BONA NEWS. Raja Ampat, Papua Barat Daya.  — Keputusan pemerintah Indonesia membuka kembali operasional PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, memicu polemik panjang. Di satu sisi, langkah ini diklaim dapat menopang pertumbuhan ekonomi nasional, memenuhi kebutuhan global atas nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik, sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran serius soal kerusakan lingkungan, terutama terumbu karang, serta dampak sosial terhadap kehidupan masyarakat lokal yang bergantung pada laut.

Pulau Gag adalah salah satu gugusan pulau di Raja Ampat, wilayah yang tersohor dengan keindahan laut dan biodiversitasnya. Kawasan ini dikenal sebagai “surga bawah laut” dunia, rumah bagi ribuan spesies ikan, koral, dan biota laut lainnya. Tidak heran, Raja Ampat kerap menjadi destinasi wisata utama bagi penyelam mancanegara.

Namun, selain pesona pariwisata, Pulau Gag menyimpan cadangan nikel yang melimpah. Potensi inilah yang membuat pemerintah sejak lama mengincar pulau tersebut sebagai salah satu lumbung nikel strategis nasional. PT Gag Nikel, perusahaan tambang yang berafiliasi dengan BUMN pertambangan, telah lama mendapat konsesi di sana.

Operasi perusahaan ini sempat dihentikan sementara pada awal 2025. Alasannya, pemerintah ingin melakukan verifikasi lapangan terkait isu kerusakan lingkungan, protes warga, serta desakan aktivis lingkungan. Namun, hasil evaluasi terbaru menyatakan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan dinilai “memenuhi syarat”, sehingga izin operasi kembali diberikan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut bahwa PT Gag Nikel telah melakukan sejumlah langkah mitigasi lingkungan. Di antaranya reklamasi lahan bekas tambang, penanaman kembali pohon, pemantauan berkala kualitas air laut, hingga upaya rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS).

“Lokasi operasi berada di luar kawasan Geopark Global UNESCO Raja Ampat. Dari hasil verifikasi, tidak ditemukan kerusakan mayor yang tak bisa diperbaiki,” ujar pejabat Kementerian ESDM dalam konferensi pers di Jakarta (12/9/2025).

Pemerintah menekankan bahwa keberadaan tambang nikel sangat penting bagi transisi energi global. Nikel merupakan bahan baku utama baterai kendaraan listrik (EV). Indonesia, yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, ingin memposisikan diri sebagai pusat rantai pasok EV internasional.

Selain itu, pemerintah juga menyebut tambang ini akan memberikan manfaat ekonomi langsung bagi daerah: membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan daerah, serta mendukung pembangunan infrastruktur.

Suara Penolakan: “Laut Kami Bukan untuk Tambang”

Di balik argumen ekonomi, suara penolakan tetap lantang terdengar. Nelayan dan warga lokal mengaku khawatir dengan dampak nyata yang sudah mereka rasakan. Air laut di sekitar Pulau Gag disebut menjadi lebih keruh, hasil tangkapan ikan menurun, dan beberapa area terumbu karang menunjukkan tanda-tanda rusak akibat sedimentasi.

“Laut ini adalah dapur kami. Kalau air tercemar dan ikan hilang, kami mau makan apa?” kata Yusuf, seorang nelayan dari Kampung Kapisawar, saat diwawancarai aktivis lingkungan.

Ia menegaskan, masyarakat tak menolak pembangunan, tapi menolak bila pembangunan justru menghancurkan sumber kehidupan mereka.

Aktivis lingkungan dari WALHI Papua juga menyoroti dampak jangka panjang. Menurut mereka, sedimentasi dari aktivitas tambang dapat mengancam keberlangsungan ekosistem laut yang sangat rapuh. Kerusakan terumbu karang tak hanya memukul mata pencaharian nelayan, tapi juga bisa merusak industri pariwisata bahari yang menjadi andalan Raja Ampat.

