BONA NEWS. Paris, Perancis. – Perancis kembali diguncang pemogokan nasional berskala besar yang melumpuhkan berbagai sektor vital, mulai dari transportasi umum hingga pendidikan. Aksi yang digelar pada Kamis (18/9) itu menjadi ujian pertama bagi pemerintahan Perdana Menteri Sébastien Lecornu, sekaligus memperlihatkan eskalasi ketidakpuasan publik terhadap kebijakan fiskal Presiden Emmanuel Macron.

Pemogokan kali ini bukan sekadar unjuk rasa rutin, melainkan gelombang protes besar yang diorganisir serikat pekerja lintas sektor. Mereka menolak keras rencana pemotongan anggaran publik dan reformasi kebijakan yang dianggap mengorbankan kesejahteraan rakyat. Laporan dari Reuters menyebut, serikat-serikat besar menuduh pemerintah memaksakan agenda penghematan yang akan merugikan kelas pekerja dan memperdalam ketimpangan sosial.

Pemerintah Lecornu tengah menyiapkan rancangan anggaran 2026 yang mengandung pemotongan signifikan pada berbagai pos pengeluaran publik. Paket kebijakan itu mencakup pengetatan fiskal, penundaan kenaikan gaji sektor publik, hingga rencana pengurangan subsidi pada layanan kesehatan dan pendidikan.

Menurut The Guardian, strategi ini dianggap pemerintah sebagai jalan untuk menstabilkan keuangan negara dan memenuhi target defisit Uni Eropa. Namun bagi serikat pekerja, langkah itu justru mengulang kesalahan masa lalu: mengutamakan angka ekonomi di atas kebutuhan rakyat. “Kami sudah menanggung beban reformasi pensiun, sekarang pemerintah ingin memangkas lagi hak-hak dasar,” ujar Philippe Martinez, salah satu tokoh serikat buruh transportasi.

Gelombang ketidakpuasan ini diperparah oleh inflasi yang masih tinggi dan stagnasi upah di berbagai sektor. Akibatnya, aksi mogok cepat mendapatkan simpati luas dari kalangan guru, pekerja transportasi, tenaga kesehatan, hingga pegawai administrasi.

Dampak paling nyata dari pemogokan terlihat di sektor transportasi. Euronews melaporkan, mayoritas jalur metro Paris lumpuh total, dengan hanya beberapa jalur yang beroperasi terbatas. Layanan bus dan trem juga terganggu, sehingga banyak warga terpaksa mencari alternatif perjalanan seperti sepeda atau berjalan kaki.

Layanan kereta regional dan antar kota turut terkena imbas, dengan ratusan jadwal dibatalkan. Meski kereta cepat TGV masih beroperasi, kapasitasnya jauh di bawah normal. Bagi penumpang yang bergantung pada transportasi umum, hari itu menjadi salah satu yang paling sulit sejak gelombang pemogokan besar terakhir pada masa reformasi pensiun 2023.

Seorang penumpang di stasiun Gare du Nord mengeluhkan situasi kacau tersebut. “Saya tidak bisa berangkat kerja tepat waktu. Anak saya juga sekolahnya ditutup. Semua berantakan,” katanya kepada wartawan setempat.

Selain transportasi, sektor pendidikan juga terpukul keras. Ribuan guru sekolah dasar dan menengah memilih turun ke jalan bersama serikat pekerja. Banyak sekolah akhirnya menutup kelas, sementara sebagian lainnya hanya menggelar kegiatan terbatas dengan staf minim.

Seorang guru yang ikut aksi di Paris menjelaskan alasannya. “Kami bukan hanya memikirkan gaji, tapi masa depan pendidikan. Dengan pemotongan anggaran, sekolah negeri akan semakin tertinggal. Anak-anak kami yang akan jadi korban,” ujarnya dikutip dari AP News.

Bagi orang tua, situasi ini menambah beban. Banyak yang harus mendadak mencari pengasuh atau mengatur ulang jadwal kerja. Dampaknya, produktivitas ekonomi di tingkat rumah tangga ikut terganggu.

Selain transportasi dan pendidikan, pemogokan juga berdampak pada layanan publik lain. Beberapa apotek tutup, rumah sakit melaporkan keterlambatan layanan non-darurat, dan kantor administrasi kota melayani masyarakat dengan staf terbatas.

