BONA NEWS. Samosir, Sumatera Utara. – Empat hari terakhir, Danau Toba tak hanya ramai dengan wisatawan, tetapi juga oleh ratusan penulis, akademisi, dan pecinta literasi dari berbagai negara. Mereka berkumpul dalam Festival Penulis Danau Toba (Lake Toba Writers Festival/LTWF) 2025, sebuah ajang yang menegaskan bahwa sastra mampu melampaui batas wilayah, bahasa, dan budaya.

Festival yang digelar pada 10–13 September ini mengambil dua panggung utama: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan dan Kabupaten Samosir. Di Medan, acara bernuansa akademik dengan diskusi serius, sementara di Samosir, festival menjelma menjadi perayaan sastra di ruang terbuka, berpadu dengan panorama alam dan tradisi Batak.

Hari pertama dan kedua festival dipusatkan di kampus FIB USU. Suasana terasa seperti kelas besar yang terbuka untuk semua orang. Mahasiswa, komunitas literasi, hingga penulis senior duduk bersama dalam diskusi panel yang membahas berbagai tema.

Mulai dari tantangan menulis di era media sosial, peluang penerbitan digital, hingga pentingnya menjaga identitas lokal agar tidak hilang di tengah arus globalisasi. Workshop kepenulisan juga digelar, memberi ruang bagi penulis muda untuk belajar langsung dari sastrawan yang lebih berpengalaman.

Salah satu pembicara dari Malaysia menyebut bahwa sastra di era digital harus tetap berpijak pada nilai-nilai budaya. “Teknologi berubah cepat, tapi akar budaya adalah hal yang membuat karya kita bertahan,” ujarnya.

Memasuki hari ketiga, festival bergerak ke Samosir. Di tepi Danau Toba, puisi dibacakan, musik tradisi Batak dimainkan, dan cerita rakyat dihidupkan kembali. Perpaduan antara kata, musik, dan alam menciptakan pengalaman yang sulit dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Seorang penulis asal Eropa mengatakan ia menemukan inspirasi baru ketika membaca puisi di tepi danau. “Di sini saya merasa sastra bukan hanya tulisan, tetapi juga perjumpaan dengan alam dan manusia,” ungkapnya.

Festival di Samosir bukan sekadar agenda formal. Ia berubah menjadi ruang perayaan, di mana sastra, budaya, dan alam bertemu dalam satu panggung.

Peluncuran Buku dan Pertukaran Gagasan

Salah satu momen penting festival adalah peluncuran buku karya penulis lokal dan internasional. Setiap sesi peluncuran diikuti diskusi singkat yang memberi kesempatan pembaca bertanya langsung kepada penulis.

Selain itu, pertemuan ini juga membuka peluang kerja sama baru. Beberapa penerbit dari luar negeri tertarik menjajaki kolaborasi dengan penulis Sumatera Utara. Komunitas literasi juga membicarakan program pertukaran penulis dan residensi di Danau Toba.

Seorang kurator acara menegaskan, “LTWF bukan sekadar pesta literasi. Kami ingin ini menjadi jembatan yang membuka jalan bagi kolaborasi lintas negara.”

LTWF 2025 membuktikan bahwa sastra bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat identitas budaya sekaligus mendukung pariwisata. Dengan menghadirkan Danau Toba sebagai panggung utama, festival ini menunjukkan bahwa keindahan alam bisa berjalan seiring dengan kekayaan tradisi dan karya tulis.

Bupati Samosir dalam sambutannya menyebut, “Danau Toba bukan hanya destinasi wisata, tapi juga gudang cerita dan inspirasi. Festival ini menegaskan posisi Toba sebagai pusat budaya dunia.”

Penyelenggara berharap festival ini bisa menjadi agenda tahunan yang semakin diperkuat. Dengan dukungan pemerintah, akademisi, dan komunitas literasi, LTWF diharapkan terus melahirkan penulis-penulis baru dan menjadikan Danau Toba sebagai pusat pertemuan sastra dunia.

Seorang peserta dari komunitas literasi Medan mengatakan, “Saya tidak hanya datang untuk mendengar, tapi juga untuk percaya diri bahwa suara dari Medan dan Sumatera Utara bisa bergema ke dunia.”

Festival Penulis Danau Toba 2025 telah selesai, tetapi gema kata-kata, puisi, dan cerita yang lahir di Medan dan Samosir akan terus hidup. Di balik diskusi akademik, peluncuran buku, dan pertunjukan budaya, satu hal jelas: Danau Toba kini bukan sekadar destinasi wisata, tetapi juga ruang pertemuan sastra dunia.

Dengan semangat kolaborasi dan dukungan semua pihak, LTWF bisa menjadi tonggak penting bagi kebangkitan literasi di Indonesia, sekaligus memperkenalkan Danau Toba sebagai sumber inspirasi global.