengan Dua Pendekatan
Mengutip dokumen resmi WHO, panduan ini menekankan dua langkah utama yang wajib dijalankan oleh penyelenggara acara massal: Simulation Exercises (SimEx) dan After Action Reviews (AAR).
- SimEx atau latihan simulasi merupakan uji coba penanganan skenario darurat, misalnya jika terjadi desak-desakan di stadion, tumpahan bahan kimia, atau merebaknya wabah penyakit akibat konsumsi makanan. Dalam latihan ini, seluruh pihak mulai dari tim medis, aparat keamanan, hingga relawan dituntut untuk merespons secara cepat dan terkoordinasi.
- AAR atau tinjauan pasca acara dilakukan setelah kegiatan berakhir. Evaluasi ini menilai apa yang berjalan baik, apa yang gagal, serta bagaimana memperbaikinya. WHO menekankan bahwa AAR bukan sekadar laporan formalitas, tetapi instrumen penting untuk pembelajaran berkelanjutan.
“Latihan simulasi dan evaluasi pasca acara memungkinkan negara memperkuat kesiapsiagaan. Hal ini selaras dengan International Health Regulations (IHR 2005) yang mengikat semua negara anggota,” dikutip dari dokumen WHO.
Indonesia termasuk salah satu negara yang rutin menggelar acara massal. Dari konser internasional dengan puluhan ribu penonton, pertandingan sepak bola yang memadati stadion, hingga kegiatan keagamaan seperti mudik Lebaran dan pemberangkatan haji yang melibatkan jutaan orang.
Namun, pengalaman pahit menunjukkan bahwa pengelolaan kerumunan sering kali masih lemah. Tragedi Kanjuruhan, Malang, pada Oktober 2022 menjadi bukti nyata. Lebih dari 130 orang tewas akibat kepanikan dan penggunaan gas air mata saat pertandingan sepak bola. Peristiwa itu menjadi catatan kelam bahwa acara massal tanpa manajemen risiko yang baik dapat berubah menjadi bencana kemanusiaan.
Selain itu, pandemi Covid-19 juga membuka mata bahwa kerumunan besar bisa menjadi media penyebaran penyakit. Karena itu, menurut pengamat, panduan WHO ini seharusnya segera diadaptasi oleh Indonesia.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Dr. Arif Rahman, menyebut panduan WHO ini sangat relevan.
“Indonesia cenderung reaktif, baru bergerak setelah masalah terjadi. Padahal, kuncinya ada di perencanaan. Dengan simulasi dan evaluasi, kita bisa membangun budaya antisipasi,” ujarnya saat diwawancara, Jumat (12/9).
Menurut dia, keberhasilan penerapan panduan bergantung pada koordinasi lintas sektor.
“Tidak bisa hanya Kementerian Kesehatan atau aparat keamanan yang bertanggung jawab. Pemerintah daerah, promotor acara, hingga pihak swasta harus bersama-sama. Kalau tidak, panduan ini hanya akan jadi dokumen tanpa makna,” katanya.
Tantangan Implementasi
Meski disambut baik, implementasi panduan WHO di Indonesia tidak lepas dari tantangan.
- Keterbatasan anggaran. Menggelar simulasi berskala besar memerlukan biaya. Banyak pemerintah daerah mungkin enggan mengalokasikan dana untuk kegiatan yang dianggap “tidak mendesak”.
- Kultur birokrasi. Ego sektoral antar lembaga masih kerap menghambat koordinasi. Padahal, acara massal menuntut sinergi penuh.
- Kurangnya tenaga ahli. Indonesia masih kekurangan pakar manajemen kerumunan dan kesehatan publik yang berpengalaman.
- Kesadaran masyarakat. Edukasi publik menjadi faktor penting. Tanpa partisipasi peserta, aturan keselamatan sering kali diabaikan.
Dengan adanya panduan ini, Indonesia memiliki kesempatan memperbaiki manajemen acara massal. Kementerian Kesehatan diharapkan segera menerjemahkan dokumen tersebut ke bahasa Indonesia, lalu mensosialisasikannya ke pemerintah daerah dan penyelenggara.
Selain itu, regulasi nasional juga perlu diperkuat. Misalnya, menetapkan syarat wajib simulasi dan evaluasi untuk acara dengan jumlah peserta di atas ambang tertentu. Pemerintah juga bisa melibatkan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat untuk memberikan masukan independen.
“Kalau diterapkan serius, panduan ini bisa mencegah tragedi kemanusiaan, mengurangi penyebaran penyakit, dan meningkatkan citra Indonesia sebagai tuan rumah yang profesional,” tutur Dr. Arif, Jum’at (12/9/2025).
Panduan baru WHO tentang keamanan acara massal menjadi pengingat penting bagi semua negara, termasuk Indonesia. Keselamatan dan kesehatan publik harus diposisikan sebagai prioritas utama, bukan hanya urusan teknis belaka.
Acara massal adalah ruang kebersamaan, tetapi tanpa manajemen yang tepat ia bisa berubah menjadi bencana. Dengan menerapkan panduan WHO, Indonesia bisa memastikan bahwa setiap konser, pertandingan, atau acara keagamaan berlangsung dengan aman dan bermartabat.
“Mass gathering events are a test of resilience,” kutip WHO. “Mereka bisa mengungkap kelemahan atau menunjukkan kekuatan.”
Dengan langkah tepat, Indonesia punya peluang besar menjadikan setiap acara massal bukan sekadar perayaan, melainkan juga bukti bahwa keselamatan manusia adalah prioritas.