Sejumlah pakar menilai keputusan membuka kembali tambang ini terlalu terburu-buru. Penilaian pemerintah yang menyebut PT Gag Nikel “memenuhi syarat” dianggap tidak sejalan dengan temuan studi independen yang melaporkan adanya kerusakan nyata pada terumbu karang di sekitar area tambang.

“Laporan resmi terlalu ringan menilai dampak lingkungan. Padahal bukti lapangan menunjukkan adanya kerusakan signifikan,” kata seorang peneliti kelautan dari Universitas Papua.

Ia mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh yang melibatkan tim independen, bukan hanya mengandalkan laporan perusahaan.

Selain itu, DPR juga menyoroti lemahnya pengawasan. Beberapa anggota Komisi VI meminta agar izin tambang dievaluasi dari hulu ke hilir, termasuk kesesuaian dengan tata ruang, regulasi pulau kecil, serta komitmen konservasi.

Uniknya, dalam kasus Raja Ampat, pemerintah mencabut izin empat perusahaan nikel lainnya karena dianggap bermasalah, baik secara administratif maupun lingkungan. Namun PT Gag Nikel tetap dipertahankan. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik: apa yang membuat perusahaan ini mendapat perlakuan berbeda?

Menurut pemerintah, Gag Nikel memiliki rekam jejak yang lebih baik dibanding perusahaan lain, serta telah memenuhi standar pengelolaan lingkungan yang diwajibkan. Namun bagi sebagian kalangan, alasan ini justru memperkuat dugaan adanya kompromi antara kepentingan ekonomi nasional dengan risiko ekologi.

Kini Raja Ampat berada di persimpangan jalan: apakah ia akan tetap dikenal dunia sebagai destinasi ekowisata berkelas internasional, atau perlahan berubah menjadi kawasan industri ekstraktif?

UNESCO sendiri pernah memberikan perhatian terhadap aktivitas tambang di sekitar Raja Ampat, mengingat wilayah ini termasuk kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Bila kerusakan lingkungan terbukti masif, status internasional Raja Ampat sebagai geopark global bisa terancam.

Bagi masyarakat lokal, dilema ini terasa nyata. Mereka dihadapkan pada janji-janji pembangunan ekonomi yang kerap tak sepenuhnya menyentuh kebutuhan dasar warga, versus ancaman hilangnya sumber penghidupan tradisional yang sudah diwariskan turun-temurun.

Pemerintah berulang kali menekankan konsep “investasi berkelanjutan” (sustainable investment). Artinya, pertambangan tetap berjalan namun dengan syarat pengawasan ketat, pemantauan berkala, dan keterlibatan masyarakat.

Namun, pengalaman di banyak daerah lain menunjukkan bahwa konsep ini sering kali hanya sebatas jargon. Pengawasan lapangan lemah, sanksi bagi pelanggar tidak konsisten, dan kompensasi bagi warga terdampak sering kali minim.

“Jika benar ingin berkelanjutan, pemerintah harus membuka ruang partisipasi publik, menjamin transparansi data, dan memberi akses masyarakat untuk ikut mengawasi,” ujar koordinator Greenpeace Indonesia.

Kasus tambang nikel di Raja Ampat memperlihatkan pertarungan narasi antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Pemerintah menekankan pentingnya investasi strategis untuk masa depan energi, sementara warga dan aktivis mengingatkan bahwa tanpa lingkungan yang sehat, pembangunan tidak akan berumur panjang.

Ke depan, keberhasilan atau kegagalan pengelolaan tambang ini akan menjadi preseden penting. Jika PT Gag Nikel benar-benar mampu membuktikan diri sebagai tambang yang ramah lingkungan, hal itu bisa menjadi contoh baru bagi industri tambang di Indonesia. Namun jika sebaliknya, kerusakan yang ditinggalkan bisa menjadi luka permanen bagi salah satu kawasan laut terindah di dunia.