Meski begitu, layanan darurat tetap dijaga agar tidak membahayakan keselamatan publik. Serikat pekerja menegaskan bahwa aksi mogok dilakukan dengan memperhatikan kepentingan dasar warga. “Kami tidak ingin rakyat menderita, tapi kami harus menunjukkan betapa pentingnya peran kami dalam kehidupan sehari-hari,” kata seorang perawat yang ikut aksi di Marseille.

Konteks Politik

Pemogokan ini terjadi di tengah situasi politik yang rapuh. Perdana Menteri Sébastien Lecornu baru beberapa bulan menjabat, setelah penunjukan mengejutkan oleh Presiden Macron pasca reshuffle kabinet. Banyak pihak menilai Lecornu harus membuktikan dirinya mampu menenangkan situasi sosial yang memanas.

Menurut analis politik yang dikutip The Guardian, gelombang pemogokan kali ini bisa menjadi “badai politik” yang menguji ketahanan pemerintahan Macron-Lecornu. Jika pemerintah gagal merespons dengan dialog konstruktif, maka krisis sosial dapat meluas dan memicu gejolak politik baru.

Dalam konferensi pers singkat, PM Lecornu menyatakan pemerintah membuka ruang dialog, namun tetap menegaskan perlunya disiplin anggaran. “Kita harus menjaga kredibilitas fiskal Prancis di mata Eropa. Tapi kami juga mendengar suara rakyat,” ujarnya.

Namun, pernyataan itu dinilai tidak cukup. Serikat pekerja menuntut langkah nyata berupa penghentian rencana pemotongan anggaran dan pembahasan ulang kebijakan fiskal. Tanpa itu, mereka mengancam akan melanjutkan aksi mogok dalam skala lebih besar.

Reaksi warga beragam. Sebagian mendukung penuh aksi mogok sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. “Kalau tidak begini, pemerintah tidak akan mendengar,” kata seorang demonstran di Lyon.

Namun, sebagian lainnya merasa frustrasi karena aktivitas sehari-hari terganggu. “Kami mengerti tuntutan mereka, tapi kami juga yang jadi korban. Tidak ada transportasi, anak-anak tidak bisa sekolah, pekerjaan kacau,” ujar seorang warga Paris kepada stasiun televisi lokal.

Ekonom memperingatkan bahwa aksi mogok berkepanjangan dapat menimbulkan kerugian miliaran euro. Gangguan pada transportasi publik saja diperkirakan menyebabkan hilangnya produktivitas ribuan jam kerja per hari. Industri pariwisata, yang sangat bergantung pada transportasi, juga berpotensi terdampak jika aksi berlanjut.

Namun, sebagian pengamat menekankan bahwa kerugian jangka pendek tidak sebanding dengan risiko sosial jangka panjang jika kebijakan pemotongan anggaran tetap dijalankan. “Kestabilan sosial adalah aset ekonomi. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi sulit dicapai,” kata seorang profesor ekonomi dari Universitas Sorbonne.

Pertanyaan besar kini adalah bagaimana pemerintah dan serikat pekerja akan menemukan titik temu. Jika tidak ada kompromi, kemungkinan besar Prancis akan menghadapi gelombang pemogokan lanjutan dalam beberapa minggu mendatang.

Sejarah menunjukkan, pemogokan besar di Prancis kerap menjadi penentu arah kebijakan pemerintah. Reformasi pensiun yang sempat memicu krisis pada 2023 akhirnya disesuaikan setelah gelombang protes tak kunjung reda. Banyak pihak percaya, skenario serupa bisa terulang kali ini.

Pemogokan besar pada 18 September 2025 menegaskan bahwa Prancis kembali berada di persimpangan sosial-politik. Dengan transportasi yang lumpuh, sekolah tutup, dan layanan publik terganggu, tekanan terhadap pemerintah semakin kuat.

Bagi rakyat, pemogokan ini adalah cara menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang dinilai tidak adil. Bagi pemerintah, ini menjadi ujian untuk membuktikan apakah mereka mampu menyeimbangkan disiplin fiskal dengan keadilan sosial.

Seperti ditulis AP News, hari mogok ini bukan hanya sekadar demonstrasi, melainkan cerminan krisis kepercayaan antara rakyat dan pemerintah. Jika tidak segera diatasi, Prancis bisa kembali memasuki periode gejolak sosial berkepanjangan.