Denpasar, 13 September 2025 – Wakil Presiden Republik Indonesia (Wapres RI ) Gibran Rakabuming Raka menegaskan bahwa masalah alih fungsi lahan di Bali harus segera diselesaikan. Pernyataan ini disampaikan saat ia meninjau lokasi pengungsian korban banjir bandang di Denpasar, Sabtu (13/9/2025).

Kunjungan tersebut merupakan respons langsung terhadap bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah Bali pada 10–11 September 2025, yang disebabkan curah hujan ekstrem lebih dari 150 mm/hari. Ribuan rumah warga tergenang, fasilitas umum rusak, dan ratusan warga terpaksa mengungsi ke posko darurat.

Dalam keterangannya, Wapres Gibran menyoroti pembangunan masif di Bali yang menyebabkan menyusutnya lahan pertanian dan daerah resapan air. Ia menegaskan bahwa fenomena ini berkontribusi besar terhadap banjir yang baru saja terjadi.

“Alih fungsi lahan harus segera ditangani. Bali jangan hanya dikejar pembangunannya, tetapi harus dipastikan drainase, sanitasi, dan resapan air tetap dijaga. Kalau tidak, bencana seperti ini akan terus berulang,” ujar Gibran di hadapan awak media, Sabtu (13/9/2025).

Ia juga menekankan agar pemerintah daerah lebih tegas dalam mengawasi perizinan pembangunan, terutama proyek-proyek besar seperti hotel, vila, dan perumahan yang seringkali mengorbankan sawah produktif atau ruang terbuka hijau.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa peringatan Wapres RI bukan tanpa dasar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali dan catatan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, terjadi penyusutan signifikan pada lahan sawah:

  • Tahun 2020: sekitar 71 ribu hektare sawah
  • Tahun 2024: turun menjadi 68 ribu hektare
  • Rata-rata penyusutan: sekitar 1.000 hektare per tahun

Sementara itu, laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali pada 2024 bahkan menyebut penyusutan lebih besar, yaitu 2.000 hektare sawah hilang setiap tahun, terutama di kawasan penyangga pariwisata seperti Badung, Gianyar, dan Denpasar.

“Setiap tahun kita kehilangan ribuan hektare sawah karena berubah jadi vila, hotel, atau perumahan. Ini sangat mengkhawatirkan bagi ketahanan pangan Bali,” ujar Made Gunawan, Direktur WALHI Bali, Sabtu (13/9/2025).

Banjir bandang yang terjadi pekan ini memperlihatkan betapa rentannya Bali menghadapi bencana ekologis. Berdasarkan laporan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana):

  • Rumah terdampak: lebih dari 3.200 unit
  • Warga mengungsi: sekitar 1.500 jiwa tersebar di 7 posko pengungsian
  • Fasilitas umum rusak: 5 sekolah, 2 pasar tradisional, dan beberapa jembatan
  • Korban jiwa: 3 orang dilaporkan meninggal akibat terseret arus

Wapres RI saat meninjau Posko Pengungsian Banjar Tohpati, Denpasar, mendengarkan langsung keluhan warga. Banyak dari mereka menyoroti masalah drainase buruk dan gorong-gorong yang tersumbat, yang menyebabkan air meluap lebih cepat.

Seorang warga, Ni Luh Ayu (45), menceritakan bahwa banjir kali ini merupakan yang terparah dalam 10 tahun terakhir.

“Air datang tiba-tiba, sangat deras. Kami tidak sempat menyelamatkan barang-barang. Yang penting selamatkan anak-anak,” ujarnya sambil menangis, Sabtu (13/9/2025).

Selain soal alih fungsi lahan, sistem drainase di Bali juga menjadi sorotan. Menurut Kementerian PUPR, sekitar 60% saluran drainase di Denpasar tidak berfungsi optimal karena:

  1. Tersumbat sampah dan sedimen
  2. Banyak yang berubah fungsi karena tertutup bangunan
  3. Kurangnya perawatan rutin

Hal ini diperparah dengan pembangunan jalan dan gedung yang tidak memperhatikan saluran air. Wapres RI menekankan pentingnya perbaikan drainase sebagai langkah jangka pendek agar banjir tidak terus mengancam masyarakat.

Alih Fungsi Lahan vs Pariwisata

Sebagai daerah pariwisata dunia, Bali menghadapi dilema besar: antara kebutuhan pembangunan untuk pariwisata dan pelestarian lingkungan. Data Dinas Pariwisata Bali mencatat bahwa pada 2024 terdapat lebih dari 12 ribu unit vila dan hotel tersebar di seluruh Bali. Banyak di antaranya dibangun di lahan pertanian yang dialihfungsikan.

Ekonom lingkungan dari Universitas Udayana, Prof. I Gusti Made Surya, menilai bahwa jika tren alih fungsi lahan terus berlanjut, maka Bali akan kehilangan identitas agrarisnya dan semakin rentan terhadap bencana.

“Bali bukan hanya soal pariwisata. Kalau sawah hilang, budaya subak juga hilang. Kalau resapan air habis, maka banjir dan krisis air akan jadi bencana baru,” ujarnya ke jurnalis, Sabtu (13/9/2025).

Menanggapi arahan Wapres RI, Gubernur Bali I Wayan Koster menyatakan bahwa pihaknya akan memperkuat peraturan tata ruang wilayah (RTRW) agar lebih ketat. Ia juga menyebut adanya program perlindungan sawah abadi yang ditargetkan seluas 20 ribu hektare hingga 2030.

Namun, di sisi lain, Gubernur mengakui adanya tekanan besar dari investor properti yang terus mengincar lahan strategis di Bali. Karena itu, ia meminta dukungan dari pemerintah pusat untuk mempertegas moratorium pembangunan hotel dan vila baru di kawasan rawan banjir.

Dalam kunjungannya, Gibran menyampaikan beberapa arahan:

  1. Penegakan hukum atas pelanggaran tata ruang – Pembangunan ilegal harus ditindak tegas.
  2. Penguatan sistem drainase dan sanitasi – Tidak hanya membangun, tetapi juga merawat infrastruktur air.
  3. Perlindungan sawah produktif – Melalui regulasi dan insentif bagi petani agar tidak menjual lahannya.
  4. Edukasi masyarakat – Tentang pentingnya menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, serta kesiapsiagaan bencana.

Ia menekankan bahwa pembangunan Bali harus berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

“Pariwisata boleh maju, tapi jangan sampai mengorbankan alam dan masyarakat. Bali harus tetap indah, sehat, dan aman bagi generasi mendatang,” ujar Gibran.

Peringatan Wakil Presiden Republik Indonesia menjadi sinyal keras bagi pemerintah daerah, investor, dan masyarakat Bali bahwa alih fungsi lahan bukan sekadar isu lokal, tetapi ancaman nyata terhadap keberlanjutan hidup di pulau ini.

Dengan fakta penyusutan sawah ribuan hektare tiap tahun, sistem drainase yang tidak memadai, serta pembangunan pariwisata yang semakin masif, Bali menghadapi risiko besar jika tidak segera bertindak.

Kunjungan Wapres RI ke lokasi banjir dan pengungsian bukan hanya seremonial, tetapi juga peringatan keras bahwa pembangunan harus dikendalikan agar tidak mengorbankan lingkungan dan keselamatan warga.

Jika langkah-langkah yang ia serukan benar-benar diimplementasikan, maka Bali berpeluang menjadi contoh bagaimana pariwisata dan kelestarian lingkungan bisa berjalan beriringan. Namun jika diabaikan, maka banjir yang melanda Denpasar hanya akan menjadi awal dari bencana ekologis yang lebih besar di masa depan.